Sebelum Jadi Rasul, Muhammad Meneladani 8 Kepribadian Ini
Jika boleh bertanya—terlepas dari, bahwa hal ini sudah bagian dari suratan takdir—ada satu pertanyaan yang perlu diajukan untuk menjadi bahan kajian sejarah. “Nilai lebih apakah yang dimiliki oleh Muhammad sehingga dipilih oleh Allah menjadi utusan-Nya?”
Tagar.co – Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus melihat latar belakang kehidupan beliau, sebelum beliau “resmi” menjadi utusan Allah (rasulullah).
Pertama, dari sisi nasab Muhammad berasal dari keluarga yang terhormat. Jika dirunut lebih jauh, beliau adalah bagian dari keturunan Nabi Ibrahim. Kedua, dari sisi kepribadian, kita akan melihat banyak sekali karakter kuat yang dimilikinya, di antaranya:
Al-Amin
Inilah julukan yang diberikan penduduk Makkah kepada Muhammad. Al-amin artinya yang dipercaya. Gelar ini diberikan karena kejujuran beliau. An-Nashr bin Al Harits, musuhnya, pernah menyaksikan dan mengakui kejujuran Muhaamad Saw.
”Semasa dia muda kamu suka kepadanya lantaran dia paling jujur, paling lurus perkataannya, paling setia memegang janji.” Abu Sufyan, musuhnya juga waktu itu, pernah ditanya oleh Emperor Hiraclius, “Sebelum dia membawa seruan ini, pernahkah kamu kenal dia sebagai seorang pembohong?” Jawab Abu Sufyan, “Tidak pernah sekali-kali.” Bukti lain atas kejujuran beliau adalah dipercayakannya urusan perdagangan milik Khadijah, seorang saudagar kaya dan dihormati, kepadanya.
Bersahaja
Muhammad tidak mendapat harta waris yang melimpah. Ayahnya, Abdullah, hanya meninggalkan lima ekor unta, sekelompok ternak kambing, dan seorang budak perempuan bernama Umm Ayman. Bahkan kesediaannya untuk mendapat upah dari menjalankan urusan dagang Khadijah ke Syam adalah berkaitan dengan kondisi ekonomi beliau.
Inilah cuplikan percakapan Muhammad dengan Abu Thalib dan Khadijah soal itu. “Anakku,” kata Abu Thalib, “aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?”
“Terserahlah paman, “ jawab Muhammad.
Abu Thalib pun pergi mengunjungi Khadijah. “Aku dengar engkau mengupah orang dengan dua ekor unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor.”
“Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai,” jawab Khadijah.
Ketika beliau akan diminta oleh Khadijah untuk mengawininya—lewat perantara Nufaisa binti Muniya—beliau berkata, “Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan!”
Jiwa Kepemimpinan
Jiwa ini ditunjukkan Muhammad dengan kemampuan untuk menggembala kambing. Secara filosofis, mengembala kambing memiliki makna kepemimpinan. Beliau bersabda, “Nabi-nabi yang diutus oleh Allah adalah pengembala kambing. Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.” (Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad).
Dalam Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam terdapat hadis lain berkaitan dengan ini, “Tidak ada Nabi pun melainkan ia mengembala kambing.”
Ditanyakan kepada beliau, “Termasuk engkau, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw bersabda, “Ya, termasuk aku.”
Jiwa kepemimpinan Muhammad terlihat ketika terjadi perselisihan peletakan Hajar Aswad antarkabilah Quraish tentang siapakah yang berhak meletakkannya. Akhirnya seorang yang dituakan, Abu Umayyah bin Al Mughirah Al-Makhzumi, memberi alternatif bahwa yang berhak meletekkan batu itu adalah dia yang pertama kali masuk ke Ka’bah melalui pintu Safa.
Ternyata yang kali pertama kali masuk adalah Muhammad Saw. Maka, dengan sangat fantastis, Muhammad memberi terobosan penyelesaian masalah itu yakni dengan “melibatkan” seluruh kabilah atas peletakan Hajar Aswad dengan cara memegang ujung-ujung kain yang di tengahnya diletakkan batu itu. Dan akhirnya, dia sendiri yang meletakkan batu tersebut pada bangunan Ka’bah.
Kemandirian
Kemandirian Muhammad dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kondisi yang ditinggal oleh orang tuanya sebelum dia mengenalnya. Muhammad ditinggal ayahnya saat masih dalam kandungan dan ditinggal ibunya saat masih kecil.
Tidak cukup itu, Muhammad ditinggal pula oleh kakeknya Abdul Muthalib, yang merawat sepeninggal ibunya, saat masih berusia delapan tahun. Keadaan yatim-piatu dan kehilangan kakek ini tentu menempa jiwa beliau untuk bersikap mandiri.
Kedua, persentuhan Muhammad dengan dunia perdagangan mengandung makna tersendiri dalam potret kemandirian ini. Seperti dikenal belakangan ini dunia entrepreneurship (kewirausahaan) adalah dunia yang lekat dengan kemandirian karena pengambilan keputusan lebih bisa dilakukan secara mandiri dibanding dengan dunia birokrasi. Sebelum menjalankan perniagaan Khadijah ke Negeri Syam, Muhammad pernah juga berniaga dan berkongsi dengan seorang saudagar kecil bernama As-Saa’ib bin Abis Saab (Hamka, Sejarah Umat Islam)
Clean
Muhammad bersih (clean) dari anasir-anasir tercela. Pertama, beliau bebas dari penyembahan berhala. Salah satu fragmen percakapan Buhaira dengan Muhammad Ssaw berikut ini menjadi salah satu argumennya.
“Hai anak muda, dengan menyebut nama Al-Lata da Al-Uzza aku bertanya kepadamu dan engkau harus menjawab aku tanyakan kepadamu.”
Buhaira bertanya seperti itu, karena ia mendengar bahwa kaum Rasulullah Saw bersumpah dengan Al-Lata dan Al-Uzza. “Jangan bertanya tentang sesuatu apa pun kepadaku dengan menyebut nama Al-Lata dan Al-Uzza. Demi Allah, tidak ada yang sangat aku benci melainkan keduanya,” kata Muhammad Saw.
Kedua, Muhammad bersih dari pemikiran nafsu duniawi. Ketika sedang mengembala kambing dengan seorang kawannya pada suatu senja, tiba-tiba terlintas dalam hatinya bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain di gelap malam di Makkah.
Sesampainya di ujung Makkah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya Muhammad datang lagi ke Makkah, dengan maksud yang sama. Terdengarolehnya irama musik yang indah. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.
Muhammad tidak pernah minum khamr, tidak pernah makan daging yang disembelih atas nama berhala, dan tidak pernah menghadiri pesta-pesta yang diselenggarakan untuk berhala. Beliau juga terjaga auratnya, bahkan sejak kecil tidak pernah telanjang kecuali pada suatu peristiwa yang akhirnya menyedarkannya kembali.
“Pada masa kecilku, aku bersama anak-anak kecil Quraish mengangkat batu untuk satu permainan yang biasa dilakukan anak-anak. Semua dari kami telanjang dan meletakkan bajunya di pundaknya (sebagai ganjalan) untuk memikul batu. Aku maju dan mundur bersama mereka, namun tiba-tiba seseorang yang belum pernah aku lihat sebelumnya menamparku dengan tamparan yang amat menyakitkan. Ia berkata, ‘Kenakan pakaiannmu!’ Kemudian aku mengambil pakaiannku dan memakainya. Setelah itu aku memikul batu di atas pundakku dengan tetap mengenakan pakaian dan tidak seperti teman-temanaku.”
Puncak dari kebersihan Muhammad saw adalah kebiasaan beliau untuk melakukan tahanuf atau tahanut (berasal dari kata hanif yang berarti ‘cenderung kepada kebenaran’), yaitu kebiasaan mengasingkan diri dari keramaain orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan bertapa dan berdoa. Dengan tahanuth beliau melakukan perenungan dan pencarian kebenaran.
Pemberani
Muhammad sangat pemberani, karena pada umur empat belas tahun sudah ikut Perang Al-Fijjar, yaitu peperangan antara Quraish yang didukung Kinanah melawan Qais Ailan. Dinamakan Perang Fijar karena melanggar tanah suci dan bulan-bulan suci (Zulqadah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab). Dalam perang ini beliau berperan membantu mempersiapkan anak-anak panah untuk paman beliau (dalam keterangan lain beliau ikut pula melemparkan panah).
Komunikator Ulung
Hamka menulis bahwa Muhammad kenal betul akan kesukaan dan pergaulan bangsa Arab, demikian juga langgam bicara tiap-tiap negeri Arab. Tiap-tiap kabilah dilawannya berbicara menurut lidah kabilah itu! Perkataanya lemah manis tersusun dan tertib, berfasal, beratur, dapat dihafal dan dimenungkan, faham siapa yang mendengar, seakan-akan mutiara yang disusun layaknya.
Kata Aisyah: “Rasulullah tidak pernah bercakap berseloroh sebagai cakapku ini, perkataannya tersusun, berhujung dan berpangkal.” Berkata Ibnu Abi Haalah, “Senantiasa dia berdukacita, selalu dia berfikir. Tak pernah senang diam, tidak dia bercakap kalau tidak perlu, panjang diamnya, dimulai perkataannya dan dikuncinya dengan teratur, perkataannya itu penuh berisi, tidak banyak bunga dan tidak terlalu ringkas, lemah manis tidak tegang dan tidak kendur.”
Berbudi Tinggi
Akhlaknya tinggi: pemaaf, penyantun, sabar, adil, tawadu, hormat pada orang tua, kasih pada yang muda, dermawan, bermalu
Di antaranya karakter kuat di atas, ada empat sifat asasi yang beliau miliki, yang oleh Said Hawwa (Ar Rasul, Gema Insani Press. Jakarta: 2003) wajib bagi setiap rasul Allah.
- Ash-Shidqul Muthlaq (kejujuran secara mutlak)
- Al-Iltizamul Kamil (komitmen dan sifat amanah yang sempurna)
- At-Tablighul Kamil (penyampai kandungan risalah secara sempurna)
- Al-Aqlul Azhim (intelegensi yang cemerlang).
Penulis Mohammad Nurfatoni