Karena Petisi 50 Natsir Gagal Dapat Gelar Dr HC dari Malaysia

0
Mantan Perdana Menteri tahun 1950-1951 Mohammad Natsir ikut menandatangani Petisi 50 yang mengkritik pidato Presiden Soeharto. Lalu hidupnya dipersulit oleh rezim Orde Baru.

Mohammad Natsir (dokumentasi keluarga/Antara)

Mantan Perdana Menteri tahun 1950-1951 Mohammad Natsir ikut menandatangani Petisi 50 yang mengkritik pidato Presiden Soeharto. Lalu hidupnya dipersulit oleh rezim Orde Baru.
Mohammad Natsir (dokumentasi keluarga/Antara)

Mantan Perdana Menteri tahun 1950-1951 Mohammad Natsir ikut menandatangani Petisi 50 yang mengkritik pidato Presiden Soeharto. Lalu hidupnya dipersulit oleh rezim Orde Baru.

Tagar.co – Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dalam musyawarah ke-87, 25 Januari 1991 memutuskan untuk menganugerahkan Doctor Honoris Causa (Dr HC atau Doktor Kehormatan) kepada Mohammad Natsir.

UKM menilai, Natsir adalah tokoh yang berjasa dalam pembangunan dakwah Islam. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga di ranah antarbangsa. UKM menilai, selain tepat, penganugerahan gelar Dr HC itu bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

Tapi rencana yang sudah dipersiapkan oleh UKM hampir setengah tahun itu gagal dilaksanakan. Penyebabnya, Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto tidak mengizinkan Natsir pergi ke Malaysia.

Baca juga: Sejarah Petisi 50, Kelompok Kritis yang Dibungkam Orde Baru

Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) itu dicekal (cegah dan tangkal) ke luar negeri gara-gara menjadi salah seorang dari 50 tokoh yang ikut menandatangani Pernyataan Keprihatinan atau yang dikenal dengan Petisi 50. 

Pernyataan Keprihatian itu muncul untuk menanggapi pidato Presiden Soeharto yang disampaikan dalam Rapim ABRI (kini TNI) di Pekanbaru 27 Maret 1980 dan di HUT Kopassandha (kini Kopasus) di Cijantung, 16 April 1980.

Dalam pidatonya itu Soeharto menuduh ada pihak-pihak tertentu yang melempar isu-isu terhadap dirinya dengan tujuan mengubah Pancasila dan UUD 1945.

Akhirnya para penandatanganan Petisi 50 mendapat tekanan dari Orde Baru, termasuk dihilangkan hak-haknya. Seperti diputus jalur mata pencahariannya, dilarang diliput media massa, atau dilarang ke luar negeri. 

Bukan Natsir Saja 

Selain Natsir yang dicekal, Prof Dr Faisal Othman—Dekan Fakulti Pengajian Islam UKM yang ditunjuk untuk menemui Natsir di Jakarta—dicekal masuk ke Indonesia.

Bahkan, surat resmi UKM yang meminta kesediaan Natsir menerima Dr HC yang telah dikirim ke Jakarta melalui pos, atas permintaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, diminta kembali untuk ditarik. 

Buntut rencana penganugerahan gelar yang gagal itu juga menimpa Ahmad Syafii Maarif, staf pengajar Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Yogyakarta yang saat itu menjadi dosen tamu di UKM.

Aman Nazar Simanjuntak, salah seorang dari Bidang Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di Kuala Lumpur, pada 3 Juni 1991 mencari Ma’arif untuk menyelidiki siapa orang Indonesia yang punya inisiatif memberi penghargaan itu pada Natsir.

“Rupanya ada semacam kecurigaan dari KBRI bahwa saya adalah biang keladi dari kerja yang ternyata telah menghebohkan pihak KBRI itu,” tulisnya di Media Dakwah September 1994. 

Baca jugaHidup Nomaden karena Tak Punya Rumah, Kesederhanaan Haji Agus Salim

Padahal, menurut Maarif yang pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1998–2005 itu, sebenarnya yang mengambil inisiatif adalah seorang sejarawan dari Kelantan, Malaysia: Nik Azizi Nik Hassan, yang saat itu menjadi Ketua Jabatan pengajian Islam UKM.

Dosen yang kemudian menjadi tokoh Indonesia dengan panggilan akrab Buya Syafii itu memang diberi tugas untuk menyusun biodata Natsir sebagai bahan penting untuk pihak UKM. Menurut dia, penugasan itu wajar karena selain orang Indonesia, Maarif juga mengenal Natsir.

“Semua cerita itu saya jelaskan kepada utusan KBRI itu, sekalipun ia tampaknya ia tidak puas dengan jawaban yang saya berikan. Dia agak kecewa, mengapa bukan orang Indonesia yang mengambil inisiatif seperti yang diperkirakan sebelumnya. Sekiranya orang Indonesia, tentu akan mudah di-persona non grata-kan,” kata Maarif.

Baca jugaPergulatan di Balik Lahirnya Kementerian Agama

Bahkan pada tanggal 8 Juni 1991, Maarif ‘diinterogasi’ oleh Duta Besar (Dubes) Brigadir Jenderal H Sunarso Djajusman dan beberapa pejabat KBRI lainnya. Kepada Maarif, Sunarso antara lain bertanya mengapa Natsir yang diberi gelar Dr HC. Mengapa bukan tokoh lain?

Dengan bersemangat Maarif menjawab bahwa penganugerahan itu sangat pantas diterima oleh Natsir. “Pernahkah Dubes membaca Fiqhud Da’wah, karya Natsir, di samping banyak karya yang lain,” tanyanya. Mendapat pertanyaan itu, Dubes Sunarso gelagapan.

Karena situasi sudah kritis dan telah sampai ke tingkat menteri kedua negara, UKM tidak berani untuk maju terus. “Pertimbangan politik telah mengalahkan pertimbangan akademik,” kata Ma’arif. Akhirnya surat kedua disusulkan oleh UKM. Isinya menegaskan bahwa penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa kepada Natsir ditangguhkan.

Menanggapi pelarangan bepergian ke luar negeri, Natsir berkomentar santai. “Ke luar negeri, ke Singapura, tidak boleh. Takut kalau saya kesasar, barangkali.” (*)

Penulis Mohammad Nurfatoni

Kisah ini dikutip dari buku Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, karya Lukman Hakiem yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *