Opini

Peradaban, Ketahanan Bangsa, dan Proses Bertumbuh Itu

×

Peradaban, Ketahanan Bangsa, dan Proses Bertumbuh Itu

Sebarkan artikel ini
Jantung peradaban negara tetap berdetak atau berhenti, bisa dilihat dari pertumbuhan pengetahuan. Kalau tidak terdengar, berarti wasalam, tetapi kalau masih berdetak, peradabannya bertumbuh.
Perpustakaan modern (Ilustrasi freepik.com premium)

Jantung peradaban negara tetap berdetak atau berhenti, bisa dilihat dari pertumbuhan pengetahuan. Kalau tidak terdengar, berarti wasalam, tetapi kalau masih berdetak, peradabannya bertumbuh. Jantungnya perpustakaan.

Tagar.co – Harus diakui, peradaban suatu negara, jejaknya dimulai dari sejauh mana pengetahuan dijadikan sebagai embrio pertumbuhan. Jantung peradaban negara tetap berdetak atau berhenti, bisa dilihat dari pertumbuhan pengetahuan. Kalau tidak terdengar, ya berarti wasalam, tetapi kalau masih berdetak, peradabannya bertumbuh. 

Manusialah faktor utamanya. Dengan cipta, rasa, dan karsa, dia aktor yang mampu menjalankan peradaban. Nah, dari hal itulah kebudayaan akan mengalami kemajuan sehingga dikatakan sebagai peradaban.

Peradaban bisa berkembang karena ada proses yang disengaja di dalamnya. Ada kesadaran kesengajaan, kebersamaan, dan komitmen, yang didasarkan atas nilai-nilai kehidupan yang benar. Strategi yang dipakai biasanya melalui jalur pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dunia Barat menjadi pendidikan sebagai elemen penting peradabannya. Mereka meyakini berkembangnya peradaban tidak mungkin meninggalkan pendidikan sebagai unsur penting. Tanpa pendidikan yang memadai tidak ada yang namanya sumber daya manusia (SDM) sebagai pembawa perubahan ke arah yang lebih baik. 

Baca juga: Pro Kontra Sastra Masuk Kurikulum Sekolah

Pendidikan dijadikan role model paling cocok dalam melahirkan generasi bermartabat dalam melaksanakan prinsip how to change the world (bagaimana mengubah dunia) bukan hanya how to see the world (bagaimana melihat dunia). Harus how to lead the change (bagaimana memimpin perubahan), tidak sekedar how to follow the change (bagaimana ikut dalam perubahan). 

Kita dan dunia barat sudah memahami hal ini sudah lama, tetapi mereka yang mempraktikkan intisarinya dengan cepat serta aplikatif. Mereka menjadikan manusianya sebagai komponen beradab berpendidikan dengan memiliki ciri berbudaya (cultured) dan melek huruf (lettered). 

Tidak salah apabila Ibnu Khaldun, tokoh penting peradaban Islam abad XIV kelahiran Tunis menyebutkan substansi peradaban terletak pada ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu ada pada buku. 

Di sinilah perpustakaan menjadi titik kesadaran penting. Jantung peradaban bisa menjadi tiba-tiba upnormaltanpa kualitas perpustakaan yang memadai dan mumpuni.

Pendekatan Kultural Wadahi Kearifan Lokal 

Dalam quotes-nya, Milan Kundera mengatakan, jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.

Implikasi apa yang harus dijadikan proses bertumbuh dalam membangun peradaban bangsa kita dari ucapan novelis yang dinaturalisasi Perancis tahun 1981 ini? 

Baca Juga:  Menikmati Sore di BBC Campurejo dengan Kuliner Khas Pesisir

Ya, harus ada penguatan fungsi perpustakaan sebagai penjaga dan pengembang peradaban. Perpustakaan harus dijadikan sebagai tempat pertemuan para intelektual, pusat kajian dan diskusi, sanggar terjemah, laboratorium penelitian, dan tempat penerbitan buku. 

Perpustakaan harus dijadikan aset berharga peradaban. Ibaratnya, ini adalah buah dari peradaban. Buah yang berhasil didokumentasi, dihimpun, selanjutnya dibaca masyarakat. Apabila berhasil ditingkatkan pada tahapan proses perkembangan penelitian dan pengkajian, perpustakaan menjadi pusat peradaban, bukan isapan jempol. 

Bagaimana cara dan apa yang harus dilakukan segera?

Memang, ini tidak semudah membalik telapak tangan, tapi setidaknya bisa dimulai dari tingkat paling bawah yaitu sekolah. Perpustakaan tingkat TK-perguruan tinggi harus bersama-sama bertumbuh. Bukan sekadar penyediaan buku, tetapi upaya mereka dalam memotivasi peserta didik dan mahasiswa menjadi pemustaka sejati. 

Baca juga: Bikin Cerpen yang wow, Praktikkan Langkah Ini

Inilah tantangan terberat karena berkaitan dengan karakter. Budaya membaca kita belum menjadi kebiasaan. Kesenjangan mereka yang terbiasa membaca dan yang tidak terbiasa jauh. Orang yang terbiasa membaca semakin pintar karena semakin berilmu dan berpengetahuan, sedangkan orang yang tidak terbiasa membaca akan semakin lemah karena kurang berpengetahuan dan sedikit ilmu. 

Dampak yang sangat terasa adalah ketidakmampuan mereka mencerna dengan benar tulisan, apakah itu hoaksatau fakta. Maka penyebaran hoaks saat ini semakin luar biasa karena lebih mendasarkan pada rasa emosional dibanding rasional.  

Bikin perpustakaan ramah anak. Memperbanyak event yang melibatkan mereka. Baik ajang diskusi, nontonbareng, bedah buku, kompetisi, riset, pusat pembelajaran, panggung literasi. Sulap perpustakaan yang mampu mengapresiasi anak dalam bertumbuh dengan talentanya.

Tidak ada salahnya, perpustakaan didesain lebih milenial. Ini adalah cara untuk masuk dalam dunia anak. Ketika mereka akrab, kita mudah masuk dalam memberikan value. Ini adalah langkah pertama, bisa dijadikan awalan sebelum melangkah pada tahapan berikutnya.

Kedua, melakukan pendekatan kultural. Untuk jadikan membaca sebagai etos, maka pendekatan kultural harus ditempuh. Perpustakaan harus dijadikan sebagai laboratorium kearifan lokal daerah. Bukan sebatas tempat menumpuk buku bacaan, tetapi lebih dari itu. Pemustaka di masing-masing daerah lokal harus menggali budaya lokal. Tidak harus diawali pada hal besar, tetapi awali dengan dari yang kecil sebagai bentuk pembiasaan.

Baca juga: Nur Kholis, Menjaga Kearifan Lokal melalui Batik Bangsawan

Membuat mading, kliping, dan tugas akhir mengarah pada kearifan lokal. Siswa diarahkan membuat karya tulis yang disesuaikan dengan kompetensi dan jenjang umurnya. Mereka menggali dan menulis budaya lokal. Siswa SMA melakukan penelitian sedangkan mahasiswa mengkajinya. Budaya lokal menjadi objek kajian yang akan dikuliti. 

Baca Juga:  Lubang Kenikmatan dan Kesengsaraan

Proses ‘pembelajaran’ ini adalah langkah mendekatkan budaya lokal. Karya mading, kliping, karya tulis, penelitian, dan kajiannya menjadi sumber belajar di perpustakaan. Semisal, budaya lokal di Gresik, tempat lahir saya. Seni budaya Pencak Macan, Damar Kurung, Sunan Giri, Sunan Maulana Malik Ibrahim, kubur panjang, Pasar Bandeng, maupun Malam Selawe harus menjadi bahasan, kajian, dan penelitian. 

Pendekatan kultural ini bahasa sederhana adalah pola mendekatkan dengan budaya lokal. Ketika langkah ini dilakukan daerah lain, siswa semakin dekat, akrab dengan budayanya. Literasi mereka semakin bertumbuh. Pepatah mengatakan, yang terucap akan terbawa angin dan yang tertulis akan tetap abadi. Sekolah harus mampu mengikat ilmu pengetahuan dengan kegiatan literasi.

Kurikulum Pendidikan Kita

Ketika perpustakaan kita mewadahi budaya lokal, bukan tidak mungkin ketahanan nasional semakin ciamik.Perpustakaan kita semakin kaya sebagai pendukung kuatnya di budaya bangsa. Di satu sisi, perpustakaan kita mengembangkan kearifan lokal, di satu sisi juga pengembangan pengetahuan. Ini harus dijadikan karakter sehingga daya saing bangsa kita bisa bertumbuh. 

Bagaimana dengan kurikulum sekolah kita? 

Bukannya ini juga menjadi sangat penting guna mendukung budaya literasi, ruhnya perpustakaan kita!

Taufiq Ismail, sastrawan kita, pernah menekankan pentingnya budaya membaca dan menulis dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. ”Kurikulum untuk pengajaran bahasa Indonesia itu cukup dua, membaca, membaca, membaca, menulis, menulis, menulis,” tuturnya. 

Apa maknanya? Sekolah menjadi elemen penting dalam menggerakkan budaya literasi. Kurikulum sekolah pun harus dipola sedemikian rupa sehingga kalau dia (siswa) tidak membaca, menulis merasa menyesal. Ada rasa yang hilang gitu.

Kalau di sekolah, mulai SD-SMA memberikan nutrisi yang sama, maka imun anak-anak kita akan sama. Membaca menulis menjadi menu bertumbuh di sekolah. Perpustakaan di lingkungannya semakin berkembang. Inilah yang menjadikan perpustakaan kita lebih bergairah. Bukan sekadar tempat buku, tetapi bertumbuh, mulai dari kajian intelektual, pusat penelitian, karya-karya anak bangsa, pusat kajian dan diskusi. 

Penulis sangat terkesan ketika berkesempatan mengunjungi Rumah Puisi, Perpustakaan Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Jalan Raya Pandang Panjang, Bukit Tinggi Km 6, Kecamatan X Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat tahun 2016. 

Deretan rak buku, meja baca nan cantik, sajadah panjang yang menghubungkan ruang baca, dan hiasan poster inspiring menempel di setiap sudut. Perpustakaan yang dibangun tahun 1998 memiliki 7 ribu buku koleksi pribadi. Bukan hanya karya Taufiq Ismail berupa kumpulan puisi dan esai-esai yang dimuat di Majalah Horison semata, tetapi buku karya penyair Indonesia dan dunia, ensiklopedi, bahkan buku nonfiksi berderet rapi nan menggoda.  

Baca Juga:  9 Mahakarya Sinema Terbaik Sepanjang Masa yang Wajib Ditonton

Ini aset berharga kita. Aset budaya kita untuk menyokong pilar peradaban bangsa. Di sinilah letak jantung peradaban kita. Kalau jantung tidak jaga, diberi nutrisi literasi, imunitasnya jadi melemah. Melemahnya ini berdampak pada citra budaya, wajah bangsa. Mau ditarus mana wajah peradaban kita kalau sudah seperti itu?

Baca juga: Dilan 1983 Wo Ai Ni: Romantisme, Persahabatan, dan Cinta Monyet

Kiblat Pendidikan harus beri sumbangsih. Apa yang disampaikan Taufiq Ismail menjadi hal penting untuk direspon. SDM kita akan tetap tertinggal jauh di etape lomba peradaban dunia kalau cara dan kemasan kita masih sama, tetap. Harus ada langkah konkret untuk bisa memutus mata rantai karakter bertumbuh kita. 

Memang, perlu campur tangan pemangku kebijakan di rana pemerintah, tetapi perpustakaan ‘kecil’ di lembaga sekolah dan perguruan tinggi harus menata diri. Memantapkan diri. Terus berproses. Jantung dia (perpustakaan) akan dijadikan simbol peradaban. Kalau jantung berhenti berdetak mendadak (sudden cardiac arrest) karena dan aliran darah yang normal ke otak dan organ tubuh berhenti, karena etos membaca menulis terhambat, maka peradaban kita mengalami serangan jantung. 

Apa yang dikatakan Milan Kundera bisa terjadi pada kita. Bangsa dan peradaban kita perlahan nan pasti akan hancur. 

Kolaborasi setiap lembaga pendidikan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Nasional dengan pemangku kepentingan lainnya harus dilakukan segera. Sinergitas mereka menjadi energi positif. Sumbangsih mereka sangat penting untuk mengarahkan dan menjadikan perpustakaan sebagai sumber belajar, sumber proses bertumbuhnya SDM bangsa ini. 

Ini cara menghidupkan kearifan lokal menjadi kearifan bangsa. Pada titik kulminasinya menjadi embrio peradaban bangsa. Di situlah jantung bangsa, peradaban itu berproses dan bertumbuh dengan benar. Adaptasi, respon cepat, dan mindset baru perlu dilakukan karena peradaban bisa berkembang kalau direncanakan secara sadar, ada kebersamaan, plus komitmen. 

Inilah new nomal itu, kalau tidak pengin masuk situasi ‘upnormal’. (#)

Penulis Ichwan Arif, Guru SMP Muhammadiyah 12 GKB (Spemdalas) Gresik. Penyunting Mohammad Nurfatoni