Tagar.co

Home » Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng, Gaya Hidup Bersahaja
Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng Gaya Hidup Bersahaja; Oleh Mohammad Nurfatoni

Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng, Gaya Hidup Bersahaja

Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng Gaya Hidup Bersahaja; Oleh Mohammad Nurfatoni
Mohammad Nasir dan keluarga (dokumen keluarga)

Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng Gaya Hidup Bersahaja; Oleh Mohammad Nurfatoni

Tagar.co 
– Tokoh-tokoh Islam zaman dulu ternyata hidupnya sederhana. Meski punya jabatan mentereng tapi gaya hidup tetap bersahaja. Seperti yang dijalani oleh tokoh bangsa Mohammad Natsir.

Padahal dia pernah menjabat Perdana Menteri (PM) tahun 1950-1951. Dia juga pernah menjadi Menteri Penerangan tahun 1946-1947 di masa PM Sutan Syahrir dan tahun 1948-1949 saat PM dijabat Mohammad Hatta.

Menjadi pejabat negara setinggi itu tidak membuat pria kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat tahun 1908, ini berubah penampilan. Rumah, pakaian, kendaraan, dan gaya hidupnya tetap bersahaja. Bahkan dia pernah terlihat memakai jas bertambal.

“Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Guru Besar Universitas Cornell, George McTurnan Kahin, dalam buku Natsir, 70 Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.

Kahin mengaku melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut. Dia, yang mengenal sosok Natsir dari Agus Salim, mengungkapkan bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membelikan pakaian sang bos agar terlihat sebagai seorang menteri.

Baca juga: Presiden RI yang Terabaikan, Sjafruddin Prawiranegara

Soal kesederhanaan pakaian Natsir juga diungkapkan Yusril Ihya Mahendra yang pernah menjadi stafnya. 

Menurut Yusril, saat memimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) di masa Orde Baru, Natsir sering ke kantor DDII dengan pakaian yang itu-itu saja.

“Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru,” kata Yusril yang pernah mendapat julukan ‘Natsir Muda’, seperti dikutip buku Natsir Politik Santun di Antara Dua Rezim, Seri Buku Tempo: Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016). 

Menolak Mobil Mewah dan Saldo

Kesederhanaan Natsir juga terlihat dari kendaraan yang dia pakai. Meski menjadi pejabat tinggi, dia hanya menggunakan mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam.

Mobil Chevrolet Impala yang diberikan seorang tamu dari Medan dia tolak. Saat itu, tahun 1956, Natsir menjadi anggota parlemen dan memimpin Partai Masyumi.

“Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” kata Lies menirukan ucapan ayahnya ketika menolak hadiah mobil tersebut.

Padahal sedan besar buatan Amerika itu sudah terparkir di depan rumah Natsir di Jalan Jawa 28—kini Jalan HOS Cokroaminoto—Jakarta Pusat. Dan anak-anaknya terlanjur berharap mobil itu bakal jadi milik keluarga. 

Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah

“Dia ingin membantu Aba karena mobil yang ada kurang memadai,” kata Sitti Muchliesah alias Lies, anak tertua Natsir pada Tempo pada 2008. 

Sikap Natsir itu sesuai dengan apa yang sering dia sampaikan kepada anak-anaknya. “Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat,” kata Lies yang wafat 14 Maret 2010, menirukan nasihat Aba-nya, Natsir.

Kesederhanaan—juga kejujuran—Natsir terekam pula saat dia mengundurkan diri dari jabatan PM tahun 1951. 

Maria Ulfa, sekretarisnya, saat itu menyodorkan sisa dana taktis. Saldonya lumayan banyak. Menurut Maria, dana itu menjadi hak perdana menteri. Tapi Natsir menggelengkan kepala. Dia menolaknya. Akhirnya dana itu dialihkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantong Natsir.

Bukan hanya itu. Natsir juga langsung meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden, saat dia mengembalikan mandat PM. Setelah itu dia pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. 

Natsir menolak sisa dana taknis bukan karena dia berlebih uang. Bahkan Natsir pernah tak pegang uang. Hal itu diungkapkan ‘Natsir Muda’ lainnya: Amien Rais.

Saat mahasiswa Amien mendengar cerita Khusni Muis yang pernah jadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat.

Khusni pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai. Saat itu Muhammadiyah adalah anggota istimewa Masyumi. Ketika hendak pulang ke Banjarmasin, dia mampir ke rumah Natsir, meminjam uang untuk ongkos pulang.

Baca juga: Diplomasi Jenaka Haji Agus Salim: Dari Jenggot hingga Pusar Adam

Tapi apa yang terjadi? Ternyata Natsir tidak punya uang karena belum gajian. Natsir akhirnya meminjam uang dari kas majalah Hikmah yang dia pimpin. “Bayangkan Perdana Menteri tidak punya uang. Kalau sekarang tidak masuk akal,” komentar Amien Rais, mantan Ketua MPR RI.

Tempat tinggal keluarga Natsir juga menjadi saksi kisah kesederhanaannya. Lies menceritakan, ketika menjadi Menteri Penerangan awal tahun 1946, keluarga Natsir tinggal seadanya di rumah Prawoto Mangkusasmito—sahabat Natsir—di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Sewaktu pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, keluarganya tinggal di paviliun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia—sekarang Jalan H Agus Salim.

Periode menumpang di rumah orang baru berakhir ketika keluarga Natsir menempati rumah di Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabot ini dibeli pemerintah untuk rumah dinas Menteri Penerangan. “Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas,” kata Lies.

Ketika menjadi PM pada Agustus 1950, keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat—sekarang Tugu Proklamasi. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam dianggap tak layak untuk seorang pemimpin.

Rumah di Jalan Proklamasi ini sudah lengkap dengan perabot sehingga Natsir dan keluarga hanya membawa koper saat pindahan dari rumah di Jalan Jawa. 

Pada masa ini keluarga Natsir sudah dibatasi dengan aturan protokoler. Rumah sudah dijaga polisi dan sang PM selalu didampingi pengawal. Pemerintah juga menyediakan pembantu yang membenahi rumah, tukang cuci dan masak, serta tukang kebun.

Tapi ‘fasilitas’ itu tak membuat keluarga Natsir manja. Lies yang saat itu duduk di kelas II SMP tetap naik sepeda ke sekolah karena jaraknya dekat. 

Adiknya-adiknya antar-jemput dengan mobil pribadi DeSoto. Ibunya—Nur Nahar—masih melanjutkan belanja ke pasar dan kadang masak sendiri. Menurut Lies, keluarganya tidak memanfaatkan fasilitas pemerintah, misalnya perjalanan dinas.

Sebagai catatan, Lies punya lima adik, yaitu Asma Faidah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzi Natsir. Sebenarnya ada lagi satu adiknya, Abu Hanifah, yang wafat saat berusia 13 tahun karena tenggelam di kolam renang.

Hidup Nomaden

Pola hidup sederhana itu pula yang membuat anak-anak Natsir mampu bertahan saat suratan takdir mengubah hidup mereka: dari ‘anak Menteng’ menjadi ‘anak hutan’ di Sumatera ketika muncul Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/PRS).

Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara ke penjara lain tahun 1960-1966, keluarganya kehilangan rumah di Jalan Jawa, termasuk mobil DeSoto. Harta itu diambil alih kerabat seorang pejabat pemerintah. 

Saat itu keluarga Natsir menjadi ‘kontraktor’ rumah, menjalani kehidupan ‘nomaden’. Pindah dari paviliun di Jalan Surabaya sampai rumah petak di Jalan Juana, di belakang Jalan Blora, Jakarta Pusat. Rumah itu cuma terdiri atas satu kamar tidur, ruang tamu kecil, dan ruang makan merangkap dapur.

Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagungan Jakarta tahun 1966, dia membeli rumah milik kawannya, Bahartah di Jalan Jawa 46—kini Jalan HOS Cokroaminoto—Jakarta Pusat.

Rumah itu sebenarnya dijual dengan harga teman, tapi Natsir tetap tidak mempunyai uang. Akhirnya dia harus pinjam dari sejumlah kawan dan dicicil selama bertahun-tahun. 

Begitulah sekelumit episode Mohammad Natsir—bapak bangsa yang sangat sederhana menjalani hidup. Penting dijadikan teladan, kini, di tengah glamornya gaya hidup para pejabat. (#)

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *