Opini

Stigma Wong Muhammadiyah, Santuy Saja 

×

Stigma Wong Muhammadiyah, Santuy Saja 

Sebarkan artikel ini
Stigma negatif pada wong Muhammadiyah masih sering terjadi. Hal itu menunjukkan Muhammadiyah itu sangat familier sekaligus tak familier. Yang lucu ciri orang non-Muhammadiyah pun dianggap Muhammadiyah.
Stigma Wong Muhammadiyah (Ilustrasi freepik.com premium)

Stigma negatif pada wong Muhammadiyah masih sering terjadi. Hal itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah itu sangat familier sekaligus tidak familier. Yang lucu, ciri orang non-Muhammadiyah pun dianggap Muhammadiyah.

Opini oleh Drei Herba T., Guru SMK Muhammadiyah 1 Genteng, Banyuwangi. Aktivis Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM) Singojuruh dan Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Banyuwangi. 

Tagar.co – Menjelaskan pertanyaan stigmatis seputar Muhammadiyah tak perlu secara jelimet dan mendalam, layaknya menjawab pertanyaan di Baitul Arqam— kaderisasi di lingkungan Muhammadiyah, di mana sang pemateri biasanya akan memantik pertanyaan sebelum menjelaskannya.

Cukup selow atau santuy saja, bila menjawab hal-hal yang dianggap yang tidak familier oleh orang lain pada Muhammadiyah. Jangan seperti yang saya alami saat kecil: terlalu serius menjawab persoalan yang dituduhkan tentang identifikasi wong Muhammadiyah. Maklum, waktu itu saya belum bisa bercanda. Jadi menganggapi sesuatu secara serius.

Ketika itu saya duduk di kelas 4 sekolah dasar. Sewaktu ngaji kali pertama di langgar, begitu kami menyebut musala, terdekat dari rumah, saya dapat perlakuan tak nyaman. Saya ingat betul, kala itu malam Jumat. Berbeda dari malam lainnya, pada malam Jumat kegiatan santri berkumpul bersama di tengah langgar untuk mendengarkan ceramah. Di momen itulah saya diminta berdiri.

Baca juga: Muhammadiyah dan Infrastruktur Berpikir ‘Melampaui’

“Kalau ngaji di sini harus pakai sarung!” ucap sang ustaz yang mengajar kami mengaji. Saya yang masih polos itu, baru menyadari jika saya sendiri yang tak mengenakan sarung. Saya pakai setelan baju muslim berwarn pink muda— baju paling bagus yang saya miliki kala itu. Lengkap dengan kopiah keren bawaannya.

Sesok lek ndak gawe sarung, ojo ngaji kene! Kene duduk langgar Muhammadiyah!” tambahnya. Maksudnya, besok kalau tidak pakai sarung jangan mengaji di sini. Ini bukan musala Muhammadiyah.

Jelas saya bingung dengan kalimat itu. Pikiran saya cuma dua, ngaji itu wajib dengan sarung dan yang tidak pakai sarung (sarungan) berarti orang Muhammadiyah. 

Bapak Marah

Sebenarnya soal pakai sarung saya sudah paham, meskipun saat itu saya memang tidak punya. Tapi, apakah tidak pakai sarung itu adalah orang Muhammadiyah? Nah, itu yang belum bisa saya cerna. 

Malu rasanya disuruh berdiri di tengah anak-anak lain. Lebih malu lagi lantaran dicap wong Muhammadiyah—yang saat itu saya masih tak tahu. Saya ingin cepat pulang. Segera mengadu kepada bapak, menyampaikan bahwa besok saya harus mengenakan sarung jika saya ingin tetap mengaji. 

Mendengar itu, raut bapak terlihat kecewa. Dia tidak bilang apa-apa kepada saya. Namun, dari hasil ngupingdari obrolan keesokan harinya, saya tahu, ternyata bapak langsung menemui sang ustaz malam itu juga. Bapak tidak melabrak. Bapak yang juga guru, hanya menjelaskan tentang beragama organisasi Islam. Ada NU, Muhammadiyah, dan banyak lagi lainnya. Banyak pokoknya!

Baca Juga:  Kekerasan Meningkat, Perlunya Fikih Perlindungan Anak

Mbah saya yang juga mendengar peristiwa itu, esoknya langsung membelikan saya sarung. Ya, akhirnya saya punya sarung. Sarung pertama saya dengan motif kotak-kotak kecil. Saya langsung pakai pada ngaji keesokan harinya. Saya senang bukan kepalang. Sebab ngaji waktu itu bukan sinonim dari menimba ilmu, tetapi lebih kepada tempat berkumpul untuk menemukan teman-teman baru.

Baca juga: 22 Tahun Pimpin Muhammadiyah, Pak AR Tak Punya Rumah

Dituduh Ngaji di Guru Muhammadiyah

Sekitar dua bulan kemudian, perlakuan tak enak dari orang dan tempat yang sama terulang lagi. Saya kembali diminta berdiri. Penyebabnya satu. Karena saya juga ikut pengajian yang diadakan oleh guru agama sekolah saya. Namanya juga anak kecil, ya ikut saja. Apalagi saat di kelas, guru saya menjanjikan nilai yang bagus. Kemudian setelah disepakati tempatnya, saya dan sejumlah teman lainnya berangkat ke sana. 

“Ndak usah melu (tak usah ikut) pengajian Muhammadiyah. Ndak usah gowo seng endak-endak! (tak usah membawa yang aneh-aneh)” ucapnya. Setelah saya diminta berdiri dia berucap, “Lek pancet melu, ndak usah ngaji ndek kene! (kalau tetap ikut tak usah ikut mengaji di sini).” Saya benar-benar takut dan malu. 

Saya kabarkan ke bapak perihal apa yang baru saja terjadi. Bapak tampaknya marah. Ia langsung pergi ke rumah ustadz saya itu. Kembali mendiskusikan tentang kesalahpahaman itu. Bahwa Muhammadiyah itu cuma organisasi, kumpulan, perserikatan. Bukan sebuah aliran, mazhab, apalagi sebuah agama baru yang membahayakan.

Belakangan saya baru tahu, ternyata guru agama saya itu merupakan seorang aktivis Wahidiyah. Pengajian yang kami ikuti saat itu adalah pengajian “Wahidiyah”, bukan “Muhammadiyah”. 

Meskipun sama-sama berakhiran “diyah”, benderanya berwarna hijau dengan lambang yang sama-sama putih, tetapi jelas keduanya sangat berbeda. Selain NU, tidak selalu bernama Muhammadiyah. Banyak organisasi Islam lainnya kan?

Di situlah saya jadi terkekeh kalau mengingat-ingat pengalaman itu. Kenapa dulu dialognya bisa sekaku itu? Padahal jelas penyebabnya adalah kesalahpahaman. Tak tahu informasi yang benar tentang Muhammadiyah. 

Jika dulu saya mampu menjelaskan dengan cara selow dan santuy, mungkin saya tak perlu malu atau takut. Mungkin saya akan sampaikan begini, “Aman Pak Ustaz. Tetap menghadap kiblat dan sehari selalu 17 rakaat. Cuma ngapunten Pak Ustadz, salat Subuh tadi tidak ada kunutnya, bukan tak mau lo Pak Ustaz, apalagi antikunut, masih belum hafal soalnya he-he-he …’ 

Baca Juga:  Bakat Saja Tidak Cukup, Penulis Cerita Anak Harus Paham Ini

Familier Sekaligus Tak Familier

Ketidakfamilieran pada Muhammadiyah itu tak hanya berlaku zaman dahulu. Sekarang pun juga tak jauh beda. Saya kerap mendapati peristiwa-peristiwa semacam itu.

Pernah dalam suatu percakapan dengan saudara-saudara istri saya di Banyuwangi, sampailah pada pertanyaan, “Le, bapakmu itu bener Muhammadiyah berarti?”

Nggeh,” jawab saya, “tapi Ibu kulo asline senes Muhammadiyah. Tumut (ikut) bapak,” ucap saya.

“Oh berarti ibumu Islam kaya kene-kene (seperti kita) ya,” ucap saudara saya itu, tampak bahagia. Meskipun lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah, ibu saya sesungguhnya ‘Muhammadiyah’ karena ikut suami.

Jawaban itu mengingatkan dengan candaan orang Madura, “Sembilan puluh sembilan persen orang Madura itu agamanya Islam, satu persennya Muhammadiyah”.

Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah

Jadi kesimpulannya Muhammadiyah bukan Islam? Tunggu dulu. Kalem saja. Obrolan itu tak bisa dimaknai secara tekstual. Tetapi jika mau mencermati, ada dua implikasi dari kalimat tersebut. 

Di satu sisi adalah bentuk kritik bahwa Muhammadiyah kurang familier sebagai organisasi Islam. Orang hanya mengenal Muhammadiyah sebatas sebuah nama saja. 

Salah Tuduhan

Di sisi lain Muhammadiyah justru sangat familier sebagai organisasi Islam, sebab yang orang-orang kenal (minimal pada tempat-tempat yang saya ceritakan) selain NU, ya hanya Muhammadiyah.

Terkait implikasi yang kedua, saya pernah punya pengalaman dengan anak didik saya. Suatu kali dalam pembelajaran di kelas mereka bertanya. “Pak, orang Muhammadiyah kenapa ya sukanya mengkafir-kafirkan. Tetangga saya ada yang Muhammadiyah setiap hari mengkafir-kafirkan.” 

Saya sempat kaget dengan cerita itu. Tapi saya jadi berpikir, apakah benar yang dimaksud adalah benar-benar wong Muhammadiyah. Saya pun menanyakan hal itu. 

“Orang-orang bilang begitu kok. Pokoknya Pak, orangnya itu biasanya pakai celana kombor yang cingkrang itu lo, dahinya hitam, jenggotan, pakai baju-baju jubah gitu wes Pak.” 

Lantas, kira-kira, apakah orang yang dimaksud itu benar-benar orang Muhammadiyah? Tunggu, jangan dijawab dulu, jangan dikira-kira juga. Mari tabayun.

Di lain waktu, di tempat tinggal saya, melekatkan wong Muhammadiyah itu adalah orang-orang yang taat beragama terutama dalam hal menjalankan salat. Tidak sebatas menjalankan, bahkan juga melakukannya secara berjemaah. Yang lain beranggapan, Muhammadiyah itu apa-apanya terstruktur, bisa dibariskan, muda ditata, gampang diatur. Maka mereka menyebut tak heran jika asetnya banyak, di mana-mana.

Baca Juga:  Muhammadiyah Menyambut Baik Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

Bahkan, yang lebih aneh, masih tentang implikasi yang kedua, saat mengikuti tasyakuran khitanan, salah satu tamu undangan yang datang waktu itu makan sampai habis, sampai tak menyisakan sebutir nasi pun. “Kari resik (bersih sekali),” ucap seorang mengomentari temannya. “Koyok wong Muhammadiyah ae,” tambahnya. 

Baca juga: Jamari, Tokoh Perintis Muhammadiyah Bawean

Saya pun tak kalah kagetnya, bahkan makan dengan habis pun bisa dilekatkan dengan organisasi Islam tertua ini.

Banyak contoh lagi jika mau diulik lebih banyak. Namun yang jelas, ada garis besar yang bisa diambil, bahwa klaim-klaim wong Muhammadiyah itu terletak karena minimnya informasi tentang Muhammadiyah itu sendiri. Lantas, apakah perlu sebuah sosialisasi tentang perserikatan ini? Oh, tentu saja tidak! Sekali lagi, tetap selow dan satuy.

Empat Wong Muhammadiyah

Hemat saya, wong Muhammadiyah yang memang harus mengambil tempatnya. Siapa saja yang disebut wong (baca: kader) Muhammadiyah, setidaknya ada empat: anaknya orang Muhammadiyah; simpatisan; bekerja di amal usaha Muhammadiyah (AUM); dan yang terakhir, tentu saja, kader struktur Muhammadiyah. Lah, kok saya jadi masuk semua ya? Dasar wong Muhammadiyah!

Lantas, dengan cara apa mengambil tempatnya? Tak ada teknik maupun teori khusus. Juga tak ada strategi serius. Cukup bercerita hal-hal sederhana saja, kendati pun tak menusuk ke jantung pengertian yang sebenar-benarnya, ya tak masalah. 

Toh sedikit tapi ngena akan lebih efektif dari pada banyak tapi tumpah-tumpah. Loh, lalu gimana kalau orang-orang masih tak paham? Santuy saja. Toh, semua akan Muhammadiyah pada waktunya, he-he-he.

Suatu kali saat tengah perjalanan ke Surabaya menggunakan travel, sopirnya bertanya, “Sampean kerja di mana Mas?”

“Ngajar SMK Muhammadiyah sini Pak,” jawab saya.

Wong Muhammadiyah berarti?”

Leres (benar) Pak.”

“Muhammadiyah iku gak enek slametan yo (tidak ada selamatan) Mas?”

Nopo nggeh (apa ya)?” balas saya.

Halah mosok Sampeean ora weroh (masak Anda tidak tahu),” ucapnya, “Lah nyapo kok gak slametan ngunu kui (kenapa kok gak ada selamatan) Mas?

Loh wonten Pak, Jenengan mawon seng mboten ngertos (ada Pak, Anda saja yang tidak tahu)?”

Tenane (benarkah)?” tukasnya.

Sengerti kulo bukan slametan Pak, namine tasyakuran.” ucap saya sembari ketawa. Artinya, sepengetahuan saya bukan selamatan tapi tasyakuran. 

Pak sopir tadi langsung menyambut dengan tak kalah riangnya, “Masuk Pak Eko.” (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni