Karbala, Terbunuhnya Husain Cucu Nabi

0
Karbala menjadi tragedi menyedihkan dalam sejarah Islam. Menunjukkan dalam politik tak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Peristiwa ini dikenang menjadi Asyura.

Kompleks makam Husain bin Ali di Karbala Irak. (wikipedia)

Karbala menjadi tragedi menyedihkan dalam sejarah Islam. Menunjukkan dalam politik tak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Peristiwa ini dikenang menjadi Asyura.
Kompleks makam Husain bin Ali di Karbala Irak. (wikipedia)

Karbala menjadi tragedi menyedihkan dalam sejarah Islam. Menunjukkan dalam politik tak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Peristiwa ini dikenang menjadi Asyura.

Tagar.co – Karbala, satu daerah berjarak 100 km di barat daya Baghdad, Irak. Di tempat ini terjadi tragedi memilukan terbunuhnya Husain bin Ali bin Abu Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.

Peristiwa itu terjadi pada 10 Muharam 61H atau 10 Oktober 680 M. Terjadi pertempuran siang hari di Padang Karbala yang tidak seimbang. Antara pasukan Yazid bin Muawiyah berjumlah 30.000 tentara dan pasukan Husain sebanyak 71 orang.

Pokok masalah adalah perebutan tahta khalifah setelah meninggalnya Muawiyah bin Abu Sufyan. Keluarga Muawiyah mengangkat anaknya, Yazid, yang berumur 33 tahun.

Para sahabat di Madinah seperti Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, dan pendukung Ali bin Abu Thalib di Kufah, Irak, menentang jabatan khalifah yang diwariskan kepada anak.

Kelompok ini memilih Husain bin Ali bin Abu Thalib yang lebih patut. Husain saat itu berumur 55 tahun.

Terjadilah perang sadis di Karbala yang dipicu oleh kebencian dan perebutan kekuasaan. Demi kepentingan politik musuh dibantai habis sampai musnah pasukan dan anak-anak musuhnya.

Baca Juga Bulan Muharam dan Keutamaan Amalannya

Pesan Muawiyah

Yazid melupakan pesan ayahnya supaya menghormati ahlul bait sehingga tidak mengulang perang Shiffin antara Muawiyah dan Ali.

Pasukan Yazid juga setia buta kepada penguasa sehingga tak menghormati keturunan Nabi Muhammad.

Dalam kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir diceritakan, di hari-hari terakhir Muawiyah sempat berkhotbah di depan jamaah.

”Wahai umat Muslim, ketahuilah, sungguh setiap orang yang mau menebar benih kebaikan di muka bumi ini pasti akan menuai hasilnya.”

“Aku sungguh telah menuntaskan urusan pemerintahan ini. Maka setelahku tidak akan lebih baik dariku, karena tidaklah berputar roda zaman kecuali zaman setelahnya lebih buruk dari sebelumnya.”

“Karena seperti itulah ketentuan Rasulullah di dalam hadis-Nya.”

Muawiyah juga menyampaikan wasiat kepada anaknya, Yazid.

”Wahai Yazid  jika sampai ajalku, suruhlah orang yang ahli fikih untuk memandikanku. Karena Allah lebih memuliakan ahli fikih dari selainnya.”

”Wahai anakku, jika tiba ajalku ambillah secarik kain yang aku letakkan di lemari. Jadikan kain bekas baju Rasulullah itu sebagai kafanku, dan taruhlah seikat kain yang di dalamnya ada rambut dan kuku Rasulullah dalam kafanku.”

“Wahai Yazid, tetaplah kamu berbakti kepada orang tua. Ketika kau letakkan jasadku ini di liang lahat, cepatlah kamu selesaikan. Biarkan aku sendiri menghadap Zat Maha Pemurah.”

”Wahai Yazid, perhatikan Husain. Ia adalah orang yang paling dicintai muslimin. Sambunglah tali silaturahmi dengannya, karena dengan begitu segala urusanmu akan lancar.”

“Jangan sampai terulang kejadian yang telah menimpaku (konflik dengan Ali bin Abu Thalib).”

Baca juga Khalifah Umar bin Abdul Aziz Akhiri Caci Maki pada Ali di Khotbah Jumat

Perubahan Politik

Sejarawan Prof Dr Ahmad Syalabi dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Islam menceritakan, mendengar terjadi pergolakan di Madinah, Yazid minta Gubernur Al Walid bin Utbah bin Abi Sufyan menangkap para sahabat penentangnya.

Ibnu Zubair dan Ibnu Abbas ditangkap dan dipaksa baiat. Husain, keluarga, dan pengikutnya meminta perlindungan ke penduduk Makkah.

Sewaktu berada di kota ini, Husain menerima surat dukungan tokoh Kufah, Irak, yang mengatakan ada ribuan penduduk Kufah mendukungnya menjadi khalifah.

Husain mengirim sepupunya, Muslim bin Uqail bin Abi Thalib, ke Kufah mengecek kabar itu. Saat dia tiba di Kufah sebanyak 30.000 penduduk menyatakan berbaiat  kepada Husain.

Muslim bin Uqail menyampaikan kabar ini ke Husain dan memintanya berangkat ke Kufah. Husain diiringi pasukan, istri, anak-anaknya seperti Ali Zainal Abidin dan Ali Ashgar berangkat.

Ibnu Abbas dan Ibnu Umar menyarankan menuju Yaman saja yang penduduknya jelas pendukung Ali bin Abi Thalib. Tapi Husain tetap memilih Kufah dan percaya dengan baiat itu.

Ternyata situasi politik di Kufah berubah. Yazid mencopot Gubernur Nukman bin Basyir yang lemah menyikapi pendukung Husain. Kufah digabungkan dengan Parsi dipimpin Gubernur Ubaidullah bin Zayyad bin Abu Sufyan.

Ubaidullah bin Zayyad mengamankan kondisi Kufah sebelum Husain tiba. Sejumlah pasukan dikirim. Penentang Yazid ditangkap termasuk utusan Muslim bin Uqail. Mereka disiksa dan dibunuh. Tokoh dan penduduk Kufah takut. Langsung berbaiat dan setia kepada Yazid.

Kondisi kota aman Gubernur Ubaidullah bin Zayyad mengirim pasukan dipimpin Al Hur bin Yazid Attamimi menemui rombongan Husain.

Di perjalanan Husain mendapat laporan perubahan situasi politik di Kufah dan pembunuhan Muslim bin Uqail. Komandan pasukannya menyarankan Husain kembali ke Mekkah. Situasi tidak aman.

Husain bersikukuh. ”Siapa memilih balik, silakan balik. Saya tetap ke Kufah,” tegas Husain.

Sebagian besar tentaranya memilih kembali ke Mekkah. Tinggal 71 orang setia mendampingi Husain dan keluarganya. Terdiri 31 tentara berkuda dan 40 tentara berjalan kaki.

Di daerah Zu Husum pasukan kecil Husain bertemu pasukan komandan Al Hur yang berjumlah dua ribu tentara.

Dua pasukan ini istirahat dan shalat bersama. Usai shalat pasukan Al Hur bergerak mengepung Husain.

”Kami datang dengan rombongan kecil ini demi undangan kalian dari Kufah,” kata Husain.

”Maafkan kami, situasi politik sudah berubah,” jawab Al Hur.

”Jika kalian sudah berubah kesetiaan maka kami pun akan balik dari sini.”

”Tapi kami dapat perintah mengiringkan tuan ke Kufah menemui Gubernur Abdullah bin Zayyad.”

Tak lama datang pasukan dengan panglima Umar bin Saad bin Abi Waqas sebanyak seribu tentara bergabung dengan pasukan Al Hur.  

Mereka berunding. Husain mengajukan tiga penawaran kepada Panglima Umar bin Saad. Pertama, pasukannya balik ke Mekkah dengan aman. Kedua, dia langsung menemui Yazid di Damaskus. Ketiga, perang.

Usai berunding pasukan Husain menuju Padang Karbala. Panglima Umar mengirim utusan ke Gubernur Ubaidullah bin Zayyad mengabarkan hasil perundingan.

Makam Husain bin Ali (aktual)

Tragedi Menyedihkan

Gubernur menerima perundingan. Tapi perwiranya Syamir bin Ziljausan menentang. Dia berprinsip membiarkan Husain pergi  tanpa baiat menunjukkan Husain orang kuat, Gubernur Ubaidullah orang lemah.

Perwira Syamir bin Ziljausan menuju Padang Karbala. Memerintahkan komandan pasukannya menangkap Husain. Kalau menolak maka dibunuh bersama keluarga dan pasukannya.

Menerima perintah itu Panglima Umar bin Saad menyeru supaya Husain menyerah. Husain menolak. Terjadilah perang Karbala yang tak seimbang.

Pasukan Husain mati hancur binasa. Syamir dan pasukannya lantas mengepung Husain yang melawan sehingga luka-luka.

Seorang prajurit Zur’ah bin Syuraik memukul Husain hingga jatuh. Prajurit lainnya, Sinan bin Anas, menikamkan tombaknya.

Husain tergeletak. Lantas Sinan mendekati dan memenggal kepalanya. Kepala itu diserahkan kepada Panglima Umar bin Saad yang menerima dengan kaget atas perilaku prajuritnya itu. Hari itu 10 Muharam 60 Hijriah dikenal sebagai Hari Asyura. (#)

Penulis/Penyunting Sugeng Purwanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *