Solar Sopir
Farid, guru di lembaga Kementerian Agama yang terletak di pesisir selatan Jawa Timur. Untuk mengajar, dia menempuh perjalanan panjang melewati jalanan curam, tinggi di lereng Gunung Manikoro Kampak.
Cerpen oleh Kamas Tontowi, Ketua Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani PDM Trenggalek dan Guru Bahasa Inggris MTsN 3 Trenggalek.
Tagar.co – Farid tinggal di Desa Sugihan. Sebuah desa kecil sekitar dua puluh kilometer dari selatan Kota Trenggalek dan dua puluh tujuh kilometer dari pantai selatan. Dia seorang guru di sebuah lembaga Kementerian Agama yang berlokasi di pesisir selatan Jawa Timur.
Sekolah tempat kerjanya lumayan jauh dari rumah. Dua puluh tujuh kilometer. Setiap hari dia menempuh perjalanan jauh melewati jalanan yang curam dan tinggi di lereng Gunung Manikoro Kampak.
Meskipun rutenya jauh, dia sangat menikmati. Kata Gus Baha’ menikmati dan mensyukuri takdir-Nya memiliki nilai spiritual yang tinggi, pahalanya sangat besar.
Farid juga suka sedekah. Dia sangat yakin sedekahnya merupakan penolak bala. Terkadang dia melewati hal-hal aneh, tapi juga kadang-kadang mendapati hal-hal mendebarkan. Di Sabtu itu ada peristiwa yang mendebarkan. Dia tidak tahu apa maksud-Nya. Tapi dia selalu yakin bahwa Allah mempunyai kekuasaan atas apapun yang terjadi di dunia ini.
Baca juga: Pintu Berkabut
Sabtu pagi yang cerah, pukul setengah enam, dia segera memasak air. Dinginnya musim ini membuatnya malas mandi pakai air dingin. Sambil menunggu air mendidih, dia melihat televisi yang terpajang di dinding.
Dia melihat perkembangan terbaru sepak bola. Terutama Liga Inggris, liga paling kompetitif di dunia. Istrinya masih malas-malasan di dalam kamar dengan anak. Maklum, hari ini istrinya libur setelah kemarin dinas malam di rumah sakit.
“Malam tadi Liga Inggris sangat seru, pertandingan antara Manchester City melawan Arsenal. Siapapun yang menang akan menjadi pemuncak klasemen,” pikirnya.
Di depan televisi ini Farid sekali-kali melihat highlight ringkasan pertandingan Liga Inggris. Terutama tim tim unggulan dan tim favorit Manchester City. Maklum, agak sulit untuk melihat live streaming Liga Inggris di televisi.
Melihat pertandingan harus bayar kuota dan sering ditayangkan di tengah malam saat nyenyak tidur. Meski di Inggris pertandingan dilaksanakan sore hari.
Setengah jam berlalu, pukul enam pagi, Diana, istrinya, tiba-tiba berseru. “Ayah, airnya mendidih.”
Sembari malas Farid menenteng handuk ke kamar mandi. Bak mandi di depan pintu dibawanya ke dalam kamar mandi. Air dingin dituangkan ke bak mandi tapi tidak sampai penuh.
Baca juga: Ikhlas di Tepian Harapan
Setelah itu, air panas dimasukkan ke dalam bak mandi. Air dingin yang dimasukkan tidak sampai penuh. Kalau kebanyakan air dinginnya jadi kurang hangat.
Selesai mandi, Farid menuju kamar, bersiap siap kerja. Terlihat Nia, anak kedua yang masih kelas V SDIT sedang tidur pulas.
”Yah, kopi dah jadi. Kopi penyegar nalar, penyemangat hidup,” sapa Diana dari dapur, mengingatkan agar segera menikmati minum kopi pagi.
Berjalan ringan menuju ruang keluarga, Diana membawa dua gelas kopi hitam. Dia lantas kembali ke dapur, membawa piring berisi beberapa menu pagi, tempe goreng.
“Monggo Yah, ngopi sambil makan tempe goreng,” sapanya lembut.
Mendengar kata-kata itu spontan dia melangkah ke ruang keluarga.
“Asyik,” bisik Farid dalam hati.
Diana setiap pagi membuat kopi dua gelas. Selain untuk suaminya, juga untuk dirinya sendiri. Terkadang satu gelas untuk Senin dan Kamis. Maklum, dia rutin puasa di dua hari itu, kecuali ada halangan. Dia juga membuat segelas susu untuk Nia.
Baca juga: Membunuh si Sembilan Nyama
”Adik, susu sudah siap,” serunya. Diana lantas menuju kamar sebelah barat. Membangunkan Nia. Terlihat dia masih tidur.
Setelah dia bangun, Farid membersihkan kamar, minimal menata selimut dan sprei. Ruang keluarga yang sederhana, hanya ada televisi dan sofa di depan televisi.
Rumahnya terdiri dari lima ruang. Ruang tamu sekitar tiga kali tiga meter, ruang keluarga tujuh kali 3 meter, ruang dapur tiga kali tiga meter, ruang parkir kendaraan dan ruang kamar tiga.
Pagi ini Farid malas-malasan di depan televisi 24 inch yang dipasang di dinding. Rutinitas paginya adalah menunggu kopi buatan istri sembari bersiap-siap berangkat kerja.
Tetapi hari ini agak berbeda. Farid benar-benar malas ke sekolah. Hari Sabtu, hari terakhir. Tempatnya jauh, jalan menukik dan tinggi. Farid harus ekstra hati-hati. Kalau tidak ekstra hati-hati bisa kepeleset oli dan solar tumpah di jalanan.
Dia dan teman-teman gurunya harus ekstra hati-hati menyusuri jalan menuju Munjungan. Sebuah kecamatan paling selatan di Trenggalek Jawa Timur. Selain hati-hati, mereka juga harus memastikan kendaraannya normal, terutama mesin dan bahan bakar.
Baca juga: Pemuja Komunis
Biasanya solar pesanan orang Munjungan yang dibawa sopir pick-up. Tentu tidak sengaja. Oli dan solar tumpah karena perjalanan yang tidak stabil, terutama beberapa tikungan yang tajam dan naik.
Hari ini juga tidak ada kegiatan pembelajaran di sekolah, kegiatannya latihan baris-berbaris.
“Aduh, jauh-jauh ke Munjungan cuma latihan baris berbaris,” gumamnya dalam hati.
Bila tidak ada kegiatan di sekolah, Farid malas sekali berangkat.
Sekitar pukul setengah tujuh Farid berangkat.
“Buk, aku berangkat,” ucapnya.
“Iya, Yah. Aku juga sudah siap ngantar Nia ke sekolah,” balas istrinya.
Farid segera mempersiapkan diri, mengeluarkan sepeda motor kebanggaannya. Sepeda yang harganya sudah jatuh tapi mesinnya sangat tangguh.
Baca juga: Hidung Wakil Rakyat
Ada cerita lucu tentang pembelian sepeda satria ini. Satu bulan setelah Farid membeli motor, tokonya tutup. Sudah tidak buka lagi. Nomor WA penjualnya juga hilang, akhirnya dia menghubungi dealer di Tulungagung.
Ternyata BPKB-nya di dealer Tulungagung.
“Alhamdulillah BPKB ada. Aku takut,” ujarnya bahagia.
Setelah dirasa semuanya siap, dia berangkat ke Munjungan, pelan-pelan tapi pasti. Maklum, hari terakhir, hari paling membuat malas, sisa-sisa tenaga. Setelah melewati Jembatan Dung Gamping, jalan mulai menanjak.
Tiba-tiba dia dikagetkan seorang anak kecil yang menangis bersama ibu dan adiknya. Terlihat sebuah sepeda motor terperosok di semak belukar.
“Ya Allah, mereka terpeleset solar. Terlihat solar tumpah di sepanjang jalan, sepanjang sepuluh meter,“ kata Farid kaget. Dia pun langsung melakukan pertolongan.
“Jika mereka tidak jatuh, pasti aku yang jatuh kepeleset solar ini. Mungkin juga, jika aku tidak berangkat mereka tidak segera tertolong. Ya Allah, kasihan juga pak sopir dan pemesan solar. Solarnya tumpah,” gumamnya dalam hati.
Farid memarkir sepeda motor di tempat yang datar.
Tak lama kemudian dua orang perempuan berboncengan membawa sepeda motor. Tiba-tiba mereka kepleset.
”Awas, Bu. Awas, Mbak,” teriak Farid.
Meskipun agak kesulitan mengendalikan sepeda motor, mereka berdua tidak jatuh. Setelah menolong mereka, segera Farid memasang beberapa batang kayu dan batu di sepanjang jalan yang bersolar.
Terlihat Supangat, sopir pick-up lain yang melintasi di dekatnya.
”Solar tumpah Pak Farid?”
“Nggih, Pak Pangat,” jawab Farid cepat.
Farid mengenal hampir semua sopir pick-up jalur Munjungan Kampak. Maklum hampir dua puluh tahun dia melewati jalur mengerikan ini. Setelah itu, Farid pun segera berangkat kembali menuju Munjungan.
Pukul tiga lebih tiga puluh menit sore, dia melewati lagi jalan itu. Terlihat batu-batu dan kayu yang dipasangnya sudah hilang. Solar juga sudah mengering, tapi terlihat bekas hitam di aspal.
“Alhamdulillah, sudah kering. Aman,” bisiknya dalam hati.
Sesampai di rumah dia cerita semuanya pada istrinya, Diana.
”Hati-hati, Yah. Alhamdulillah. Sedekah memang menolak bala,” sahut istrinya pelan. (#)
Penyunting Ichwan Arif