Tahun Baru Hijriah menjadi paradigma baru untuk menyelamatkan martabat kemanusiaan di tengah kemunduran dunia Barat.
Opini oleh Daniel Mohammad Rosyid, guru besar ITS.
Tagar.co – Hari ini kita memperingati Tahun Baru Hijriah 1446. Para sahabat Nabi Muhammad memilih peristiwa hijrah untuk menamakan kalender yang dibuat. Bukan kelahiran Nabi.
Kalender yang menandai sebuah peristiwa penting. Sebuah turning point in time, di mana Islam tidak hanya diajarkan di kalangan masyarakat jahiliah Makkah, tapi mulai dipraktikkan secara terbuka di Yastrib. Kota yang kemudian berubah nama menjadi Madinatulnabi.
Madinah, sebuah kota yang dihuni oleh berbagai macam suku dan agama. Dasar-dasar tata kelola pemerintahan Madinah dituliskan dalam Piagam Madinah.
Oleh beberapa pengamat sejarah peradaban, Piagam Madinah menjadi pertanda dari sebuah masyarakat modern pertama yang melampaui Roma, Babilonia, atau Konstantinopel.
Waktu itu, Eropa masih sangat terbelakang. Madinah berkembang pesat sehingga disebut Al -Madinatulmunawwarah, kota yang bercahaya.
Sejak saat itu, kemanusiaan yang hampir kehilangan martabat akibat perbudakan, penindasan atas perempuan, riba, dan pencampuradukan antara yang haq dan batil diselamatkan oleh Islam dari kehancurannya.
Bahkan berabad kemudian renaissance Eropa bangkit, tidak bisa dibayangkan tanpa cahaya Islam yang justru dikenali orang-orang Eropa melalui perang salib untuk memperebutkan Yerusalem.
Baca Juga Sura Bulan Hijrah Masyarakat Jawa
Allah SWT menjadikan sejarah sebagai sebuah pergiliran pusat peradaban, satu pembukuan, dengan kelahiran para utusanNya yang kemudian ajarannya secara perlahan dilupakan, atau diputarbalikkan.
Mereka menulis konsep dengan tangannya sendiri lalu dikatakan sebagai dari Tuhan, atau mengambil wahyuNya tapi kemudian dikatakan sebagai karyanya sendiri.
Para nabi dihadirkan Allah SWT bukan sebagai pendongeng pelipur lara, tetapi sebagai teladan radikal. Seperti Nabi Isa mengganggu praktik para rabbi Yahudi yang menjanjikan penyelamatan jiwa dengan berbayar, dengan menjanjikan penyelamatan jiwa secara gratis pro-bono.
Kini nyaris 1500 tahun kemudian kita menyaksikan kebangkrutan kemanusiaan itu di tanah Palestina oleh kekejaman zionis Israel. Di depan para pemimpin negara adidaya yang membiarkan kekejaman itu begitu saja.
Kita juga menyaksikan kehancuran peradaban oleh ulah tangan manusia melalui nekolim yang memperbudak, merendahkan perempuan, merusak lingkungan dan riba.
Baca Juga Baiat Aqabah, Perjanjian Rahasia yang Menggerakkan Hijrah
Riba yang oleh Nabi dalam pesan terakhirnya di Arafah dinyatakan dilarang, hingga hari ini ternyata masih banyak dipraktikkan.
Dalam pesan terakhirnya di Bukit Arafah itu, Islam sebagai tatanan hidup bersama masyarakat yang majemuk dinyatakan telah sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia apapun asal usulnya.
Melalui pendidikan yang memerdekakan jiwa, pasar terbuka yang bebas riba, investasi, birokrasi yang kompeten, serta pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan, Islam telah berjaya melahirkan peradaban modern yang bertahan menginspirasi dunia selama hampir 1000 tahun.
Kini tiba saatnya umat Islam memaknai hijrah sebagai pergeseran yang lebih paradigmatik untuk menyelamatkan martabat kemanusiaan.
Sebuah momen perubahan di tengah kemunduran AS dan Barat, pergeseran lansekap geopolitik global yang mengarah ke Asia, kemunduran demokrasi yang selama ini diberhalakan, deglobalisasi dan kebangkitan sukuisme, serta sistem kasta baru berbasis feodalisme.
Setiap muslim Indonesia adalah warga negara, sekaligus warga dunia yang mandiri, sehat, dan produktif serta berani mengambil tanggung jawab sejarah untuk meneladankan Islam dalam kehidupannya sebagai pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan komunitas global.
Inilah paradigma Tahun Baru Hijriah 1446. (#)
Penyunting Sugeng Purwanto