SejarahUtama

Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah

×

Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah

Sebarkan artikel ini
Soedirman adalah aktivis di Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Guru Muhammadiyah ini menikah dengan Siti Alfiah, putri Sastroatmodjo, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Cilacap.
Panglima TNI Jenderal Soedirman (dokumen)

Jenderal Soedirman adalah aktivis di Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Guru HIS Muhammadiyah Cilacap ini menikah dengan Siti Alfiah, putri Sastroatmodjo, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Cilacap, Jawa Tengah.

Tagar.co – Semua orang tahu bila Jenderal Soedirman adalah pejuang bangsa. Dia adalah Pahlawan Nasional yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964.

Tapi mungkin tidak semua orang tahu Soedirman adalah pejuang bangsa kader Muhammadiyah. Dia adalah kader Hizbul Wathan. Soedirman juga pernah aktif di Pemuda Muhammadiyah dan menjadi guru di sekolah Muhammadiyah. 

Menurut buku Soedirman Seorang Panglima Seorang Martir – Seri Buku Tempo: Tokoh Militer yang diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, perkenalan Soedirman dengan Muhammadiyah bermula di bangku MULO Wiworotomo. 

Tak hanya aktif dalam kegiatan intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo, Soedirman, yang gemar berorganisasi untuk melatih kedisiplinan, juga bergabung dalam Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan—kepanduan di bawah payung—kini organisasi otonom—Muhammadiyah

Pada usia 17 tahun, Soedirman menduduki posisi mentereng: Menteri Daerah Hizbul Wathan Banyumas—kini setingkat ketua kwartir daerah (kwarda). Selain Cilacap, wilayah yang dikuasainya meliputi Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara.

Berbagai aktivitas itu membuka jalan untuk berkenalan dengan Sastroatmodjo, pengusaha sukses di Cilacap. Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Cilacap ini mempunyai seorang putri bernama Siti Alfiah, yang kelak menjadi istri Soedirman.

Soedirman muda kerap datang ke rumah Mbah Sastro membicarakan berbagai masalah organisasi. Lambat-laun dia menjadi akrab dengan Alfiah, yang aktif di Nasyiaul Aisyiyah—atau populer disebut Nasyiah—organisasi keputrian Muhammadiyah.

Baca Juga:  Partai Anies Baswedan Menurut Grok, Asisten AI di Platform X

Setahun setelah menjadi guru sekolah dasar di Hollandsch-Inlansche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap, pada 1936, Soedirman menikahi Alfiah. 

Soedirman mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap karena tokoh Muhammadiyah Cilaap yang juga guru pribadinya. Dia adalah R. Mohammad Kholil.

Menurut Marsidik—salah satu murid HIS Muhammadiyah Cilacap yang diwawancarai Tempo tahun 1997—cara mengajar Soedirman tidak menoton. Terkadang diselingi candaan. Juga sering diselingi pesan agama dan nasionalisme. 

“Soedirman juga sering mengambil kisah-kisah pewayangan,” ujarnya.

Makin Menggelora setelah Menikah

Alih-alih surut, setelah menikah, semangat berorganisasi Soedirman semakin menggelora. 

Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman—mengulang cerita ibunya—mencertakan dia mengetahui bahwa kakak tertuanya bernama Achmad Tidarwono lahir prematur pada 1937, setelah Soedirman dan Alfiah mengikuti kongres Muhammadiyah di Bukit Tidar, Magelang, Jawa Tengah.

“Ibu kecapekan. Mas Tidar lahir dalam perjalanan pulang,” ujar Teguh. Nama Tidarwono, yang berarti Hutan Tidar, disematkan untuk mengenang peristiwa tersebut.

Soedirman juga tak pernah absen dalam perkemahan Hizbul Wathan. Letnan satu (Purnawirawan) Hayyun Suritman, 86 tahun pada 2012, masih ingat kejadian saat perkemahan tiga malam di Batur, Banjarnegara, 1941. Ketika itu dia masih berusia 15 tahun, mewakili Hizbul Wathan Purwokerto.

Hari mulai gelap ketika hujan turun disertai sambaran petir. Saking derasnya hujan, Hayyun bercerita, air merembes hingga pelan-pelan membasahi bagian dalam tenda. 

Sebagian dari seratusan peserta asal Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara berteduh ke rumah-rumah penduduk. 

Baca Juga:  Anggota Paskibraka Lepas Jilbab, Dipaksa atau Sukarela?

“Tapi Pak Dirman tetap berada di dalam tenda,” kata Hayyun yang juga Ketua Hizbul Wathan Cilacap, kepada Tempo.

Karier mengajar Soedirman tergolong moncer. Baru beberapa tahun Soedirman menjadi guru, para pengajar di HIS Muhammadiyah sepakat menunjuk dia sebagai kepala sekolah. Jabatan itu diembannya hingga sekolah tersebut terpaksa tutup pada 1941-1942.

Belanda mengambil alih HIS Muhammadiyah dan mengubahnya sebagai markas dadakan di Cilacap. “Ketika itu Jepang mulai datang, Belanda kewalahan dalam Perang Asia Timur Raya,” kata Sardiman, dosen Sejarah dan mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. 

Penutupan paksa HIS Muhammadiyah tak memadamkan dedikasi Soedirman. Bersama beberapa temannya, dia mendirikan dan mengetuai Perkoperasian Bangsa Indonesia (Perbi), untuk membantu perekonomian masyarakat yang mulai kritis di bawah pendudukan Jepang. 

Tak perlu waktu lama, beberapa koperasi lainnya lahir di Cilacap, sehingga menimbulkan persaingan yang tak sehat. Lagi-lagi Soedirman turun tangan menyatukan koperasi-koperasi tadi dalam Persatuan Koperasi Indonesia Wijayakusuma. 

Dia juga membentuk Badan Pengurus Makanan Rakyat yang mengumpulkan makanan dan mendistribusikanya pada masyarakat yang membutuhkan. Sejak saat itu nama Sodirman melambung di Cilacap. Jepang kepincut dan mengangkatnya sebagai Syu Sangikai alias Dewan Pertimbangan Karesidenan Cilacap. (*)

Penulis Mohammad Nurfatoni