Jawabanku untukmu, Morin;

Jawabanku untukmu, Morin (Ilustrasi freepik.com premuim)

Jawabanku untukmu, Morin;
Jawabanku untukmu, Morin (Ilustrasi freepik.com premuim)

Jawabanku untukmu, Morin; Cerpen oleh Ismini, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 2 Ponorogo

Tagar.co – Bagaimana dengan doa hamba miskin yang kelaparan sepertiku? Bolehkah aku tidak percaya akan adanya Tuhan, Vey? Apakah Tuhan tidak sudi mengabulkan doaku?

Lalu tidakkah aku benar dengan menganggap Tuhan pilih kasih? Mengapa justru hamba yang teramat butuh bantuan tidak terkabulkan doanya? Kau bahkan lebih dari beruntung, Vey, Tuhan memanjakanmu dengan segala permintaanmu. 

Ia menutup pertanyaan-pertanyaan itu dengan raut kesedihan dan penyesalan membias di wajahnya. Kemudian ia menatap kedua mataku dengan pandangan misterius. Aku melihat perubahan di wajahnya dengan jelas. 

Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menembus pada kedalaman jiwaku dan menumbuhkan keraguan-keraguan. Kemudian bibirnya sedikit bergetar dan memegang tanganku dengan erat. 

“Bahkan engkau sendiri tidak bisa menjawabnya, Vey? Lalu untuk apa kau selalu memintaku berdoa dan berdoa? Apa kau hanya berusaha menghiburku, sahabatku? Dengarkan aku Vey, sekarang aku membutuhkan hidup sepertimu. Aku membutuhkan kebahagiaan yang engkau miliki. Aku menginginkan pesonamu layaknya burung-burung pun mau menyanyi dalam paduan suara untuk menyambutmu di pagi hari.”

Ia meninggalkanku, melangkah menuju pintu, namun raut kesedihannya itu terus mengikutiku hingga hari ini. 

Sebut saja ia Morin. Aku mengenalnya ketika duduk di bangku kuliah. Ia adalah manusia yang banyak merenung dan sedikit berbicara. Penderitaan yang saat ini menghinggapinya membuatnya terlihat seperti seorang bayi yang baru dilahirkan ke dunia. Hanya saja ia selalu menyalahkan Tuhan sebagai sang Pencipta atas penderitaannya. 

Kemudian dalam kenyamanan seperti apa aku bisa berteduh jika aku tidak menemukan jawaban pada semua pertanyaan-pertanyaan meragukan ini? Gemetar dengan perasaan meluap, aku menyandarkan kepalaku pada dinding untuk menenangkan diri dalam perenungan. Aku begitu yakin Tuhan menempatkan manusia pada suatu keadaan menjadi sebuah ujian bagi makhluknya. 

Aku seharusnya menjadi jawaban dari doa-doa Morin. Tuhan akan menjawab doa umatnya melalui tangan dan kaki umatnya yang lain. Bukankah itu menjadi tanggung jawabku. 

Hari-hari terakhir ini Morin sering mempertanyakan hal-hal aneh kepadaku. Seperti ia berusaha menyurutkan keimanannya. Bahkan ia pernah melontarkan pertanyaan konyol terhadapku. Entah dari mana datangnya, tetapi firasatku mengatakan bahwa ia telah terperdaya keinginan-keinginan semu, sehingga menutup keimanannya. 

“Mengapa engkau memutuskan untuk beragama Islam sampai hari ini Vey? Apa engkau benar-benar merasa Tuhan selalu ada untuk dirimu? Atau mungkin engkau merasakan kehadirannya?” tanyanya ragu.

“Aku menyukai cara berkomunikasi dengan Tuhan yang ditawarkan Islam, Morin. Bahkan aku percaya sebenarnya mereka berdoa kepada Tuhan yang sama meskipun dalam setiap doa mereka menyebut beberapa nama yang berbeda. Aku percaya akan Tuhan Morin dan aku tidak perlu bukti lain karena aku merasakan kehadiran-Nya.”

Seperti cinta, apa engkau pernah tahu apa itu cinta, Morin? Aku bahkan belum pernah melihat wujudnya, tetapi ketika aku mendapati sepasang suami istri yang memeluk kedua anaknya, aku meyakini bahwa cinta itu ada. Bahkan aku sering merasakan dalam hidup terjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Andaikan itu kebetulan, kebetulan ini terlalu ekstrem. Maka bagiku sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan itu ada campur tangan Tuhan. 

“Morin, engkau ini hidup di dunia dan pastilah engkau akan menemui keanehan-keanehannya yang sering datang dengan tiba-tiba, maka pastikanlah engkau tetap berada pada keimananmu, janganlah engkau meneteskan air mata kepedihan lagi yang tak pernah membawa arti. Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. Bukankah engkau termasuk dari hamba Allah yang beriman.

Maka yakinlah kebahagiaan yang hakiki akan segera datang menghampiri jiwamu. Itu pun jika engkau sanggup menghalau dan menepis lingkaran hitam yang membelenggumu, karena Allah membenci makhluk-Nya yang berputus asa. Jika engkau hari ini dalam derita, bukan berarti engkau tidak akan pernah berbahagia. Sesungguhnya garis-garis perjalanan hidup kita telah ditentukan oleh-Nya, sehingga yang kita lakukan hanyalah usaha-usaha lahiriah belaka. Badai kehidupan memang seringkali mengantahberantahkan kekokohan pilar-pilar keimanan kita, akan tetapi, tak selamanya kita harus tunduk kepada keangkuhan diri.”

Usai aku menjawabnya, senyum tipis keluar dari bibirnya.

”Kau tersenyum Morin, sudahkah kau kembali pada kesadaran nuranimu?” tanyaku lagi.

Ia terdiam sejenak. 

“Mungkin aku telah berserikat dengan kawanan setan sehingga meragukan sesuatu yang seharusnya tidak perlu kupertanyakan,” gumamnya.

“Tidak Morin, kau hanya perlu kendali diri menghadapi pasang surutnya iman,” jawabku lega.

“Tuhan, ampuni hamba lemah-Mu ini yang mencoba meracuni diri dengan pikiran-pikiran ragu. Aku kembali pada-Mu,” sahutnya lirih. (#)

Penyunting Ichwan Arif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *