Perjalanan Terakhir Buya Hamka, Catatan Media dan Sahabat
Perjalanan Terakhir Buya Hamka mencatat jejak kebajikan Hamka. Membaca perjalanan hidup Hamka laksana menyusuri ’sajadah panjang cinta’. Betapa banyak kebajikan yang dikerjakannya selama hidupnya. Wafat 24 Juli 1981, Hamka meninggalkan catatan indah.
Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sebelas judul lainnya.
Tagar.co – Untuk mencatat beberapa yang mudah diingat tentang kontribusi Hamka bagi masyarakat, ada baiknya kita lakukan. Kita coba menyebut sekadar beberapa saja. Tujuannya, pertama,“merekonstruksi” performa Hamka. Kedua, bisa menjadi inspirasi terkait keteladanannya.
Berikut ini, beberapa poin yang bersumber dari buku Perjalanan Terakhir Buya Hamka. Buku ini terbit pada September 1981 atau dua bulan setelah Hamka wafat.
Baca juga: Penguasa Jangan Antikritik
Di sini, hanya diambil beberapa bagian penting dari keutamaan Hamka, yang tersebar dari halaman 51 sampai 140. Separo berupa kesaksian media cetak lewat tajuk rencana dan feature mereka. Separuh yang lain, berupa kesaksian sahabat.
Secara keseluruhan, tajuk rencana dan feature media saat Hamka wafat mencerminkan penghormatan yang tinggi kepada Hamka. Juga, pengakuan yang tulus terhadap kontribusi besar Hamka dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam Catatan Media
Duka atas kepergian Hamka pada 1981 tidak hanya dirasakan oleh keluarga saja, tetapi juga oleh seluruh bangsa Indonesia. Bangsa ini telah merasakan banyak manfaat dari semua aktivitasnya sejak masa penjajahan sampai masa pembangunan.
Banyak media besar yang menurunkan Tajuk Rencana atau feature segera setelah Hamka wafat. Semuanya, menyatakan duka yang mendalam. Semuanya, merasa kehilangan. Semuanya, memberi penghargaan atas perjuangan Hamka untuk bidang yang sangat luas.
Baca juga: Belajar pada Tiga Sahabat Perempuan Terpelajar yang Tangguh
Sekadar menyebut nama media tersebut, adalah: Merdeka, Pelita, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Tempo, Kompas, dan Berita Buana. Berikut ini sebagian “ungkapan cinta” mereka kepada Hamka.
Pertama, Hamka orang besar milik bangsa yang hidup dan perjuangannya bisa menjadi teladan (Merdeka).
Kedua, Hamka Ulama Besar yang kemasyhurannya sampai ke luar negeri (Pelita).
Ketiga, Hamka mampu mempersatukan berbagai golongan Islam yang dalam beberapa hal terkadang berbeda pendapat (Pikiran Rakyat).
Keempat, Hamka brilian sebagai ahli agama, wartawan, sastrawan, pakar filsafat, maupun sebagai pembicara (Sinar Harapan).
Kelima, Hamka tempat bertanya umat. Lihat, misalnya, rumahnya sering ramai bukan oleh para tamu seprofesi atau orang pemerintah tapi para anggota masyarakat kebanyakan yang antre di kursi berandanya seperti pasien dokter setiap sore. Tentu, mereka tanpa membayar serupiah pun. Mereka, sungguh bukan orang-orang penting. Mereka minta bermacam nasihat, mulai dari bagaimana menyelesaikan soal gono-gini dalam waris sampai soal bunyi doa melewati kuburan. Mereka bisa Pak Haji, bisa bintang film, bisa pemuda keturunan Cina (Tempo).
Baca juga: Cara Meraih Nol Musuh
Dekat Rakyat
Keenam, Hamka dekat dengan rakyat kebanyakan. Hamka, bisa dibilang, Ulama Besar pertama yang dekat dengan kalangan yang begitu “sangat umum”-yang bukan santri-, yang seakan baru mengenal Islam. Mereka ini, ditambah separo kalangan santri sendiri yang di masa itu “tak punya bapak”, memang benar “anak-anak Hamka” (Tempo).
Ketujuh, ajakan dakwah Hamka memikat. Khotbah Hamka tidak membosankan, karena Hamka mengenal betul dunia manusia dan alam Indonesia. Ini, karena Hamka suka mengembara yang dengan demikian mampu menghayati segi-segi positif dan negatif manusia (Kompas). Memang, khotbah Hamka menyejukkan dan tablignya mengasyikkan (Terbit).
Kedelapan, pendekatan dakwah Hamka berhasil. Bahwa, cara-cara pendekatan Hamka telah mencapai hasil berupa memperbesar jumlah pemeluk Islam di kalangan warga negara keturunan asing khususnya keturunan Cina. Itu, meliputi kalangan generasi muda, kaum cerdik pandai, maupun pengusaha (Berita Buana).
Kesembilan, Hamka lincah dalam bertutur kata. Hidup gaya bahasanya, nyastra (Kompas).
Kesepuluh, tulisan-tulisan Hamka menggugah nurani, pendiriannya teguh, dan semangatnya menyala-nyala (Terbit).
Kesebelas, Hamka tak henti berdakwah. Dalam Ramadan 1981 (bulan ketika sang ulama wafat), Hamka terus berpuasa dan tetap menjalankan kegiatan rutin. Sehari sebelum masuk Rumah Sakit, Hamka memberikan ceramah pada Penataran Mubalig di Pasar Rebo Jakarta. Sorenya, gangguan pada jantungnya mulai terasa. Malamnya, Hamka masih mengimami tarawih di Masjid Al-Azhar plus memberi ceramah Ramadhan sampai pukul 22.00. Sebagaimana biasa, Hamka pergi ke dan pulang dari Masjid Al-Azhar yang berjarak sekitar 400 meter dari rumahnya, berjalan kaki dan naik-turun tangga yang tinggi (Tempo).
Dalam Ingatan Sahabat
Sejumlah sahabat Hamka punya kenangan yang baik atas ulama yang rendah hati itu. Berikut ini sebagian di antaranya.
Pertama, Hamka adalah ulama pembela kebenaran yang mempunyai karakter. Tentang ini, di antara yang diingat Mohammad Natsir adalah sikap Hamka mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI, demi sesuatu yang diyakininya benar.
Kedua, Hamka sosok tegas. Salah satu yang paling dikenang Mohammad Natsir atas Hamka adalah bagian dari pidatonya pada masa Orde Lama. Pada salah satu sidang Dewan Konstituante, Mei 1959, dengan lantang Hamka menegaskan pendapatnya bahwa “Trias politica sudah kabur di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah totaliterisme, Front Nasional adalah partai negara”. Belakangan, Hamka ditahan oleh rezim Orde Lama.
Baca juga: Aktivitas Nahi Mungkar Itu Mulia
Ketiga, Hamka diterima semua kalangan. Adalah H.A. Syaikhu, tokoh NU dan Ketua Itihadul Mubalhighin, yang kagum kepada Hamka. Kata dia, Hamka itu ikhlas dan penuh pengertian.
Syaikhu melanjutkan, Hamka sebagai seorang ulama dan pemimpin besar akrab dengan kalangan NU. Semua pendapat Hamka dalam bidang agama, tujuannya jelas, yaitu untuk mempersatukan umat Islam.
Keempat, Hamka pembelajar yang tekun. Terkait, Yunan Nasution menjadikan Hamka sebagai contoh seorang otodidak yang sangat berhasil. Hamka yang hanya sampai kelas 2 SD mampu berprestasi secara nasional maupun internasional. Memang, sejak awal Hamka sangat akrab dengan buku. Setiap hari kalau Yunan Nasution ke rumah Hamka di Medan (yang bertetangga dan rumah mereka hanya berjarak sekitar 10 rumah), selalu saja sang sahabat sedang membaca buku.
Kelima, Hamka punya karisma. Sumber kharisma terutama dari tulisan yang menarik semua kalangan termasuk kalangan muda. Kesaksian ini masih dari Yunan Nasution. Bahwa, tulisan-tulisan Hamka sejak memimpin “Pedoman Masyarakat” sangat digemari oleh masyarakat.
Baca juga: Cinta Hamka kepada Guru-Guru Istimewa
Lisan dan Tulisan Bagus
Keenam, Hamka lisannya fasih dan tulisannya menarik karena aktif membaca dan kuat ingatannya. Ini kesaksian KH Zainal Abidin Ahmad, Rektor PTIQ.
Ketujuh, Hamka seorang sahabat yang baik serta tetap saling menghormati dan saling mencintai meski sering berbeda pendapat. Ini kesaksian Syafruddin Prawiranegara.
Kedelapan, Hamka adalah pemimpin yang antara kata dan perbuatannya sama. Ini kesaksian Emil Salim.
Kesembilan, Hamka adalah “Bapak Spiritual” bagi umat dan simpatisan Islam yang tak “berinduk”. Ini, kata Syu’bah Asa – budayawan. Kata dia, sangat boleh jadi, nantinya umat Islam di kota-kota akan “berbapak” kepada Hamka. Umat Islam di luar NU atau Muhammadiyah, misalnya, hampir semuanya bisa jadi menempatkan Hamka sebagai imamnya.
Kesepuluh, Hamka pemikir besar dan sastrawan besar. Demikian, kata Alamsyah Ratu Prawiranegara.
Kesebelas, Hamka berjiwa aktivis yang punya sifat pengayom. Tentang ini, Yunan Nasution menunjuk aktivitas Hamka di Sarekat Islam dan di Muhammadiyah.
Hamka telah lama berpulang. Menjadi tugas kita bersama untuk tetap terus menghidup-hidupkan spirit perjuangannya. Kita lanjutkan semua karya dan kebajikan yang telah diteladankan oleh salah seorang putra terbaik bangsa ini. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni