Telaah

Nafkah, Siapa Saja yang Wajib Dinafkahi Suami?

×

Nafkah, Siapa Saja yang Wajib Dinafkahi Suami?

Sebarkan artikel ini
Apa arti kata nafkah? Siapa yang seharusnya diberi nafkah? Bagaimana urut-urutan prioritas penerima nafkah? Bagaimana bila suami tak mampu secara ekonomi?
Nafkah suami pada istrinya (Ilustrasi freepik.com premium)

Apa arti kata nafkah? Siapa yang seharusnya diberi nafkah? Bagaimana urut-urutan prioritas penerima nafkah? Bagaimana bila suami tak mampu secara finansial?

Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).

Tagar.co – Nafkah artinya memberikan belanja untuk keperluan hidup. Kewajiban untuk menafkahi dan siapa saja yang dinafkahi terurai dengan cukup rinci sebagaimana hadis-hadis berikut:

Thariq Al-Muharibi menceritakan, “Kami tiba di Madinah pada saat Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar sedang berkhotbah kepada orang banyak. Beliau bersabda, ’Tangan pemberi lebih mulia dan mulailah terhadap orang yang menjadi tanggungannya itu, ibumu, ayahmu, saudara perempuan dan saudara lelaki, kemudian orang yang terdekat denganmu, lalu orang yang dekat denganmu (kekerabatannya)’.” (HR An-Nasai)

Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, ’Wahai Rasulallah, saya mempunyai satu dinar.’ Beliau menjawab, ’Belanjakanlah untuk dirimu.’ Lelaki itu berkata lagi, ’Saya mempunyai satu dinar lainnya.’ Rasulullah menjawab, ’Belanjakanlah untuk anak-anakmu.’ 

Lelaki itu berkata lagi, ’Saya mempunyai satu dinar lagi.’ Beliau menjawab, ’Belanjakanlah untuk keluargamu (istrimu).’ Lelaki itu berkata lagi, ’Saya mempunyai satu dinar lainnya.’ Beliau menjawab, ’Belanjakanlah untuk pelayanmu.’ Lelaki itu berkata lagi, ’Saya mempunyai satu dinar lainnya.’ Beliau menjawab, ’Kamu lebih mengetahui (itu terserah kepadamu).” (HR Abu Dawud). Ada riwayat lain yang menyebutkan istri lebih dahulu daripada anak.

Baca Juga:  Adakanlah Walimah meskipun Hanya dengan Seekor Kambing

Baca juga: Ikhtilaf, Melihat Perbedaan Pendapat para Sahabat Nabi

Dari dua hadis di atas dapat disimpulkan bahwa suami berkewajiban memberi nafkah kepada keluarganya, dengan urutan: Anak atau istri, budak, ibu, ayah, saudara perempuan, saudara laki-laki, lalu terserah siapa yang terdekat menurut kita. 

Pada kenyataannya adakalanya seorang suami enggan menafkahi istrinya secara cukup, walaupun sang suami berada dalam kecukupan. Pada kondisi seperti ini Rasulullah SAW membolehkan sang istri untuk menggunakan harta suaminya tanpa sepengetahuan suaminya secara makruf. 

Sebagaimana diceritakan dalam hadis berikut: Siti Aisyah menceritakan bahwa Hindun (istri Abu Sufyan) masuk menemui Rasulullah SAW, lalu berkata, ’Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak mau memberikan belanja yang cukup untuk diriku dan anak-anakku, kecuali jika kuambil dari sebagian hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah perbuatanku itu berdosa? Rasulullah SAW mwnjawab, ’Ambillah dari hartanya secara makruf untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu.’ (HR Bukhari-Muslim)

Baca jugaFahisyah, Perbuatan Keji yang Dikutuk di Al-Qur’an

Berbeda halnya ketika sang suami sendiri berada dalam ketidakmampuan, maka suaminya berkewajiban menafkahi sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sesuai dengan hadis berikut: Wahai Rasulullah, apakah hak seseorang dari kami yang menjadi suami? Rasulullah SAW menjawab, ’Kamu memberi makan istrimu jika kamu makan, kamu beri pakaian jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajahnya, jangan memburuk-burukkannya, dan janganlah mendiamkannya kecuali dalam lingkungan rumah (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasai, dan Ibn Majah). 

Baca Juga:  Ciri-Ciri Ululalbab

Kondisi ini tidak berarti membolehkan suami untuk tidak berusaha serius dalam memenuhi nafkah keluarga, tetapi merupakan suatu kondisi yang terpaksa—sang suami berusaha secara optimal, namun belum memberikan hasil yang maksimal.

Memberi nafkah merupakan kewajiban sang suami, sesuai dengan kemampuan suaminya. Pemberian nafkah dilakukan sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkannya. Mulai dari keluarga yang menjadi tanggungan kita, selanjutnya kepada kerabat dekat berikutnya. 

Karena tangan yang di atas lebih baik, maka selayaknya kita berupaya menjadi pemberi nafkah bagi saudara kita yang lain! (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni