Apakah mukjizat sebagai hal menyimpang dari kebiasaan itu dapat dipandang sebagai persoalan yang merusak hukum alam? Seperti mukjizat api yang tidak membakar Nabi Ibrahim atau Nabi Musa yang membelah laut.
Telaah oleh Mohammad Nurfatoni, Lulusan Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Surabaya, aktif diskusi di Forum Studi Islam Surabaya.
Tagar.co – Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui kaidah-kaidah penciptaan Allah pada alam semesta.
Allah telah menetapkan hukum-hukum-Nya yang berlaku untuk alam semesta. Dengan hukum-hukum itu alam semesta berjalan secara harmonis, serasi, tidak mengandung cacat dan kacau (Al-Mulk 3), serta penuh hikmah (Ali Imran 191).
Keharmonisan alam itu terjadi karena pertama, Allah menciptakan alam semesta dengan benar (Az-Zumar 5), tidak dengan main-main (Al-Anbiya 16; Adh-Dhuhan 38), dan tidak pula diciptakan dengan batil atau palsu (Shad 27).
Kedua, Allah telah memberikan petunjuk (Thaha 50), perintah (Fushshilat 11), atau ukuran (Al-A’la 2-3; Al-Qamar 49; Al-A’raf 54).
Baca juga: Hukum Alam dan Kuasa Tuhan
Ketiga, dengan petunjuk, perintah, dan ukuran itulah alam bersikap patuh, muslim (Ali Imran 83). Kepasrahanitu diwujudkan oleh alam dengan memuji-muji Allah (Al-Hadid 1; Al-Hasyr 1; Ash-Shafh 1, dan lain-lain) dan “bekerja” sesuai dengan petunjuk, perintah, atau ukuran dari Allah—atau yang populer disebut sunatullahatau hukum alam.
Sunatullah yang membuat alam semesta berjalan harmonis itu dicirikan dengan tiga karakter. Yaitu pasti atau exact (at-Thalaq 3); tetap atau immutable (aI-An’am 115, al-Isra 77); dan objectif alias tidak pandang bulu.
Dengan karekter itu sunatullah tidak akan mengalami perubahan (Al-Furqan 2). Misalnya matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, benda akan tertarik jatuh oleh gaya gravitasi bumi, atau api itu membakar.
Mukjizat Menyalahi Hukum Alam?
Lantas bagaimana fenomena mukjizat atau karamah? Apakah hal-hal yang menyimpang dari kebiasaan itu dapat dipandang sebagai persoalan yang merusak sunatullah? Seperti mukjizat api yang tidak membakar Nabi Ibrahim atau Nabi Musa yang membelah laut.
Murtadha Muthahhari dalam buku Keadilan Ilahi (Mizan, 1992) menjawab “tidak”. Tidak ada pengecualian dalam hukum alam, dan hal-hal yang dipandang seperti bertentangan dengan kebiasaan tidaklah merusak hukum-hukum tersebut.
Kata Muthahhari, apabila kita perhatikan perubahan pada hukum alam, maka perubahan tersebut benar-benar merupakan akibat yang ditimbulkan oleh berubahnya syarat-syarat
Ilustrasi sederhana untuk menjelaskan pandangan Muthahhari itu misalnya soal pesawat terbang. Sunatullah-nya: setiap benda di atas yang tertarik gaya gravitasi bumi maka akan jatuh.
Nah pesawat terbang yang di atas itu kok tidak jatuh? Berarti menyalahi sunatullah? Dengan menggunakan pandangan Muthahhari, pesawat terbang yang tidak jatuh itu bukan berarti tidak sesuai dengan sunatullah.
“Adalah jelas bahwa suatu sunah (hukum alam) akan berlaku pada lingkup syarat tertentu, dan apabila syarat-syarat tersebut berubah, maka yang akan berlaku adalah sunah (hukum alam) yang lain, dan perubahan ini terikat pula oleh syarat-syarat tertentu,” jelas ulama dari Iran itu.
Kenapa Pesawat Tidak Jatuh
Syarat-syarat yang menyebabkan pesawat tidak jatuh karena menggunakan gaya angkat yang lebih besar dibandingkan gaya gravitasi. Ditambah gaya dorong dari mesin pesawat yang membuat pesawat melaju dengan kecepatan tertentu.
Gaya angkat dan gaya dorong menghasilkan gaya aerodinamik pada sayap. Seperti dikutip kompas.com dari Live Science, bentuk sayap yang agak melengkung, memungkinkan bagian bawah pesawat terkena gaya lebih besar dari bagian bawah pesawat.
Hal tersebut karena adanya aliran udara dengan kecepatan berbeda di bagian atas dan bawah pesawat. Aliran udara yang melewati sayap melengkung membuat udara terdorong ke bawah. Kemudian menimbulkan reaksi daya dorong ke atas dengan besaran yang sama. Di situlah Hukum Newton tentang aksi dan reaksi timbul.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Insyirah: Satu Kesulitan Beragam Jalan Keluar
Contoh ini bisa diperluas lagi dengan sunatullah lain yang “berubah” karena adanya syarat-syarat baru. Dan perubahan itu sebenarnya juga sunatullah yang lain.
Maka mukjizat (bagi nabi) atau karamah (bagi selain nabi) tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang membatalkan sunatullah.
“Sedangkan mengenai praktik terjadinya hal-hal yang menyalahi kebiasaan yang terjadi pada diri nabi atau seorang wali, maka syarat-syarat tersebut menjadi berubah ketika berada di tangannya karena keutamaan hubungan jiwanya yang suci dengan kekuasaan Allah yang tak terhingga,” jelas Muthahhari.
Kekuasaan Allah di Atas Hukum Alam
Tulisan berjudul Hukum Alam dan Kuasa Tuhan menjelaskan, sunatullah adalah sebagian kekuasaan Allah yang ‘didelegasikan’ pada alam semesta.
Penggunaan terminologi ‘delegasi’ itu untuk menjelaskan bahwa sebenarnya hukum-hukum alam itu tetap dalam kendali Allah. Artinya alam semesta tidak benar-benar bersifat otonom atau mandiri.
Allah berhak menyempurnakan atau membuat hukum-hukum baru di alam semesta. Sebab Allah adalah Maha Pencipta—yang selalu berkreasi. Dia tak pernah berhenti bekerja. Tidak seperti pembuat jam tangan, yang setelah mencipta lalu melepasnya.
Atau dengan perspektif kesadaran diri, tidak (atau belum) semua hukum-hukum Allah di alam ini kita ketahui. Misalnya yang kita pahami, lahirnya jabang bayi adalah akibat pertemuan sel sperma (pria) dan ovum (wanita).
Tapi ada sunatullah lain tentang kelahiran Nabi Isa putra Maryam yang tanpa sentuhan ayah. Menurut Muthahhari, hukum pembuahan adalah sisi luar dari hukum alam itu dan bukan keseluruhannya. Dalam istilah saya, sunatullah adalah pendegelasian sebagian kuasa Allah. Dan Allah masih punya kekuasaan mutlak.
Meminjam istilah Nurcholish Madjid dalam buku Masyarakat Religus Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat (Paramadina, 2000) Allah bisa menangguhkan sementara hukum-hukum yang berlaku dengan kewenangan-Nya itu. (#)