Arsitektur Hujan: Pernahkah Anda berada di antara hutan kata benda: televisi, mikrofon, meja, kursi, tiang listrik, koper, telepon, atau jendela? Ya, Afrizal Malna menjadikan idiom ini dalam menggambarkan peristiwa ganjil.
Tagar.co – Afrizal Malna merupakan sastrawan dan seniman yang lahir di Jakarta 7 Juni 1957. Sebagai seorang sastrawan, dia sudah menciptakan berbagai karya sastra, seperti puisi, cerpen, esai, bahkan naskah teater.
Buku Arsitektur Hujan merupakan salah satu buku kumpulan puisi karya Afrizal Malna yang terbit pertama kali tahun 1995. Sama seperti buku kumpulan puisinya terdahulu, di buku ini dia cenderung menggunakan kata-kata masih dibilang nyentrik atau kacau-balau secara tata bahasa, tetapi secara tekstual dapat membentuk ciri khas dari gaya puitiknya.
Pada buku ini, terdapat banyak makna yang dipermainkan sang penyair lewat kata-kata benda. Memisal televisi, mikrofon, meja, kursi, tiang listrik, koper, telepon, atau jendela; dan tentu saja semua kata benda itu dihubungkan dengan berbagai peristiwa yang bisa dikatakan ganjil, yang hanya bisa dibayangkan bila kita memvisualisasikan teks-teks puisinya tersebut.
Baca juga: Puisi Mbeling Remy Sylado, Seberapa Nakalkah?
Bagi yang belum pernah membaca karya-karya puisinya Afrizal Malna, barangkali akan kesulitan dalam menarik benang merah (simpulan) dari puisi-puisinya tersebut. Akan tetapi, pada buku kumpulan puisi Arsitektur Hujan ini (juga pada beberapa buku kumpulan puisinya yang lain), Afrizal Malna dengan samar menuliskan sebuah kredo (pernyataan keyakinan) yang menegaskan puisi-puisi yang dia ciptakan merupakan wujud dari kegelisahannya terhadap bahasa yang kerap berjalan secara statis.
Karena itulah, sering kali Afrizal Malna menulis puisi-puisi yang bagi orang awam terlalu nyentrik atau tidak jelas maknanya. Lebih dari itu, apa yang divisualisasikan oleh Afrizal Malna lewat teks-teks puisinya sebenarnya dapat memberikan keleluasaan bagi pembacanya untuk menafsirkan sendiri simpulannya. Seperti puisi yang berjudul Masyarakat Rosa di bawah ini.
Masyarakat Rosa
Dari manakah aku belajar jadi seseorang yang tidak aku kenal, seperti belajar menyimpan diri sendiri. Dan seperti usiamu kini, mereka mulai mengira dan meyakini orang banyak, bahwa aku bernama Rosa.
Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru setelah memiliki kartu nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Mahluk baru itu kian membesar jadi sejumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telepon. Rosa membuat aku menggigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi dirimu.
Baca juga: Pesona Penyair D. Zawawi Imron
Ayahku bernama Rosa pula, ibuku bernama Rosa pula, seperti para kekasihku pula bernama Rosa. Mereka memanggilku pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri dan anak-anak mereka. Dan aku beli diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang selalu baru.
Rosa berhembus dari gaun biru dan rambut basah, dari bibir yang memahami setiap kata, lalu menyebarkan berlembar-lembar cermin jadi Rosa. Tetapi jari-jemarinya kemudian basah dan membiru, ketika menggenggam mikrofon yang menghisap dirinya. Di depan layar televisi, ia menggenang: “Itu adalah Rosa, seperti menyerupai diriku.” Gelombang Rosa berhembus, turun seperti pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang menjelma jadi Rosa.
Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera dan fotokopi. Tetapi kemudian Rosa berbicara mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti menyebut nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan itu, kini telah bernama Rosa pula.
Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang bernama Rosa, menepi saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: Rosa … dunia wanita dan lelaki itu, mengenakan kacamata hitam. Mereka mengunyah permen karet, turun dari layar-layar film, dan bernyanyi: seperti lagu, yang menyimpan suaramu dalam mikrofon pecah itu.
1989
Ada dua hal yang menarik di kumpulan puisi Arsitektur Hujan ini, yaitu adanya beberapa subtema dari teks-teks puisi yang disusun berdasarkan rentang tahun (periode), dan indeks kata yang ditempatkan pada bagian akhir buku yang jarang sekali ditemukan pada buku-buku kumpulan puisi pada umumnya.
Kumpulan puisi Arsitektur Hujan ini merupakan buku puisi ketiganya setelah Yang Berdiam dalam Mikropon (1990). Buku puisi ini berisi empat kumpulan puisi dari Afrizal Malna. Sekaligus juga buku yang merangkum empat fase historis penciptaan puisinya.
Empat kumpulan puisi itu, kemudian dalam Arsitektur Hujan dijadikan empat subjudul besar, yakni: Narasi dari Semangka dan Sepatu (1990-1995); Yang Berdiam dalam Mikrofon (1989-1990); Mitos-Mitos Kecemasan (1985-1989); dan Membaca Kembali Dada (1980-1984).
Membaca puisi-puisi di dalam buku ini jadi suatu hal yang mustahil rasanya untuk dilakukan secara sambilan. Membutuhkan waktu untuk mencoba mengupas dan memaknai karya Malna ini.
Tapi untuk memahami Afrizal Malna, agaknya kita perlu berkaca bahwa puisi-puisi di dalamnya benar-benar bersifat fragmentaris. Potongan-potongan, tanpa hukum sebab-akibat kenapa suatu kosa kata atau potongan adegan di tempatkan di sana.
Baca juga: Kekuatan Imaji dalam Puisi Perahu Kertas Sapardi Djoko Damono
Ini juga barangkali yang jadi sikap kepenyairan Afrizal Malna secara keseluruhan dari karya-karyanya. Sajak-sajak benda memberikan ruang lebih kepada bahasa untuk merepresentasi benda yang menyimpan identitas bukan satu namun banyak orang sekaligus (identitas massa). Suatu hal yang disebut Afrizal Malna biografi teks.
Memang, membaca puisi Afrizal Malna adalah satu langkah untuk bisa berpikir dalam cakupan yang lebih besar. Bagaimana teks tak melulu dimaknai sebagai satu makna melainkan berbagai macam makna dan latar belakang yang melahirkan identitas massa tadi.
Bagi sebagian orang, puisi Afrizal Malna ini berada pada daftar puisi membosankan dan bikin pusing. Tapi, bagi akademisi dan penggiat di bidangnya puisi Afrizal Malna yakini begitu disenangi dan memiliki ciri khasnya sendiri.
Selamat membaca negeri benda milik Afrizal Malna! (#)
Jurnalis Ichwan Arif Penyunting Mohammad Nurfatoni