Opini

Diaspora Kader atau Laron Politik?

×

Diaspora Kader atau Laron Politik?

Sebarkan artikel ini
Diaspora kader IMM ke dalam partai politik. tidak boleh dimaknai secara ugal-ugalan. Silakan berdiaspora dengan semangat IMM tapi ingat, independensi dan netralitas harus dijaga. Bukan tunduk pada penguasa.
Arak-arakan DPP IMM ke salah satu ketua partai (tangkapan layar video)

Diaspora kader IMM ke dalam partai politik tidak boleh dimaknai secara ugal-ugalan. Silakan berdiaspora dengan semangat IMM yang kokoh tapi independensi dan netralitas harus dijaga.

Tagar.co – Kabar politik kian hari kian menggelitik. Selesai dari drama pemilihan capres-cawapres, sekarang mulai ramai bagi-bagi jatah kursi. 

Tapi tunggu, jangan dulu menyalahkan dan menghinakan politik. Seperti ujaran bijak yang sering kita dengar dan baca, “politik itu pisau, ia tajam dan mengikuti si empunya”. 

Tidak semua pemegang pisau menggunakan pisaunya untuk membunuh, bukan? Jadi, memang pisau tidak bisa bersalah. Ia hanya menjadi alat dan tanda bukti saja. 

Meski demikian, pisau tetaplah pisau yang semakin diasah semakin tajam menyayat apapun yang tersentuhnya.

Politik Ideologi Vs Politik Praktis

Kita mengenal politik ideologi sebagai sistem berpikir yang mengandung nilai-nilai dasar tentang kebenaran dan kebaikan. Sedangkan politik praktis ialah bentuk implementasi dari politik ideologi yang diwujudkan ke dalam organisasi politik (partai politik) yang memiliki tujuan tertentu untuk memenangkan pemilu atau mengambil alih pemerintahan. 

Sayangnya ambisi yang dibawa untuk mendapatkan jatah kursi seringkali tidak dilandasi oleh kebenaran dan kebaikan, melainkan nafsu dan keserakahan.

Politik praktis kini menjadi fenomena yang diagung-agungkan oleh beberapa gerakan mahasiswa. Salah satunya gerakan mahasiswa dengan warna kebesaran merah marun di bawah payung Muhammadiyah. 

Saking bangganya, bahkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mengantarkan dua kadernya dengan membuat arak-arakan sambil memakai rompi merah marun bersimbol IMM, mengetuk pintu salah satu pemimpin partai politik, seperti terekam dalam video yang beredar luas itu.

Baca Juga:  Terpilih Jadi Ketua Umum PC IMM Gresik, Egie Febriyota Bawa Dua Gagasan

Baca juga: Sastra dan Seksualitas

Bukan niat hati mengutuk seorang kader untuk berdiaspora ke dalam politik praktis. Tapi cara yang DPP IMM lakukan, sangat tidak etis. Silakan, jika hendak mengimplementasi perjuangan saat dalam ‘kandungan ortom’ ke politisi.

Namun arak-arakan dengan membawa simbol ‘merah marun’ secara terbuka dan terang-terangan seolah mewakili kehendak seluruh kader di dalamnya. Padahal jelas, IMM dalam proses kaderisasinya mengedepankan Tri Kompetensi Dasar: Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas yang arif dan hanif untuk mencetak pola dan hasil pikir nonsimbolis.

Sebagai anak kandung Muhammadiyah hal itu sangat tidak normatif. Muhammadiyah adalah persyarikatan yang tidak tunduk pada partai politik. Ia besar dan bermartabat, mengajarkan independensi dan dedikasi terhadap umat. Oleh karenanya, siapa pun kader yang berkeinginan menduduki kursi partai selalu disilakan. 

Namun demikian, Muhammadiyah tak pernah membuat arak-arakan atau iring-iringan hanya untuk mengantarkan kader-kadernya pada posisi politisi. Ia tetap teguh menjadi rumah, tempat kembali pulang saat lelah, tempat introspeksi ketika salah, dan tempat belajar menentukan arah.

Baca juga: Cinta Hamka kepada Guru-Guru Istimewa

Entah kajian bagian mana yang sedang dipraktikkan oleh para elite DPP IMM. Memang benar, hasil dari Tanwir Banjarmasin, salah satunya ialah diaspora kader—yang makna singkatnya adalah membuka seluas-luasnya pintu, dukungan, dan peluang kepada kader-kadernya untuk bergabung dengan partai politik. 

Ini tidak boleh dimaknai secara ugal-ugalan. Silakan berdiaspora dengan semangat IMM yang sudah kokoh menjadi fondasi dan prinsip berkegiatan dalam gerakan mahasiswa. Tapi ingat, independensi dan netralitas harus dijaga. Bukan lalu tunduk pada penguasa.

Baca Juga:  Aksi Damai Memperjuangkan Keadilan untuk AM

Sejarah Baru?

Atau apakah ini semacam trik propaganda untuk menciptakan sejarah baru? Agar kemudian tindakan kawan-kawan DPP dianggap benar dan patut ditiru oleh rekan pimpinan di bawahnya.

Miris. Jika memang ini yang dimaksudkan, maka IMM hanya akan menjadi mesin pencetak pion-pion partai politik. Dan tentu saja, menjadi bahan tertawaan kalangan elite politik yang hanya ongkang-ongkang menikmati kerumunan tangan-tangan yang menengadah meminta sedekah. 

Bukankah jika melihat sejarah, gerakan mahasiswa hadir sebagai sumbu objektivitas? Sehingga siapa pun penguasa, akan diawasi oleh koridor-koridor gerakan mahasiswa sebagai pembela rakyat. Bukankah itu salah itu pemaknaan dari tri kompetensi dasar (bagian) intelektualitas dan humanitas?

Untuk mencetak manusia-manusia berasaskan kebenaran di ladang akademis yang memperjuangkan martabat kemanusiaan.

Jika sekelas DPP sudah mabuk kepayang dengan iming-iming kursi partai, apa kabar bawahannya? Apakah akan ada pemaksaan untuk juga menjadi bawahan kader ‘politisi’ dengan label ‘kader organisasi’?

Ini yang menjadi bumerang hancurnya akal sehat. Berbondong-bondong kader gerakan mahasiswa saling sikut menyikut untuk menempati kursi panas penguasa. Kebenaran dan kebaikan semakin kelabu dan semu, karena indikator penentunya ialah subjek yang haus akan jatah kekuasaan. Lalu setelah mati akal sehat, hancurlah sebuah bangsa. Apa ini yang menjadi grand design DPP IMM saat ini?

Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah

Apakah elektabilitas sebuah gerakan mahasiswa dinilai dari kuantitas kader yang berkiprah di kancah politik praktis? Jika memang iya, matilah kemanusiaan. Manusia dilahirkan untuk menciptakan dan mengharmonisasi kemanusiaan. Hidup tumbuh saling menghidupi menjaga keseimbangan fitrah dari Illahi.

Baca Juga:  Mengawal Keputusan MK di Pelantikan DPRD

Gerakan akar rumput yang selalu berpegang teguh pada kearifan dan kebijaksanaan, akankah kemudian ramai bersorak patuh pada penguasa? Supaya apa? Tercipta ruang mencekam untuk rakyat jelata? Susah-payah tokoh bangsa menciptakan ruang sejahtera untuk rakyat, dengan sombongnya dipangkas dengan arogansi dalam tubuh gerakan mahasiswa.

Mana slogan “lawan!” yang selalu berkobar di jiwa? Yang menjadi tumpuan genggam untuk menolak perbudakan. 

Mengapa kini mereka menjadi laron-laron politik. Yang ingar bingar mengerumuni pijar, padahal ia hanya nyala untuk sementara, nanti akan dilahap habis oleh lidah dan geraham si penyala. 

Sebelum terlambat, masih ada celah untuk putar balik. Banting setir dan kembali ke rumah pengaderan yang mengasah fitrah rasionalitas menjadi manusia dan memanusiakan. Jadilah anak kandung Muhammadiyah yang pantas dan layak dibanggakan oleh ‘ayah’ dan ‘bunda’-nya. (#)

Penulis Sary Nur Handayani Kader IMM FIP Universitas Negeri Malang tahun 2014 Penyunting Mohammad Nurfatoni