SejarahUtama

Pergulatan di Balik Lahirnya Kementerian Agama

×

Pergulatan di Balik Lahirnya Kementerian Agama

Sebarkan artikel ini
Pada kabinet pertama bentukan Presiden Sukarno belum ada kementerian yang bertugas untuk mewujudkan sila pertama Pancasila dalam tataran kehidupan nyata. Hal itu mengusik beberapa anggota KNIP yang mewakili KNI Banyumas.
H.M. Rasjidi (sumber internet)

Pada kabinet pertama bentukan Presiden Sukarno belum ada kementerian yang bertugas untuk mewujudkan sila pertama Pancasila dalam kehidupan nyata. Hal itu mengusik beberapa anggota KNIP yang mewakili KNI Banyumas.

Tagar.co – Meskipun sejak 18 Agustus 1945 Pancasila telah menjadi dasar negara Republik Indonesia dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, akan tetapi hal itu belum tercermin dalam kabinet. 

Pada kabinet pertama bentukan Presiden Sukarno belum ada kementerian yang bertugas untuk mewujudkan sila pertama Pancasila itu dalam tataran kehidupan nyata.

Padahal di masa penjajahan saja, baik zaman Belanda maupun Jepang ada kantor yang mengurusi agama. Di zaman Belanda ada kantor yang mengurusi pengajaran dan peribadatan. Yakni Departement van Onderwijs en Eeredients. Ada juga Het Kantoor voor Inlandsche Zaken.

Sedangkan di masa pendudukan Jepang, di tingkat pusat ada Kantor Urusan Agama (Shumubu) dan di daerah ada Shumuka.

Belum adanya Kementerian Agama itu mengusik beberapa anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang mewakili Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah. 

Mereka adalah KH Abudardiri, HM Saleh Suaidy, dan M Sukeso Wirjosaputro. Semuanya dari Partai Masyumi. Mereka mengusulkan, “Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K). Tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri.” 

Baca juga: Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng, Gaya Hidup Bersahaja

Usulan yang mereka sampaikan dalam rapat kerja antara KNIP dengan pemerintah di aula Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, Salemba, Jakarta, 25-27 November 1945 yang dipimpin Perdana Menteri Sjahrir tersebut mendapat dukungan dari M Nasir, Dr Mawardi, Dr Marzuki Mahdi, N Kartosoedomo, dan lain-lain.

Melihat besarnya dukungan itu, Presiden Sukarno yang hadir dalam rapat tersebut memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta  untuk meminta waktu berbicara dan menyatakan, “Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah.”

Usul tersebut akhirnya disetujui KNIP secara aklamasi, tanpa pemungutan suara. Maka pada 3 Januari 1946 pemerintah mengumumkan Kementerian Agama didirikan dengan Menteri Agama H. Mohammad Rasjidi, B.A.—kemudian dikenal dengan Prof. Dr. H. M. Rasjidi.

KNIP

Menurut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam melaksanakan tugasnya, Presiden dibantu KNIP dan KNI Daerah.

Pada Sidang II KNIP, 16-17 Oktober 1945, keputusan PPKI tersebut diubah dengan Maklumat Nomor X (abjad bukan angka). Wapres Hatta menetapkan, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), KNIP memiliki kekuasaan legislatif dan ikut merumuskan garis-garis besar daripada haluan negara. 

Berhubung keadaan saat itu masih genting, pekerjaan KNIP sehari-hari dilaksanakan oleh Badan Pekerja KNIP. Dan Sutan Sjahrir terpilih sebagai Ketua KNIP menggantikan Mr Kasman Singodimedjo.

Sjahrir juga berhasil menjadi Perdana Menteri. Ceritanya satu bulan setelah menjabat Ketua KNIP dia berhasil mengubah kabinet presidensial yang dibentuk Presiden Sukarno menjadi kabinet parlementer.

Baca juga: Presiden RI yang Terabaikan, Sjafruddin Prawiranegara

Perubahan itu mendapat protes Mohammad Natsir dari Masyumi karena dia menganggap tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. 

Akan tetapi di masa revolusioner saat itu, pendapat Masyumi yang disampaikan Natsir itu ibarat angin lalu. Presiden Sukarno bukan saja membubarkan kabinetnya, dia juga menunjuk Sjahrir menjadi perdana menteri. 

Sebagai seorang demokrat sejati, meskipun tidak sependapat, Natsir menerima perubahan sistem pemerintahan itu sebagai suatu kenyataan. Meski kalah, tetapi Masyumi akhirnya dibenarkan oleh sejarah. 

H.M. Rasjid Menteri Negara

Sebelumnya, dalam Kabinet Sutan Sjahrir yang dibentuk pada bulan November 1945 terdapat nama Haji Mohammad Rasjidi—selanjutnya ditulis H.M. Rasjidi. Tokoh Masyumi kelahiran Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 ini merupakan lulusan Universitas Kairo, Mesir.

Melihat namanya tercantum di koran Merdeka, lelaki itu tak bereaksi apa-apa, karena dia merasa tidak pernah dihubungi oleh siapa pun, apalagi diminta menjadi menteri negara. Mungkin itu nama orang lain meski namanya sama, pikirnya.

Sepekan sesudah pengumuman Kabinet Sjahrir, H.M. Rasjidi sudah melupakan soal kabinet. Dia justru memikirkan keadaan istri dan anaknya yang sejak keadaan di Jakarta makin genting, dia mengungsikan ke Yogyakarta.

Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah

Lewat satu pekan datanglah utusan dari kebinet ke rumah Rasidi di Kebon Kacang, mengundang rapat kabinet di Jalan Jawa. Karena diundang maka dia hadir. Itulah kali pertama dia melihat wajah Sjahrir. 

Rapat dibuka oleh Sjahrir dengan mengucapkan selamat datang dan menguraikan apa yang harus dilakukan oleh para menteri. Sebagai menteri negara, HM Rasjidi diminta Sjahrir untuk mengurusi soal peribadatan. Selanjutnya Sjahrir menguraikan perkembangan situasi politik saat itu, lalu rapat pun selesai.

Begitulah jalannya pemerintahan di zaman revolusi. Kabinet dan para menterinya tidak pernah dilantik. Tidak pernah diberi surat keputusan pengangkatan. Segala sesuatu berjalan apa adanya.

Berdirinya Kementerian Agama

Kementerian Agama resmi diumumkan pemerintah melalui RRI pada tanggal 3 Januari 1946. Mengutip kemenag.go.id, sehari setelah menjadi Menteri Agama, Jumat 4 Januari 1946 malam, H.M. Rasjidi berpidato di depan corong RRI Yogyakarta. Dia menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.

H.M. Rasjidi menegaskan lagi soal itu dalam pidato di depan Konferensi Jawaran Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta, 17-18 Maret 1946. Dia mengatakan, Kementerian Agama untuk memenuhi kewajiban pemerintah terhadap UUD Bab XI Pasal 29. 

Yaitu, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.” 

Jadi, kata H.M. Rasjidi, lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut-paut dengan agama dalam arti seluas-luasanya.

H.M. Rasjidi Dicopot

Ketika Kabinet Sjahrir I jatuh, Presiden Sukarno kembali menunjuk Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Pada Kabinet Sjahrir II, Rasjidi kembali menjadi menteri. Kali ini dengan sebutan resmi: Menteri Agama.

Karena kuatnya oposisi, Kabinet Sjahrir II kembali Jatuh. Meskipun demikian Sukarno tetap menunjuk Sjahrir sebagai Perdana Menteri. 

Baca juga: Diplomasi Jenaka Haji Agus Salim: Dari Jenggot hingga Pusar Adam

Lukman Hakiem, menulis, menjelang pembentukan Kabinet Sjahrir III, Presiden Sukarno mengajak H.M. Rasjidi berbicara. “Bagaimana ini Bung Haji Rasjidi?” tanya Sukarno, “agaknya kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU) kurang menyukai Bung di situ.”

H.M. Rasjidi yang merupakan tokoh Muhammadiyah—pernah menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah—itu menjawab, “Apabila saya memang diminta berhenti, saya pun akan berhenti juga. Tetapi, selama saya masih berfungsi, insyaallah semua tugas yang dibebankan kepada saya akan saya usahakan lakukan sebaik-baiknya.”

Akhirnya dalam Kabinet Sjahrir III, kedudukan H.M. Rasjid sebagai Menteri Agama digantikan KH Fathurrahman, seorang ulama NU yang juga menantu tokoh Muhammadiyah KH Hisyam. 

Setelah tak lagi menjadi menteri, H.M. Rasjidi kembali ke Kotagede, Yogyakarta. Baru sepekan di rumah, datang utusan Presiden Sukarno membawa surat keputusan yang menyebutkan bahwa H.M. Rasjidi ditetapkan menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Agama.

Baca juga: Cinta Hamka kepada Guru-Guru Istimewa

Keesokan harinya setelah surat itu diterima, H.M. Rasjidi sudah menempati ruang kerjanya di Kementerian Agama. Lagi-lagi tanpa upacara atau pelantikan.

H.M. Rasjidi tidak mempersoalkan posisinya, dari orang pertama di Kementerian Agama diturunkan menjadi orang kedua. Dalam posisi apapun negara memintanya, H.M. Rasjidi melaksanakannya dengan senang hati.

Agar bisa lebih berkonsentrasi melaksanakan tugasnya sebagai Sekjen Kementerian Agama, dia memboyong istri dan anaknya ke Jakarta. H.M. Rasjidi menyewa sebuah rumah kecil nan sederhana di belakang kantornya. Rumah orang nomor dua di Kementerian Agama itu ternyata berdinding bambu dan berlantai tanah.

HM Rasjid telah memberi teladan, bagaimana seharusnya seseorang ‘ikhlas beramal’ sebagaimana semboyan Kementerian Agama. Seluruh jajaran Kementerian Agama, tanpa terkecuali, seharusnya mampu meneladani H.M. Rasjidi yang wafat 30 Januari 2001. (*)

Penulis Mohammad Nurfatoni. Sumber utama Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa (Lukman HakiemPustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2020).

Baca Juga:  Sosok Petempur Yahya Sinwar, sang Pengganti Ismail Haneyah