Sastra dan Seksualitas
Kekhawatiran sekolah, guru, dan orang tua diharapkan menjadi prioritas pemangku kebijakan. Mereka tidak boleh menutup mata dengan masukan dan kritikan tentang seksualitas dan sarkasme di karya sastra.
Tagar.co – Sastra dan seksualitas. Topik ini menjadi perdebatan ketika ada wacana sastra masuk kurikulum sekolah.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sejumlah novel sastra Indonesia sarat dengan penggambaran seksualitas atau unsur-unsur seks yang dapat menimbulkan kesan bahwa novel-novel tersebut termasuk masuk dalam kategori pornografi.
Novel Ahmad Tohari Lintang Kemukus Dini Hari, Warisan karya Chairul Harun, atau novel Ayu Utami yang berjudul Saman dan Larung yang disebut-sebut sebagai contoh karya sastra dengan ciri keterbukaan baru dalam membicarakan seksualitas.
Ada juga karya Djenar Maesa Ayu yang termuat dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main dengan Kelaminmu yang secara gamblang mengandung penggambaran seksualitas.
Novel yang sarat dengan penggambaran seksualitas itu, di satu sisi dipandang sebagai novel ‘berkualitas’ dalam perbendaharaan sastra Indonesia. Namun, di sisi lain kehadiran novel-novel tersebut juga dikhawatirkan, khususnya oleh siswa dan orang tua, jika novel tersebut berada di rak perpustakaan sekolah.
Baca juga: Pro Kontra Sastra Masuk Kurikulum Sekolah
Kekhawatiran ini cukup beralasan, pertama, mereka takut efek buruk terhadap siswa sebagai akibat bacaan itu mampu mempengaruhi pola pikir dan perilaku. Kedua kekhawatiran dituduh menjadi tersangka sebagai penyebar bacaan pornografi.
Pada sisi lain, jika siswa dilarang membaca karya sastra, mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengenali novel yang baik secara mendalam.
Bagaimana mencari solusi terbaik? Di satu sisi siswa bisa mendapatkan imun melalui pengayaaan sastra bermutu, di sisi lain mereka mampu menikmati karya sastra sebagai bentuk proses kreatif pengarang yang memiliki pesan moral?
Kekhawatiran sekolah, guru, dan juga orang tua harus menjadi prioritas pemangku kebijakan. Mereka tidak boleh menutup mata dengan masukan bahkan kritikan terkait seksualitas ataupun sarkasme yang ‘menempel’ dalam karya sastra.
Pemangku kebijakan harus memilih dan memilah buku-buku sastra yang ‘aman’ tanpa meninggalkan kualitas isi sebagai sumber bacaan siswa di sekolah. Buku-buku yang memiliki daya stimulus terkait dengan implementasi Kurikulum Merdeka dan Profil Pelajar Pancasila.
Kalau ‘strategi’ ini benar-benar dijalankan tanpa memiliki celah, maka sastra masuk kurikulum sekolah adalah angin segar pada proses pendidikan di Indonesia.
Baca juga: Karakter Literasi Guru, Semoga Baik-Baik Saja
Pengalaman penulis mengajar, sebelum pro kontra sastra masuk kurikulum sekolah, pernah membuat peta konsep berupa ‘proyek’ pembelajaran bahasa Indonesia di tingkat SMP per level kelasnya. Penulis dan guru rumpun membuat bacaan sastra wajib per kelasnya. Level kelas VII, VIII sampai IX memiliki target bacaan karya sastra yang berbeda.
Siswa diberikan waktu satu tahun untuk membaca 4-5 buku sastra yang sudah ditentukan judulnya. Buku-buku itu sudah disediakan di perpustakaan sekolah, sehingga siswa memiliki tantangan dalam mengembangkan literasi membaca.
Meskipun belum sampai pada tahapan apresiasi mendetail, tetapi proses ‘proyek’ ini mampu menjadi stimulus siswa dalam membaca dan ‘mencintai’ sastra.
Penguatan Karakter
Membaca karya sastra bukan sekadar membaca permainan kata dan kalimat, idiomatik, serta dunia imajinasi pengarang semata. Membaca karya sastra, pembaca sekaligus memahami pesan dan informasi yang disampaikan pengarang.
Siswa didorong menafsirkan pesan moral, nilai edukasi, dan unsur intrinsik dengan mengaktifkan kemampuan berpikir kritisnya. Mereka juga bisa berlatih mengungkapkan pendapat, menyimpulkan, dan menghubungkan hubungan sebab-akibat serta menerapkan ide-idenya. Di sinilah proses meningkatkan kemampuan berpikir kritis mereka ditempa.
Selain itu, siswa juga difasilitasi menemukan pendapatnya, mengkaji teks, dan merekonstruksi argumentasinya. Dengan karya sastra dikurasi (diseleksi), pilihan buku semakin mudah bagi siswa dan sesuai dengan tujuan pembelajarannya.
Baca juga: Peradaban, Ketahanan Bangsa, dan Proses Bertumbuh Itu
Selain berpikir kritis, membaca karya sastra, siswa memiliki minat membaca. Mereka menjadi penyuka dan penikmat sastra. Di sisi lain, diharapkan kemampuan literasi dan minat baca siswa meningkat.
Ketika budaya membaca meningkat, maka secara tidak langsung pula siswa juga dapat menumbuhkan rasa empati dari cerita dalam teks sastra. Sikap empati ini penting untuk siswa agar menjadi individu yang penuh perasaan dan beradab.
Hal yang penting pula, selain menjadi media peningkatan penguatan karakter, membaca karya sastra siswa dapat mengetahui dan memahami sejarah dan budaya bangsa Indonesia. Buku sastra yang direkomendasikan mendorong siswa untuk mengerti bagaimana karakter dan identitas manusia Indonesia.
Maka, dengan bacaan yang kaya akan nilai edukasi, nilai kultural, dan nilai religius ini dapat juga menumbuhkan karakter Profil Pelajar Pancasila. Di sinilah letak bagaimana sastra memberikan sumbangsih pada proses pelayanan pendidikan pada tataran menumbuhkan sikap bangga dan sadar budaya.
Bukankah lahirnya novel tetralogi Laskar Pelangi—meliputi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov— karya penulis Andrea Hirata yang dirilis 2005 merupakan bentuk produk proses kreatif yang menginspirasi, memotivasi, bagaimana anak desa mampu memperjuangkan mimpinya kuliah di Eropa, tepatnya di Perancis.
Semoga semakin banyak karya sastra masterpiece yang mampu menginspirasi siswa dalam melukis dan mengeksplorasi mimpinya saat berada di bangku sekolah nanti. Semoga! (#)
Penulis Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 GKB (Spemdalas) Gresik. Penyunting Mohammad Nurfatoni