Homeschooling ala Haji Agus Salim sungguh menginspirasi. Dari delapan anaknya hanya si bungsu yang disekolahkan secara formal. Ketujuh anaknya dididik sendiri di rumah atau yang saat ini dikenal dengan istilah homeschooling.
Tagar.co – Haji Agus Salim bersama istrinya, Zainatun Nahar, adalah contoh orang tua yang berhasil mendidik sendiri anak-anaknya di rumah, tanpa sekolah.
Dari delapan anaknya—Theodora Atia (Dolly), Jusuf Tewfik Salim (Totok), Violet Hanifah (Jojet), Maria Zenobia (Adek), Ahmad Sjewket Salim, Islam Basari Salim, Siti Asiah (Bibsy), dan Mansur Abdur Rachman Ciddiq—hanya si bungsu yang disekolahkan secara formal.
Ketujuh anaknya dididik sendiri di rumah atau yang saat ini dikenal dengan istilah homeschooling.
Seperti ditulis kompas.com, pada awal abad ke-20, hampir semua tokoh bangsa Indonesia menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang paling tinggi. Meskipun itu sekolah kolonial yang dikendalikan pemerintah Hindia Belanda. Bahkan tak sedikit yang menyekolahkan anak hingga ke luar negeri.
Tapi, pemilik nama lahir Mashudul Haq kelahiran Agam, Sumatera Barat, ini memiliki pandangan berbeda dengan para pemimpin bangsa yang hidup sezaman. Dia memilih mendidik anak-anaknya di rumah.
Baca juga: Diplomasi Jenaka Haji Agus Salim: Dari Jenggot hingga Pusar Adam
Padahal, dia sendiri menempuh jenjang pendidikan formal. Agus Salim pernah meraih prestasi sebagai lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS) tahun 1903 di tiga kota besar, yakni Batavia, Semarang, dan Surabaya.
HBS adalah sekolah menengah setara SMA milik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang hanya menerima siswa berkebangsaan Belanda atau Eropa dan beberapa siswa pribumi yang orang tuanya terpandang atau punya pangkat.
Namun, usai lulus HBS, harapan Agus Salim mendapatkan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda yang sangat diimpikannya kandas. Gara-garanya, ia seorang pribumi.
Pengalaman pahit itulah yang menurut kompas.com membuat Agus Salim akhirnya kecewa dan memutuskan agar anak-anaknya tidak masuk pendidikan kolonial.
Mengutip buku Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa (KPG, 2013), Agus Salim tidak menyekolahkan anaknya karena alasan ideologis.
Dia menganggap pendidikan saat itu adalah sistem pendidikan kolonial. Agus Salim tidak ingin anaknya dicekoki pemikiran dan kebudayaan penjajah.
Dia juga menilai pendidikan saat itu amat diskriminatif. Seperti pemberian nilai rendah bagi pribumi meskipun kemampuan mereka sama atau bahkan melebihi orang Belanda.
Agus Salim juga menilai sekolah Belanda bukan mendidik kemandirian jiwa, melainkan kepentingan penjajah. “Jiwa tak diberi kebebasan tumbuh sesuai jiwa masing-masing anak didik,” kata Emil Salim—mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup era Orde Baru—menggambarkan alasan pamannya itu.
Baca juga: Pergulatan di Balik Lahirnya Kementerian Agama
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, Agus Salim menyekolahkan anak bungsunya—Mansur Abdur Rachman Ciddiq yang lahir pada tahun 1939—ke sekolah formal. Dia menilai, meskipun masih diawasi Jepang, sekolah Indonesia kala itu sudah tak lagi bersifat kolonial.
Tekad Agus Salim tidak menyekolahkan anaknya secara formal itu sudah diucapkan sebelum anak-anaknya lahir. “Nanti kalau kita punya anak tidak akan kita sekolahkan mereka,” kata Bibsy—anak ketujuh—menirukan ucapan Agus Salim seperti dituturkan ibunya. “Dan Ibu menerima itu”.
Keputusan Agus Salim itu dianggap aneh oleh kerabat dan tetangga. Sebab di masa itu, anak yang tak sekolah formal dianggap aneh dan tak wajar. Apalagi Agus Salim orang terpelajar dan berpendidikan tinggi.
Cara Haji Agus Salim Mendidik Anaknya
“Tidak ada kelas dan jam pelajaran yang mengikat,” kisah Siti Asiah alias Bisby, anak ketujuh Agus Salim, menceritakan bagaimana ayah-ibunya mengajar di rumah. Belajar bisa dilakukan di mana saja di rumah. Bisa di beranda atau di ruang tamu.
Dia menceritakan, ibunya mengajar dia membaca, menulis, dan berhitung. Sedangkan ayahnya mengajarkan segala hal. “Pelajaran membaca dan berhitung disampaikan dengan santai, seolah-olah kami sedang bermain,” kata Bisby.
Dikisahkan, Agus Salim dan Zaenatun Nahar memulai memberi pelajaran kepada anak-anaknya sejak lahir. Keduanya mengajak anak-anak berbicara bahasa Belanda sejak lahir. Saat itu bahasa Belanda penting karena menjadi bahasa sehari-hari kalangan terpelajar. Juga bahasa ilmu pengetahuan.
Soal efektivitas pendidikan anggota BPUPKI itu diakui tokoh Masyumi Mohamad Roem. Suatu hari ia datang ke rumah sahabat dekatnya itu.
Baca juga: Sejarah Lahirnya Metode Iqro’ di Mata Mitsuo Nakamura
Saat itu, Ahmad Sjewket Salim, anak kelima, keluar dari kamar tidurnya dan meminta ayahnya menggaruk punggungnya. “Bocah empat tahun iu sudah bisa berbahasa Belanda dengan baik,” komentar Roem.
Bisby mengungkapkan, ayah dan ibunya mengajar dengan memberi tahu sesuatu, bercerita, dan menyanyikan lagu yang liriknya sajak-ajak pujangga dunia.
Pelajaran sejarah misalnya, disampaikan seperti tengah membacakan buku cerita. Dengan begitu, kata Bisby, dia tertarik mencari ilmu sendiri lewat berbagai cara—termasuk lewat buku-buku yang disediakan di rumah.
“Di rumah selalu ada buku, karena kaka-kaka saya adalah anggota perpustakaan,” kata Bisby seperti dikutip buku Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa.
Daya Kritis
Meski begitu, ayah-ibunya tak mengharuskan dia membaca ini-itu. Saat dia berusia sekitar 11 tahun, di atas meja kecil di dalam kamarnya terdapat buku cerita Little Red Riding Hood, yang merupakan terjemahan bahasa Prancis, Le Petit Chaperon Rouge, karya Charles Perrault.
Isinya tentang seorang anak kecil berjubah merah dan seekor serigala. “Dari buku itu, saya belajar tentang suatu masa di zaman dahulu kala,” ujarnya. “Saya senang bisa menemukan hal-hal baru dari buku itu.”
Mengutip tirto.id, Agus Salim menerapkan sikap terbuka dan memberi bimbingan sebaik-baiknya dalam mendidik putri-putrinya. Saat mengajar, ia tak keberatan dibantah. Dalam menerangkan persoalan, ia tak akan berhenti sebelum anak-anaknya paham.
Agus Salim juga memberikan ruang kepada anak-anaknya untuk bertanya, mengkritik, bahkan membantah jika tak sependapat dengan apa yang ia sampaikan.
Tampaknya ia punya cara jitu yang merangsang anak-anaknya untuk tidak hanya menerima pelajaran saja. Dia ingin para “muridnya” memiliki daya kritis. Agus Salim sendiri dikenal sebagai sosok vokal dan jago debat berjuluk singa podium.
Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah
Meski pekerjaan dan kegiatan politiknya amat padat, tapi ia memastikan waktunya tersedia untuk mengajar anak-anak. Biasanya saat makan pagi, siang, atau malam.
Sambil makan, dia bercerita hingga berjam-jam. “Karena pandai berhumor, pembicaraannya memikat dan tak membosankan,” kata Solichin Salam ditulis Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik(KPG-Tempo, 2013).
Dia juga tak pernah marah. Kepada Solichin-penulis tokoh-tokoh sejarah, istri Agus Salim sempat menceritakan sikap suaminya dalam pendidikan anak-anaknya. “Kami dilarang memberikan kualifikasi kepada anak-anak, misalnya, ‘kamu nakal’ atau ‘kamu jahat’, itu tidak boleh.”
Prinsip dasarnya membuat anak-anak menjadi senang dan bukan semata-mata membuat mereka pintar. Intinya, dia menghendaki agar pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak tak terkekang oleh kehendak dan perintah orangtua.
Orang tua hanya berkewajiban membimbing dan menuntun. Kebebasan diberikan untuk memberi kesempatan tumbuh-kembang jiwa serta bakat anak secara wajar.
Hasil Didikan di Sekolah Rumah
Nah, dengan model pendidikan itu, anak-anak Agus Salim meraih sukses dalam hidup mereka. Putri sulungnya, Theodora Atia, aktif dalam Gerakan Wanita Islam dan organisasi Lembaga Indonesia Amerika.
Jangan heran atas kesuksesan itu. Dolly sapaan akrabnya, pada umur enam tahun sudah menggemari bacaan-bacaan anak remaja, semisal kisah-kisah detektif Nick Carter atau Lord Lister.
Anak Kedua, Jusuf Taufik Salim, pernah bekerja pada Inter Visa, sebuah biro iklan, dan kemudian menjadi penerjemah.
Di usia 10 tahun, ia sudah merampungkan bacaan Mahabarata yang ditulis dalam buku berbahasa Belanda. Tidak hanya membaca, Totok—sapaannya—bahkan piawai menjelaskan makna yang terkandung dalam epos kepahlawanan India nan legendaris itu.
Islam Basari Salim, anak keenam, menjadi tentara dengan pangkat kolonel dan pernah menjabat atase militer Indonesia di Cina.
Semasa kecinya, Islam Basari Salim yang sangat lancar berbahasa Inggris membuat jurnalis Belanda Jef Last terkaget-kaget saat itu.
Baca juga: Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng, Gaya Hidup Bersahaja
Melihat Jef Last terkaget-kaget dengan rasa tidak percaya, Agus Salim berujar: “Apakah Anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah di mana kuda diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris, dan Islam pun ikut meringkik juga dalam bahasa Inggris.”
Sementara itu Bisby bekerja di sebuah perusahaan asuransi sebelum menikah dengan Soenharjo, mantan konsul di Jepang. Bibsy juga pernah bekerja di perusahaan asing dan dikenal sebagai penyair.
Pada 1998, dia meluncurkan antologi Hearts & Soul, kumpulan puisi yang ditulis sepanjang 1962-1998.
Dalam antologi tersebut, dari 50 sajak, tercatat 11 sajak ditulis dalam Bahasa Indonesia, dua dalam Bahasa Prancis, dan sisanya dalam Bahasa Inggris.
Bibsy, yang mulai aktif menulis puisi sejak 1962, memang seorang poligiot—mampu menguasai banyak bahasa—seperti halnya sang ayah.
Seperti ditulis tirto.id, Agus Salim menguasai banyak bahasa bangsa lain. Di antaranya Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, dan Turki.
Jadi, belajar dari Haji Agus Salim, mari kita ambil hikmah dari libur sekolah di masa pandemi Covid-19. Sekolah dari rumah itu bukan belajar KW–alias belajar kualitas murahan. (#)
Penulis Mohammad Nurfatoni