Mencari Wajah Asli Boca Bertopeng; Resensi buku oleh Sayyidah Nuriyah, Konselor Lulusan Program Studi Psikologi Universitas Airlangga
Tagar.co – Siapa sih pencinta Drama Korea yang nggak terpikat sama drama It’s Okay Not to Be Okay? Selain akting pemain utamanya yang nggak kaleng-kaleng, adanya buku cerita anak–yang sebenarnya bukan untuk anak-anak–juga menyuntikkan nyawa tersendiri di drama itu.
Di drama tersebut, Seo Yea Ji memerankan Ko Moon Young, seorang penulis buku anak dengan gangguan kepribadian antisosial. Buku-bukunya berhasil menarik minat pasar. Laris manis.
Meski ilustrasi bukunya tampak cocok untuk bacaan anak, namun cerita bernuansa dark yang tersirat maupun tersurat hanya bisa dipahami orang dewasa. Terlebih, oleh orang-orang dengan luka masa kecil yang serupa.
Setelah dramanya sukses menggelitik inner child saat rilis pada 2020, kelahiran lima buku cetak setelahnya juga sukses membuat pembaca terhanyut pada rasa yang sama. Pasalnya, saat nonton dramanya pun saya sudah berharap buku itu benar-benar diterbitkan. Hadir sebagai entitas buku yang mewakili pesan inti dramanya.
Beruntung M&C PT Gramedia Pustaka Utama menerbitkan kelima buku yang ditulis J.D. dan diilustrasikan oleh Jam San ini dua tahun setelahnya, Mei 2022. Pengalih bahasa Putri Permatasari mampu menerjemahkan dengan baik novel grafis asal Korea tersebut ke bahasa Indonesia. Alhasil, maknanya bisa tertangkap sesuai tulisan asli.
Meski menggunakan bahasa sederhana, namun makna-makna yang tersirat di dalamnya sungguh mendalam. Berikut sebagian makna di antara kelima serinya.
Mencari Wajah Asli
Mari kita mulai dari buku It’s Okay Not to Be Okay Special Children’s Story Series Vol. 5 Looking for Real Real Face. Dalam bahasa Indonesia judulnya It’s Okay Not to Be Okay Book 5 Mencari Wajah Asli.
Buku seri kelima ini mengisahkan petualangan tiga anak–Bocah Bertopeng, Puteri Kaleng, dan Paman Kotak–yang wajah asli mereka dirampas oleh Penyihir Bayangan. Sejak awal mengenalkan tokoh-tokohnya, penulis tampak menyindir manusia-manusia naif yang sembunyi di balik pencitraannya.
“… Bocah lelaki yang memakai topeng selalu tersenyum, Putri Kaleng yang selalu membuat keributan padahal kalengnya kosong, lalu Paman yang hidup terperangkap di dalam kotak yang menyesakkan.” (hal. 7)
Dengan ilustrasi berwarna yang persis menggambarkan narasi itu, pembaca dibawa masuk ke dalam imajinasi penulis yang sesuai kenyataan. Tepatnya, dongeng di dalamnya benar-benar mencerminkan tabiat manusia di dunia nyata. Cerdas!
“Penyihir Bayangan yang diam-diam bersembunyi di dalam bayangan orang lain tiba-tiba melompat keluar dan mencuri wajah mereka.” (hal. 8)
Tak sekadar membawa pesan tentang keberanian tampil apa adanya, melalui buku ini penulis juga menyampaikan pentingnya mengekspresikan apa yang dirasakan dan dipikirkan. Kunci komunikasi ini disampaikan secara tersurat sebagai dampak dari perampasan wajah anak-anak itu.
Mereka tidak bisa mengeluarkan ekspresi sehingga sering salah paham bahkan bertengkar. Manusia memang tidak bisa mengetahui isi hati, kan? Sekadar menebak dari yang tampak justru memantik masalah dan menjauhkan diri dari kebahagiaan.
Menariknya, dalam perjalanan menemukan kembali wajah mereka, ketiga anak itu justru menemui fenomena pahit yang akhirnya membantu mereka menjadi diri mereka sendiri. Satu per satu anak menemukan wajah aslinya ketika melakukan peran yang semestinya.
Sulit menemukan kekurangan pada buku seri kelima ini. Selain untuk dapat menangkap pesan yang sesungguhnya, pembaca adakalanya perlu membaca ulang beberapa bagian. Meski demikian, hal ini tak berarti jika dibandingkan dengan kelegaan yang dirasakan setelah mengorek maknanya.
Tangan, Ikan Monkfish
Buku seri 4 berjudul It’s Okay Not to Be Okay Special Children’s Story Series Vol. 4 Grasp. Dalam bahasa Indonesia, berjudul It’s Okay Not to Be Okay Book 4 Tangan, Ikan Monkfish.
Ceritanya, seorang ibu memberikan semua yang anaknya butuhkan dan membesarkan anaknya dengan sempurna. Akhirnya, si anak tak punya tangan dan kaki lagi.
Cerita kelam ini menyentil orang tua yang begitu mencintai anaknya. Wujud cinta berlebihan itu justru membuat anaknya tidak punya ruang yang cukup untuk tumbuh dan melatih diri menjalankan fungsi tubuhnya sendiri.
Sesuai kategori usianya yang tertera di sampul belakang, 17+, buku-buku ini cocok menemani proses seseorang menjadi dewasa. Pun menemani seorang dewasa merefleksikan upaya yang telah ditempuh.
Bisa dibilang, ini kelebihan sekaligus kekurangannya. Berbeda dengan seri kelima, pada seri keempat, logika cerita diungkap secepat kilat dan gamblang. Pasalnya buku seri ini memang paling tipis di antara keempat buku lainnya.
Seperti yang disebutkan di tengah cerita, si anak berkata, “Ibu, aku tidak punya tangan. Tanganku hilang karena tidak pernah dipakai sekalipun.”
Kandungan cerita misteri pada buku seri ini juga sangat dekat dengan nuansa mitos di Tanah Air. Mengingatkan pada legenda Malin Kundang, tokoh anak juga menangis karena sang ibu tidak rida pada kondisi anaknya yang dianggap tidak bisa apa-apa. Padahal itu bermula dari kesalahannya sendiri.
Untuk buku novel grafis yang jumlah halamannya berkisar 24-32, harga buku-buku ini cukup merogoh dompet. Namun untuk kualitas cerita dan ilustrasi yang menggelitik inner child, harga tersebut memang pantas. Kesehatan mental memang mahal. (#)
Penyunting Ichwan Arif