Jam dinding itu kini menjadi patokan waktu bagi semua orang di kampung. Mereka tidak peduli dengan patokan waktu Greenwich, WIB, apalagi patokan waktu jam Makkah.
Cerpen oleh Sugeng Purwanto
Tagar.co – Jam bundar yang terpasang di dinding teras rumah Ustaz Musa sebenarnya jam biasa saja. Barang itu dulu dibelinya di toko. Jam itu juga buatan pabrik.
Memang mereknya terkenal sehingga tahan banting dan selalu menunjukkan waktu yang tepat. Jarum penunjuk waktu tidak melambat walaupun baterainya hampir habis.
Tapi sepuluh tahun ini jam dinding itu menjadi istimewa bagi warga kampung. Dianggap sebagai jam bertuah. Warga menjulukinya sebagai jam paling dapat dipercaya menunjukkan waktu. Karena itu semua orang merujuk kepada jam dinding itu untuk semua kegiatan.
Sampai-sampai dalam setiap acara orang menyebut: Waktu Jam Dinding Ustaz Musa untuk menggantikan kata Waktu Indonesia Barat (WIB) saat mengumumkan jam acara.
Ustaz Musa tak habis pikir dengan anggapan warga kampung terhadap jam dinding itu. Padahal jam terpasang di dinding teras karena masalah yang sepele. Semula jam itu menghias dinding kamar tamu. Saat dia merenovasi rumah, semua perabot di ruang tamu dibongkar termasuk jam dinding itu.
Tukang batu mengambil jam itu lantas dipasang di teras dekat jendela. ”Agar tahu kapan waktunya istirahat kerja dan pulang,” kata tukang batu menerangkan ketika pertama kali memasang jam itu sepuluh tahun lalu.
Memang tukang batu hanya menoleh ke jam itu saat menjelang pukul 12.00 untuk istirahat makan siang dan pukul 16.00 untuk mengakhiri kerja. Begitu rutin setiap hari.
Tidak dikira bukan hanya tukang batu saja yang menoleh ke jam dinding itu untuk melihat waktu, juga anak-anak yang sedang bermain di depan rumah.
Anak-anak ini segera bubar main bola ketika melihat jam dinding Ustaz Musa menunjukkan waktu menjelang Magrib. Begitu juga di pagi hari mereka menoleh ke rumah Ustaz Musa untuk melihat jam itu dulu ketika berangkat sekolah. Ketika pulang sekolah pun mereka menoleh ke jam itu.
Ternyata bukan hanya anak-anak. Bapak-bapak mereka pun menoleh ke rumah Ustaz Musa untuk melihat jam itu saat berangkat kerja. Meskipun di rumahnya sendiri mereka sudah melihat jam dan di lengannya memakai arloji.
Ibu-ibu juga begitu. Selalu menoleh ke jam dinding Ustaz Musa sewaktu melintas rumah itu. Begitu juga saat siang, ibu-ibu ada yang memerlukan datang ke rumah Ustaz Musa hanya untuk melihat apakah sudah waktunya untuk menjemput anak-anak yang pulang sekolah. Padahal di rumah mereka juga punya jam dinding dan weker.
Petani-petani yang masih punya garapan ladang di tanah real estate juga berperilaku sama. Mereka selalu menoleh ke rumah Ustaz Musa untuk melihat jam itu sewaktu berangkat dan pulang berladang. Sekarang ini seakan-akan musim tanam dan panen pun ditentukan oleh jam dinding itu.
Lambat laun bukan hanya para tetangga saja yang menoleh ke jam itu. Siapa pun orang yang melintas di depan rumah Ustaz Musa pasti menoleh ke jam dinding itu.
Entah tamu tetangga, penjual roti, penjual ayam, penjual bubur ayam, pengantar paket, tukang rombeng, dan orang-orang lainnya. Jam itu seperti menyimpan daya pesona layaknya bintang seksi Jennifer Lopez yang mesti ditoleh orang lewat.
Baca juga cerpen Perginya sang Muazin
Melihat begitu bermanfaatnya jam dinding itu bagi banyak orang, Ustaz Musa membiarkan saja jam terpasang di teras ketika renovasi rumah selesai. Dia membeli jam dinding baru untuk menghias ruang tamu.
Mula-mula orang sekadar menoleh ke jam saat lewat rumah itu. Lama kelamaan menjadi kebiasaan. Melihat jam dinding itu seperti menjadi keharusan. Kalau belum melihat jam dinding Ustaz Musa serasa ada sesuatu yang kurang.
Hati seperti tidak yakin dengan waktu yang sedang berputar ini. Sejak itulah terbentuk mitos jam dinding Ustaz Musa bertuah. Bahkan sampai tersebar kabar, tuah jam dinding itu begitu dahsyatnya sehingga jam itu tidak pernah mati.
Jam itu kini menjadi patokan waktu bagi semua orang di kampung. Mereka tidak peduli dengan patokan waktu Greenwich, WIB, apalagi patokan waktu jam Makkah.
Semua kegiatan waktu ukurannya ya melihat jam dinding Ustaz Musa. Menurut mereka, inilah jam yang paling dapat dipercaya di seluruh jagat ini.
Tentu saja Ustaz Musa berusaha meluruskan mitos sesat itu. Dia makin gusar ketika pagi hari menemukan taburan kembang boreh: mawar, melati, dan kenanga di bawah jam itu. Bunga itu rupanya ditaruh dini hari saat semua orang tidur.
”Jam itu buatan pabrik. Juga bisa rusak. Kalau baterainya habis, ya mati. Jadi tidak pantas jam itu dikeramatkan,” katanya dalam suatu pengajian. Tapi orang-orang tidak percaya sebab mereka tidak pernah menyaksikan jam itu mati. Bahkan melambat pun tidak.
Mereka juga tidak pernah melihat Ustaz Musa mengganti baterai. ”Ya mosok mengganti baterai jam harus mengundang Sampeyan,” sanggah Ustaz Musa.
Makin sering Ustaz Musa menyangkal, makin menjadi-jadi mitos baru yang muncul dibuat orang. Bahkan sekarang keluar mitos lebih heboh lagi bahwa jam itu tidak digerakkan baterai tapi kekuatan gaib. Ustaz Musa semakin mengelus dada.
Bagi orang-orang, jam itu sudah menunjukkan berkah tuahnya. Selalu memberikan keyakinan waktu. Orang-orang merasa semua urusan seperti kerja, sekolah, hajat mantu, acara pengajian, pembuatan janji, menjadi lancar dengan berpatokan kepada jam dinding itu.
Baca juga cerpen Biduan
Orang-orang pun sekarang menjadi tepat waktu saat berangkat kerja, menghadiri rapat kampung, menggelar pengajian, dan acara lain. Anak-anak juga tepat waktu berangkat sekolah dan pulangnya. Tidak dikenal lagi jam karet.
Tentu saja kondisi ini menyenangkan banyak orang. Ketua kampung senang karena sekarang setiap mengadakan rapat selalu tepat waktu. Begitu juga panitia pengajian selalu memulai acara tepat sesuai dengan jam yang tertera di undangan.
Tidak ada kata waktu molor lagi. Pemilik pabrik, toko, dan warung juga bergembira karena karyawannya punya disiplin waktu.
Kini semua orang baru paham arti ungkapan: waktu adalah uang. Sebab orang-orang yang berutang sekarang menjadi tepat waktu membayar. Tidak ada lagi semoyo alias janji baru.
Ini memudahkan kerja para rentenir, bankir, koperasi, dan abang kredit yang makin agresif masuk ke pelosok kampung menawarkan utang.
Namun Ustaz Musa makin bingung dan frustasi. Dia senang orang-orang menjadi tepat waktu. Tapi gusar dengan mitos jam dinding bertuah. Lama kelamaan dia menjadi apatis dengan jam itu. Dipandanginya jam itu sambil dia berucap, ”Jika bateraimu habis, kubiarkan kau mati. Tidak akan aku ganti.”
Maka Ustaz Musa tinggal menunggu waktu baterai itu kehabisan power-nya. Tapi tunggu punya tunggu jam itu tidak mati-mati juga. Setahun, dua tahun berjalan jam itu masih berputar.
Ustaz Musa makin heran. Diambilnya jam itu lalu diamati baterainya. Ternyata baterainya sudah berkarat dan basah seperti layaknya baterai lama. Aneh. Mosok baterai seperti ini masih punya daya listrik.
Karena penasaran, dilepasnya baterai itu dari tempatnya. Lalu menunggu apa yang terjadi. Alangkah kagetnya dia karena mendengar detak jarum jam tetap berbunyi.
Segera dia balik jam itu. ”Astaghfirullah, masyaallah, laa haula wa laa quwata illa billah,” serunya spontan.
Ustaz Musa seakan berhenti detak jantungnya. Terkejut bukan kepalang melihat jarum detik jam itu ternyata masih bergerak. Segera diletakkan jam itu ke meja. Dia menjauh sambil mengamati terus. Muncul rasa takut di hatinya.
”Benarkah ada kekuatan gaib seperti kata orang?” dia bertanya dalam hati sambil merinding. Bulu kuduknya berdiri. Jarum jam itu masih berputar normal.
Ketakutan membuatnya menjadi tegang sampai-sampai dirasakan aliran darahnya sendiri kini menjadi berputar tidak normal.
Matanya lantas melayang-layang ke segala penjuru ruang. Pandangannya mencermati setiap benda dan bayangan. Siapa tahu ada jin, setan, tuyul, banaspati, atau prewangan di ruang ini. Tapi tidak ada penampakan apa-apa. Hanya barang-barang perabotan ruang tamu.
Didekatinya lagi jam itu. Dicermati mesinnya. Normal-normal saja. Tidak ada makhluk-makhluk gaib. Apalagi makhluk kecil-kecil yang menggerakkan mesin itu seperti yang dia bayangkan sewaktu masih balita.
”Ah, mungkin saja mesin jam itu dilengkapi penyimpan energi cadangan saat baterai habis,” pikirnya menenangkan diri sendiri.
Ustaz Musa tidak mau bertanya-tanya dengan masalah yang dia sendiri tidak tahu jawabannya. Dilemparnya jam itu ke dalam bufet. Dibiarkannya mati dengan sendirinya di tempat itu.
”Mana mungkin ada jin iseng-iseng mainan jam,” katanya mengatasi rasa takut.
Baca juga cerpen Jawabanku untukmu, Morin
Di luar rumahnya, ternyata sudah ramai para tetangga berkumpul. Mereka bertanya-tanya di mana gerangan jam dinding berada.
Tempat jam itu sekarang kosong. Kabar hilangnya jam itu cepat tersebar. Makin banyaklah manusia berduyun-duyun mendatangi rumah Ustaz Musa.
Mereka ramai memperbincangkan. Hiruk-pikuk suaranya mendengung-dengung kayak gerombolan lebah mengamuk.
Salah seorang tetangga memberanikan diri mengetuk pintu rumah Ustaz Musa. Ketika pemilik rumah keluar, dia menanyakan keberadaan jam dinding. Ustaz Musa berusaha tenang. Dia menoleh ke tempat jam.
Setelah itu dia berkata, ”Saya juga ingin bertanya kepada saudara-saudara, apakah ada yang tahu siapa yang mengambil jam itu?”
Semua orang saling berpandangan dan mengangkat bahu. Lantas saling bertanya. ”Jika tidak ada yang tahu, saya minta saudara-saudara pulang. Tidak usah ribut. Saya pemilik jam itu tidak ribut, kenapa Sampeyan malah gaduh,” katanya.
Orang-orang dengan berat hati beranjak pulang. Tapi sejak kejadian itu warga kampung seperti linglung. Walaupun jam itu sudah tidak ada di dinding teras rumah Ustaz Musa, warga masih tetap menoleh ke tempat jam itu terpasang setiap melewat rumah itu. Hatinya kini seperti melompong, kecewa berat, karena melihat tembok itu masih kosong.
Begitulah terjadi setiap hari. Mereka merasakan ada sesuatu yang hilang ketika menoleh ke teras rumah Ustaz Musa, jam dinding itu tidak ada.
Lama kelamaan perilaku orang pun menjadi aneh. Mereka seperti tidak tahu waktu. Ada orang yang berangkat kerja pagi-pagi tapi pulangnya jauh malam. Ada juga yang berangkat kerja kesiangan, lalu cepat-cepat pulang.
Anak-anak sekolah pun ikutan kacau. Mereka sering geragapan ketika asyik bermain ternyata sudah masuk jam sekolah. Saat pulang pun terlambat karena petugas antar jemput mengira waktunya masih pagi padahal anak-anak sudah lama menunggu begitu jam pelajaran usai.
Rapat kampung sekarang molor. Begitu juga pengajian, menunggu dua jam baru acara dapat dimulai setelah peserta berdatangan satu persatu.
Lebih parah lagi bank, koperasi, abang kredit, sekarang terbelit masalah kredit macet. Nasabah tidak lagi tepat waktu membayar utang. Para rentenir ini khawatir usahanya bangkrut karena nasabahnya mengemplang.
Baca juga cerpen Laut dan Cerita di Tepi Sore Itu
Warga kampung merasakan adanya keabnormalan ini. Mereka membuka seminar di balai kota. Para ahli dan pakar diundang mengulas masalah untuk mencari penyebabnya. Akhir kesimpulan menyatakan kekacauan ini terjadi akibat hilangnya jam dinding Ustaz Musa.
”Ya semua warga sudah menjadikan jam itu sebagai patokan waktu. Tidak ada patokan waktu yang dipercaya warga kecuali jam itu. Ketika jam itu hilang maka mereka kehilangan waktu juga. Wajarlah muncul keabnormalan ini. Kalau dibiarkan terus bakal muncul chaos,” kata seorang warga.
Mereka sepakat menemui Ustaz Musa. Karena dialah pemilik jam itu sehingga dianggap paling tahu keberadaannya. Berbondong-bondong warga menuju rumah Ustaz Musa sambil membawa poster tuntutan dan meneriakkan yel-yel: Kembalikan jam kami. Suasananya persis seperti orang berdemonstrasi.
Ustaz Musa terkaget-kaget didemonstrasi warga kampung dengan tuntutan agar mengembalikan jam dinding.
”Jam itu milik saya kalau sekarang hilang kenapa Sampeyan menuntut saya, hah?” sergah Ustaz Musa menjawab tuntutan itu.
”Benar jam itu milik Ustaz, tapi sekarang sudah menjadi milik publik, sebab semua orang bergantung kepadanya. Jam itu sekarang bukan milik pribadi tapi milik bersama. Karena itu ketika hilang harus diusut tuntas sebab ini demi kepentingan umum,” kata seorang warga berargumentasi.
”Ya benar, kalau Ustaz menyembunyikan jam itu berarti Ustaz telah mengabaikan kepentingan rakyat, mementingkan diri sendiri, tidak amanah menjaga barang kepercayaan rakyat,” tambah yang lainnya lagi.
Ustaz Musa makin bingung dengan tuduhan warga. Bagaimana bisa dia sebagai pemilik jam, sekarang dituduh mengabaikan kepentingan rakyat?
”Saudara-saudara ini ngawur, bagaimana bisa gara-gara jam saya dituduh mengabaikan amanah dan kepentingan rakyat?”
”Apakah Sampeyan tidak merasakan gara-gara jam itu hilang sekarang waktu tidak menentu, kehidupan menjadi kacau, jadwal morat-marit?” ujar warga lagi.
”Saudara-saudara kan punya jam dinding sendiri, punya weker sendiri, punya arloji sendiri yang harganya lebih mahal dibanding jam saya, kenapa kekacauan ini dituduhkan kepada saya?”
”Semua warga sudah menjadikan jam dinding Ustaz sebagai patokan waktu yang paling dipercaya. Kalau patokan itu hilang maka semua jam milik kami menjadi tidak ada artinya,” kata warga beralasan.
Massa makin tidak sabar dengan dialog itu. Mereka berteriak-teriak agar menggeledah rumah Ustaz Musa mencari jam itu.
”Geledah….bakar….,” teriak seseorang.
Baca juga cerpen Uang Abu-Abu
Tanpa dikomando lagi massa berebut masuk rumah. Ustaz Musa terdesak ke dinding. Napasnya seperti terhenti ketika massa yang begitu banyak menekan dadanya.
Rumahnya diobrak-abrik. Semua lemari dan bufet dibuka. Kasur dibolak-balik. Kolong tempat tidur dan meja diangkat. Semua perabotan rumah berantakan. Jam yang dicari tidak ditemukan. Orang kini ganti mengambili barang apa pun yang dijumpai untuk dimiliki sendiri.
Ada orang dapat pakaian batik, baju koko, gamis, kopiah. Ada yang menemukan cincin emas, uang tabungan Ustaz Musa. Yang tidak kebagian barang berharga mereka mengambil panci, wajan, kompor gas, piring dan sendok.
Orang-orang makin beringas setelah sekian lama mencari, jam itu seperti benar-benar raib, tidak ada di rumah itu. Mereka marah.
”Ambil semua barang dan keluarkan dari rumah,” teriak seseorang mengomando. ”Bakar rumah ini,” katanya lagi.
”Ya, ya, bakar….bakar….” teriak massa menyahuti.
Maka api dinyalakan lantas dilemparkan ke dalam rumah, ke atap, ke kasur, ke sofa. Api pun cepat merambat, membesar, membakar rumah.
Ustaz Musa lemas di pojok pagar. Badannya gemetaran melihat rumahnya musnah karena amuk massa. Tapi massa tak peduli kondisinya. Orang-orang malah bersorak gembira saat menyaksikan atap rumah itu ambruk.
Suara runtuhnya menggebrak tanah, mengagetkan dada. Rumah sudah rata dengan tanah, dan jam dinding itu seperti ikut musnah. (#)
Penyunting Ichwan Arief