22 Tahun Pimpin Muhammadiyah, Pak AR Tak Punya Rumah

0
Sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama, yakni 22 tahun (1968-1900), Pak AR ternyata tak punya rumah. Dia tinggal di rumah pinjaman Persyarikatan dan kontrakan. Uniknya, rumah kontrakannya dihuni jin.

Pak AR alias KH Abdur Rozak Fachruddin (Foto Muhammadiyah.or.id)

Sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama, yakni 22 tahun (1968-1900), Pak AR ternyata tak punya rumah. Dia tinggal di rumah pinjaman Persyarikatan dan kontrakan. Uniknya, rumah kontrakannya dihuni jin.
Pak AR alias KH Abdur Rozak Fachruddin (Foto Muhammadiyah.or.id)

Sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama, yakni 22 tahun (1968-1990), Pak AR Fachruddin ternyata tak punya rumah. Dia tinggal di rumah pinjaman Perserikatan dan kontrakan. Uniknya, rumah kontrakannya dihuni jin.

Tagar.co – Sampai wafatnya Jumat 17 Maret 1995 di usia 79 tahun, Pak AR alias K.H. Abdur Rozak Fachruddin—Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama (1968-1990)—tidak pernah memiliki rumah.

Rumah besar yang ditempatinya di Cik Ditiro 19A Yogyakarta sejak 1971 bukan milik pribadi melainkan milik Muhammadiyah. Sebelumnya, Pak AR sekeluarga menghuni rumah sewa sederhana di kawasan Kauman, Yogyakarta.

Mengutip merdeka.com, Pak AR sebenarnya juga ingin punya rumah sendiri. Dia pernah mengangsur rumah pada awal 1960-an ketika masih bertugas di Departemen Agama. Sayang, developer (pengembang)-nya menipu Pak AR Fachruddin. Melarikan uangnya. 

Menyesal

Soal rumah yang ditipu itu Sefuddin Simon mengungkap dialog Pak AR dengan istrinya Siti Qomariyah dalam tulisan Rumah di Surga Pak AR Fachrudin yang dimuat republika.co.id.

“Pak, bagaimana perkembangan rumah kita?” kata Bu Qom—sapaan Siti Qomariyah—suatu ketika kepada Pak AR yang baru datang dari ceramah di luar kota.

Pak AR pun terdiam. Keriangan di wajahnya kelihatan pudar. 

“Bu, sabar ya. Soal rumah jangan dipikirkan lagi. Developernya lari. Tak usah disesali, Allah akan mengganti rumah kita dengan rumah yang lebih baik di sorga nanti,” jawab Pak AR lirih.

Bu Qom merasa menyesal mempertanyakan soal rumah tersebut. “Saya sangat menyesal mempertanyakan rumah itu kepada Pak AR. Padahal Pak AR masih capai, baru datang dari luar kota,” kata Bu Qom menyesali munculnya pertanyaan itu.

Baca juga: Hidup Nomaden karena Tak Punya Rumah, Kesederhanaan Haji Agus Salim

Sampai bertahun-tahun kemudian, setelah Pak AR wafat, Bu Qom masih menceritakan penyesalannya soal pertanyaan rumah itu. Mungkin karena penyesalan tersebut, Bu Qom meneruskan pilihan hidup miskin tanpa memiliki rumah.

Setelah Pak AR wafat dan rumah Cik Ditiro 19A pinjaman Muhammadiyah itu diberikan kembali oleh keluarga Pak AR kepada perserikatan. Kemudian Muhammadiyah—atas usulan Prof Malik Fadjar—akan memberikan tanah seluas 1000 meter persegi dekat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk keluarga Pak AR. 

Muhammadiyah juga akan membiayai pembangunan rumah keluarga Pak AR sebagai ungkapan terima kasih atas kepemimpinan Pak AR yang membesarkan Muhammadiyah selama 22 tahun.

Tapi niat baik itu ditolak secara halus oleh Bu Qom. “Tidak usahlah. Muhammadiyah lebih membutuhkan tanah itu ketimbang keluarga saya,” kata Bu AR.

‘Kontraktor’ Rumah Jin

Sebelum Pak AR tinggal di rumah pinjaman Muhammadiyah di Cik Ditiro 19A Yogyakarta, Pak AR adalah ‘kontraktor’ alias tukang kontrak rumah. Da berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Dan beberapa rumah kontrakan itu dianggap oleh orang-orang sekitar ada jinnya. 

Sukriyanto AR—anak Pak AR—menceritakan, ketika bertugas di Sentolo, Kulonprogo, Pak AR menyewa rumah di selatan pasar, sebelah barat stasiun. Rumah itu sudah lama kosong, karena itu tidak ada yang berani tinggal di situ. 

Pemilik rumah itu seorang janda tua yang kaya dikenal dengan panggilan Mbah Radi. Orangnya keras (galak), banyak orang yang takut padanya. Orang itu punya rumah banyak. Salah satu rumah yang katanya ditunggui “jin” itu. 

Baca jugaMohammad Natsir: Jabatan Mentereng, Gaya Hidup Bersahaja

Kata orang-orang, setiap malam di dekat sumur sering terdapat bunyi gerat-gerit, seperti orang menimba air. Karena harga sewanya murah, maka rumah itu kemudian disewa oleh Pak AR. 

Dan, betul di sana memang terdapat bunyi gerat-gerit. Ketika diperhatikan bunyi itu ternyata adalah bunyi bambu yang dipakai untuk menaikkan air (Jawa: senggot), yang kalau kena angin berbunyi gerat-gerit.

Selama tinggal di situ ternyata tidak ada apa-apa, kecuali bunyi gerat-gerit itu. Jadi, lumayan dapat rumah agak luas, halamannya luas, banyak pohon mangganya, dan sewanya murah.

Jin Trowongso

Ketika pindah ke Kauman Nomor 260 BL, Pak AR tinggal—maksudnya menyewa—rumah H Abdullah. Kata orang, di rumah itu ada jin yang tinggal di situ. Namanya Trowongso. Kadang-kadang, di malam hari, sering terdengar ada suara anak menangis. Dan sering pula ada bunyi ‘dar-der’ seperti dilempari batu.

Tapi selama Pak AR tinggal di rumah itu, alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa. Tidak pernah bertemu atau diganggu Trowongso. Memang sering terdengar seperti anak menangis, tetapi setelah diperhatikan ternyata suara binatang (sejenis luwak). 

Baca juga: Presiden RI yang Terabaikan, Sjafruddin Prawiranegara

Adapun bunyi ‘dar-der’ itu setelah diperhatikan ternyata suara buah sawo yang jatuh di malam hari karena dimakan codot, jatuh di atas rumah yang kebetulan terbuat dari seng.

Saat di Semarang, Pak AR Fachruddin juga ditawari rumah yang ada jinnya. Pak AR sempat tinggal di situ sementara, tetapi karena rumahnya sangat besar dan biaya perawatannya tinggi— padahal gaji Pak AR hanya sedikit—terpaksa rumah itu ditinggalkan dan pindah ke rumah gedek (anyaman bambu) di Pindrikan, di Jalan Sadewa 45 Semarang. (#)

Penulis Mohammad Nurfatoni

Sumber utama tulisan ini adalah buku Biografi Pak AR karya Sukriyanto AR (Suara Muhammadiyah, Mei 2017). Dilengkapi dengan sumber-sumber lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *