Hidup Nomaden karena Tak Punya Rumah, Kesederhanaan Haji Agus Salim

0
Haji Agus Salim

Haji Agus Salim (ANRI)

Haji Agus Salim
Haji Agus Salim (ANRI)

Haji Agus Salim adalah teladan bagaimana tokoh besar tapi tetap hidup sederhana. Bahkan rumah pun tak punya. Dia dan keluarganya hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Dia miskin karena kritis pada pemerintah kolonial.

Tagar.co – Seperti diceritakan oleh Anies Baswedan dalam kolom berjudul Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakkan.

Selama di Jakarta, Agus Salim tinggal di satu rumah kontrakan ke kontrakan lain. Ia menjalani ‘pola nomaden’ ini bersama istri dan anak-anaknya. Ia misalnya pernah di sebuah rumah di Kawasan yang kini dikenal sebagai Jatinegara, Jakarta Timur.

“… keluarga Agus Salim hanya menempati satu ruangan. Koper bertumpuk-tumpuk di pinggir dan beberapa Kasur digulung,” kenang Mohammad Roem, seperti dikutip Anies Baswedan.

Dalam buku Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa (KPG, 2013),Siti Asiah, anak kedepalan Agus Salim, bercerita sejak bayi hingga remaja, ia dan keluarganya harus berpindah rumah puluhan kali. Bahkan ada kalanya keluarganya harus pindah rumah lebih dari satu kali dalam sebulan.

“Sebab, begitu keadaan lebih baik, ada penghasilan, pindah ke tempat lebih bagus,” kata Siti Asiah.

Dia menceritakan, keluarga Agus Salim sudah biasa pindah dari rumah kontrakan kecil sederhana ke rumah besar. Kalau keuangannya sedang tak bagus, mereka akan menyewa rumah lebih kecil.

Dia masih ingat suatu ketika keluarganya pindah ke sebuah rumah besar di Gang Nangka, Kwitang, Jakarta. “Kami pindah ke rumah itu karena keadaan kuangan ayah agak bagus,” kenangnya.

Baca juga: Homeschooling Inspiratif ala Haji Agus Salim

Dari Kwitang, keluarganya pindah lagi beberapa kali, antara lain ke Krukut, Jalan Karet, dan Jalan Gereja Theresia. Di rumah terakhir inilah pasangan Haji Agus Salim-Zainatun Nahar dan anak-anaknya menetap. 

“Buat kami, rumahnya bukan jadi soal, yang penting berkumpul. Semua rumah itu baik,”,” katanya.

Keluarganya pernah tinggal cukup lama di Jalan Karet, Petamburan. Di rumah itu salah seorang kakak perempuannya menikah dan tinggal di sana bersama suaminya.

“Banyak sekali kamarnya, tujuh barangkali, seperti kereta api.”

Perempuan yang akrab disapa Bibsy ini mengatakan kakak tertuanya, Theodora Atia, yang akrab dipanggil Dolly, lahir di kampung ayahnya, Koto Gadang, pada Juni 1912. Dua tahun kemudian, anak kedua, Jusuf Tewfik Salim, lahir di Bogor. Sejak itu, keluarganya terus berpindah rumah dengan kondisi ibunya melahirkan setiap dua tahun.

Mereka tak cuma pindah di dalam Kota Jakarta, tapi hingga ke Majalengka, Surabaya, bahkan Madura. Ibunya, yang terbiasa tinggal bersama keluarga dan sepupu satu nenek, tiba-tiba mesti menetap di tempat asing jauh dari sanak kerabat. “Baru settle mesti pindah lagi, harus mulai kenalan lagi sama orang.”

Meski menjadi kaum ‘kontrakan’, ibunya tak mengeluh. Menurut Bibsy, orang tuanya tak pernah bertengkar atau memperlihatkan sedang susah di depan anak-anaknya. Setiap berkumpul, mereka selalu gembira dan menghibur anak-anaknya.

Menurut cucu Agus Salim, Agustanzil Sjahroezah, kakeknya sering pindah rumah karena dia tak kenal kompromi dan teguh memegang prinsip. Misalnya, kata dia, suatu ketika kakeknya bekerja sebagai redaktur di sebuah media, tapi keluar karena dilarang menulis tentang sesuatu hal. “Namun, syukurlah, masih ada yang bersedia menolong, menampung dia, istri, dan anak-anaknya,” ujar pria yang akrab disapa Ibong ini.

Bekas rumah Haji Agus Salim yang dulu beralamat di Jalan Theres 20, sekarang menjadi Jalan KH Agus Salim 72. (Tempo/Wisnu Agung Prasetyo)

Putra Violet Hanifah-anak ketiga Agus Salim-ini mengatakan kakeknya sudah terbiasa hidup nomaden sebelum menetap di rumah di Jalan Gereja Theresia—kini Jalan KH Agus Salim Nomor 72.

Menurut Agustanzil, di rumah inilah Piagam Jakarta disusun. Hingga kakeknya meninggal pada 4 November 1954, rumah itu masih berstatus sewa. Anak-anak Salim kemudian patungan membelinya beberapa tahun kemudian setelah mereka hidup mapan.

Ketua Yayasan Hadji Agus Salim ini mengatakan Wakil Presiden Adam Malik pernah mengatakan kepada Presiden Soeharto agar pemerintah membeli rumah itu setelah neneknya meninggal pada 2 Desember 1977. 

Soeharto mau membelinya, tapi rumah itu akan diratakan dan kemudian dibangun rumah baru. “Adam Malik tidak sepakat, bagaimana komentar dunia kalau presidennya sendiri yang membeli bangunan bersejarah dan kemudian menghancurkannya. Akhirnya Pak Harto tidak jadi membelinya,” ujarnya.

Baca jugaDiplomasi Jenaka Haji Agus Salim: Dari Jenggot hingga Pusar Adam

Rumah itu, kata Ibong, akhirnya dibeli seseorang dan dihancurkan juga. Kini di atas bekas rumah itu berdiri bangunan dua lantai berbenteng pagar tembok setinggi lebih dari dua meter. Pintu gerbangnya tertutup. Untuk memasuki rumah itu, pengunjung harus melewati pintu gerbang toko kue De’Panna di samping kanannya.

Fendi, yang mengaku bekerja pada pemilik rumah itu, enggan menyebutkan pemiliknya. Dia hanya mengatakan si empunya berada di luar negeri. “Rumah ini dulu memang rumah Agus Salim. Dibeli sekitar 1990. Sebelum dibeli sudah berpindah tangan beberapa kali,” ucapnya.

Menurut Agustanzil, Sukarno pernah memberi Salim sebuah rumah di Jalan Hanglekir I. Rumah itu pernah ditempati anak bungsunya, Mansur Abdur Rachman Ciddiq, tapi akhirnya dijual karena menjadi langganan banjir.

Haji Agus Salim dan keluarganya

Kesaksian Mohamad Roem

Ihwal pindah-pindah rumah itu pernah disebutkan Mohamad Roem dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah.

Pada suatu hari tahun 1925, dua pelajar Stovia, Kasman Singodimedjo dan Soeparno, mengajaknya ke ruma Agus Salim di Gang Tanah Tinggi Jakarta. Jarak asrama Stovia di Gang Kwini ke Tanah Tinggi ditempuh selam sepuluh menit dengan sepeda.

Dia menyatakan, jalan diaspal hanya sampai Stasiun Senen, selanjutnya jalan tanah penuh lubang.

“Lewat jalan ini dengan sepeda bagaikan naik perahu di atas air yang berombak,” kenang Roem.

Itulah kali pertama Roem bertemu dengan Salim. Ia tertarik pada salim karena berbeda dengan tokoh lain.

Rumahnya rumah kampung. Meja dan kursinya sangat sederhana. Sangat berlainan dengan apa yang saya bayangkan tentang seseorang yang sudah terkenal.” Roem kemudian hari menjadi sahabat keluarga Agus Salim.

Beberapa bulan setelah Roem berkenalan denga  Salim, dia mendengar keluarga Agus Salim pindah ke gang Toapekong di Pintu Besi di depan Gereja Ayam, Jakarta.

Baca jugaPergulatan di Balik Lahirnya Kementerian Agama

Menurut dia rumahnya tak kalah besar dari rumah di Tanah Tinggi. Di bagian luar ada meja dan kursi, tapi di dalam nyaris kosong. Ketika berkumpul di ruang dalam, mereka duduk di alas tikar.

“Rumah itu menunjukkan rumah keluarga yang kurang berada,” tulis Roem.

Beberapa bulan kemudian, keluarga rumah salim pindah lagi ke rumah temannya yang bekerja di sebuah surat kabar, Saeroen, di Mr Cornelis (Jatinegara). Menurut Roem, rumah itu lebih besar dan bagus, terletak di jalan lebih baik, tapi seluruh keluarganya tumplek-blek di satu ruangan.

Setelah tinggal beberapa tahun di situ, Salim pindah ke Bogor di sekolah swasta yang dibina Sarekat Islam. Dia Kembali ke Jakarta pada 1926 dan tinggal di Gang Lontar Satu. Rumahnya lebih sederhana daripada di tanah Tinggi dan Gang Toapekong. 

“Penderitaannya ditunjukkan dalam hidup sederhana, yang kadang-kadang mendekati hidup dalam kekurangan dan kemiskinan,” Roem menulis.

Akibat Kritis pada Pemerintah Hindia Belanda

Dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), Kustiniyati Mochtar menulis, dengan Pendidikan dan kemampuan tinggi, sebenarnya Agus salim dapat hidup enak bila mau bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda. Lantaran sikapnya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial, ia kesulitan mencari nafkah.

Sejak keluar dari Bureau voor Werken atau Dinas Pekerjaan Umum pada 1912 dan memasuki dunia pergerakan setelah 1915, Salim hidup miskin. “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja,” tulis Kustiniyati.

Zainatun, istri Salim yang mendapat panggilan sayang Maatje dari anak-anaknya, harus putar otak agar dapat memberi makan anak-anaknya.

Suatu Ketika Salim tak punya uang untuk membeli lauk-pauk. Ia tak kehabisan akal. Sa,bil bergurau, ia membuat nasi goreng. Dalam suasana ceria, mereka makan Bersama dan anak-anaknya merasa telah mendapat traktiran istimewa dari ayahnya.

Baca jugaJenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah

Dalam kesempatan lain, mereka pernah hanya makan nasi panas dicampur kecap, mentega, atau susu karena tak ada uang untuk beli sayur.

Kustiniyati juga menggambarkan Zainatun sebagai ibu penyabar. Pernah suatu Ketika keluarga Salim tinggal di rumah yang atapnya bocor. Bila turun hujan, air membanjiri kamar. Alih-alih panik atau sedih, Zainatun meletakkan ember untuk menampung air hujan. Ia lalu mengajak anak-anaknya membuat perahu dari kertas dan mereka asyik bermain perahu-perahuan.

Dalam buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional, Solichin Salam menulis, suatu waktu salah seorang anak Salim meninggal. Karena tak punya uang untuk membeli kafan, dia mengambil taplak meja dan kain kelambu yang sudah tak terpakai dan mencucinya untuk membungkus jenazah.

Ia menolak pemberian kafan baru dari kawannya. Agus Salim mengatakan orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru itu. “Adapun yang mati, cukuplah kain itu. Selagi dia masih hidup, dia memerlukan pertolongan, akan tetapi sekarang dia tidak  lagi memerlukannya.”

Haji Agus Salim bersama istrinya, Zainatun Nahar, dikaruniai delapan anak. Yaitu Theodora Atia (Dolly), Jusuf Tewfik Salim (Totok), Violet Hanifah (Jojet), Maria Zenobia (Adek), Ahmad Sjewket Salim, Islam Basari Salim, Siti Asiah (Bibsy), dan Mansur Abdur Rachman Ciddiq.

Agus Salim adalah salah satu Pahlawan Nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi. Perjuangannya telah dimulai sejak tahun 1910-an, dan berlangsung hingga masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). 

Karena prestasi Agus Salim di bidang diplomasi dan kefasihannya dalam berbahasa asing, julukan “The Grand Old Man” pun didapatkannya. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *