FeatureUtama

Masroin Assafani, Menjadi Kiai secara Autodidak

×

Masroin Assafani, Menjadi Kiai secara Autodidak

Sebarkan artikel ini
Masroin Assafani dan Keluarga. Dari kiri: anak pertam Dhiya’ul Ilmi Al Fatawa, Midaduddzahab Al Mujaddid, Masroin Assafani, Utqi Alfalah Nafilah, almarhumah Lilik Rosyidah, Nuhi Dhuha Qoribullah. (Tagar.co/dokumentasi keluarga)

Tagar.co – Masroin Assafani, termasuk mubalig langka. Sebab kebanyakan keberhasilan seseorang menjadi mubalig atau kiai tak lepas dari pendidikan yang ditanamkan di pondok pesantren. Namun, hal tersebut tidak berlaku pada Masroin Assafani, M.A., yang biasa dipanggil Masroin.

Keterbatasan yang dimilikinya, membuat dia belajar autodidak di rumah dari gurunya Muhammad Erfan. Rumahnya berada di daerah rawa yang ditumbuhi tanaman buah teratai dan tempat nelayan menjaring ikan, yakni di Dusun Sapan, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Masroin di waktu kecil bercita-cita ingin menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—kini Tentara Nasional Indonesoa (TNI)—tapi harapan dan doa dari sang ibu, Kaswati, malah berkeinginan agar kelak dewasa sang anak menjadi seorang mubalig.

Tahun 1979, ada program “ABRI Masuk Desa”. Di Desa Dateng, Dusun Sapan, saat Masroin masih sekolah SD Negeri Dateng, dengan keberaniannya dia kemudian memanjat pagar. Hal itu dilakukannya, karena sangat senang melihat ABRI dengan gagah terselip tembak di pinggangnya. Tetapi, teman-temannya malah berlari karena takut.

Usai menyaksikan kejadian itu, Masroin pulang membuat bedil-bedilan (tembak-tembakan), lalu di tanya olehsimbok (ibu), “Ape gawe opoCong (mau buat apa Nak)?” Lalu dijawab Masroin, “Membuat bedil-bedilan, Mbok. Saya ingin menjadi ABRI,” jawabnya. 

“Ada ABRI gagah-gagah Mbok,” lanjutnya. 

Lalu Simbok mengatakan, “Ojo Cong. Dadi mubalig (jangan Nak, jadi mubalig saja) seperti Pak Nastir pinterceramah atau Bung Karno.” 

Padahal waktu itu dia belum tahu Muhammad Natsir dan Bung Karno. 

Masroin lahir di Dusun Sapan, Desa Dateng Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, pada 17 Februari 1969. Ayahnya bernama Samino dan ibunya Kaswati. Masa kecilnya dia ikut ngaji di Mbah Kasiban, Mbah Sajimo, dan Abd Atas yakni Makna ngaji Qur’an Al- Ibris yang diasuh almarhum Abdurrahman.

Ketika masih ikut-ikutan ngaji di Mbah Kasiban, dia dibimbing saudaranya sendiri Umiati dan sudah hafal serta lancar surat Al-Fatihah dan Al-Baqarah ayat 1-5. Dia tidak mau beranjak dari kedua halaman tersebut. “Karena halaman tersebut berwarna merah,” kisahnya pada Ahad (21/4/2024).

Menjelang Subuh Masroin kecil bangun lebih awal dan menyanyikan lagu- lagu di antaranya Indonesia Rayadan Akulah Pahlawan dengan suara keras. Sampai-sampai bapak, ibu, dan saudara seperti pamannya. Para tetangganya bilang, “Besok itu pinter Kas, anakmu.”

Diajar Erfan selama 7 Tahun 

Saat dia kelas 2 SMP PGRI Keduyung, di Dusun Sapan, Pimpinan Ranting Muhammadiyah mendirikan Madrasah Ibtidaiah Muhammadiyah (MIM), lalu kemudian didatangkan beberapa guru untuk mengajar di madrasah tersebut. Di antaranya guru itu bernama Ali Fikri dan Mutasam dari Payaman, Subhi Ali Alfa dari Paciran, dan Muhammad Erfan dari Sentul Klayar, Paciran, yang merupakan alumnus Pondok Kertosono Roudhitul Ilmiah, serta Musa dari Dukun, Gresik.

Baca Juga:  Prabowo Lantik 25 Pejabat: Dari Utusan Khusus dan Penasihat Presiden hingga Kepala Badan

Dari kelas 2 SMP sampai lulus SMP, Masroin senantiasa mengikuti kursus dan kajian- kajian ala pondok yang diajarkan oleh para guru tersebut. Paling lama adalah Erfan, yakni menjadi gurunya selama tujuh tahun. Pak Erfan dengan sabar juga telaten, dan kadang mengajar mulai pukul tiga malam sampai pagi.

Sebelum diajar, Masroin dibilangi gurunya Erfan, jangan menulis dulu sebelum baca bismillah tiga kali dan tahan napas. Kitab yang diajarkan adalah tafsir Al-Qur’an. Setelah salat Subuh, Masroin diminta Erfan mengajar teman-temannya yang berjumlah sekitar 30 anak.

“Dengan keilmuan yang diajarkan oleh Pak Erfan selama tujuh tahun, mulai ilmu nahwu, mantiq, balaghah, sharaf, itu dihafalkan termasuk kaidah-kaidah usul fikih,” kata pria empat anak ini.

Masroin juga banyak membaca kitab-kitab yang dia pahami, di antaranya Riyadhus Shalihin dua jilid itu hampir dipahami isinya. Juga membaca buku Jamius Shaghir, Ihya Ulumuddin, Tafsir  al-Azhar, Ibnu Katsir, dan Fii Dhilalilquran. Juga ada Majmu’ Fatawa dan kitab-kitab tafsir serta kitab lainnya.

Selain tekun membaca kitab-kitab, dia juga menghafal beberapa ayat dan hadis. Menghafalnya dengan cara: di kamarnya ditempel tripleks sebagai papan lalu ditulis beberapa ayat Al-Qur’an atau hadits, kemudian kalau sudah hafal ganti ayat atau hadits lagi. Begitu juga seterusnya.

Termotivasi Jadi Mubalig 

Setiap hari Jumat, Masroin remaja sering diperintahkan pengurus untuk mencari khatib Jumat. Dengan sepeda ontel, dia berangkat ke Desa Jabung atau ke Desa Keduyung guna mendapatkan khatib.

Dari situ, Masroin berpikir dan termotivasi agar nanti dirinya bisa berani dan tampil khotbah. Dia belajar pidato di tengah-tengah rawa sambil mencari buah teratai. Yakni tanaman yang tumbuh di rawa.

Pidato di atas perahu dengan suara keras sambil menancapkan tongkat bambu panjang 4-5 meter sebagai alat menjalankan perahu. Bila ada orang lewat, dia berhenti pidato karena malu dilihat. 

Baca Juga:  Layanan Kesehatan Muhammadiyah Tak Membedakan Agama, Suku, Ras, dan Golongan

Karena Masroin anak orang yang tidak mampu, sehingga sekolahnya sempat tertunda. Memasuki SMA dan diketahui bisa ceramah, maka dia diundang untuk khotbah Idulfitri dan Iduladha. 

Dia baru lulus SMA tahun 1994, tahun 1995 ikut mengajar di SMP Muhammadiyah 17 Laren, dengan bayaran waktu itu Rp. 5.500,- dengan mata pelajaran Sejarah Nasional dan Geografi, dengan empat pertemuan.

“Perjalanan mengajar dari Desa Sapan menuju Desa Keduyung kalau musim hujan ditempuh dengan jalan kaki. Apabila banjir datang naik perahu, berangkat dan pulang dengan ongkos dua ribu rupiah. Sehingga bayaran yang didapat habis untuk ongkos perahu, bahkan kurang,” kisahnya.

Dalam perjalanan naik perahu dari Desa Sapan ke SMPM 17 di Desa Keduyung dimanfaatkan oleh Masroin untuk membaca dan menghafal beberapa ayat Al-Qur’an.

Selain mengajar di SMPM 17 Laren Masroin juga pernah menjadi kepala sekolah di MIM 13 Sapan tahun 1996-1998, guru MIM 14 Dateng 1995-1997, guru MIM 11 Jabung tahun 1991-1992, guru MIM 10 Pesanggrahan tahun 1995-sekarang. 

Dia juga pernah menjadi guru di SMAM 3 Maduran 2003-sekarang, guru MTs Wahid Hasyim Desa Gelap tahun 1995-2004, dan guru MA Al Islamiah Mojoasem tahun 1997- 2015.

Masroin Assafani bersama sang istri almarhumah Lilik Rosyidah (Tagar.co/dokumentasi keluarga)

Khotbah dan Ceramah sampai Luar Pulau 

Di usia 18 tahun dan belum menikah, Masroin sudah diminta untuk khotbah keliling desa, mulai Desa Pesanggrahan, Keduyung, Centini, Jabung, hingga Dateng. Di saat musim hujan, ditempuh lewat jalan kaki dan naik perahu dari Desa Sapan, tempat kelahirannya.

Juga untuk ceramah di acara pernikahan. Ketika dia diundang ke tempat yang jauh—mulai daerah Karanggeneng, Maduran, sampai Tuban—maka agar bisa mendatangi undangan itu, jauh hari Masroin cari pinjaman motor. 

Keadaan itu dilakukan sampai bertahun-tahun. Setelah berumah tangga beberapa tahun dan semakin banyak permintaan untuk kajian-kajian, maka pada 2006 dia berunding dengan istrinya Lilik Rosyidah agar bisa memiliki kendaraan sendiri. Pada akhirnya dia bisa membeli motor dengan cara kredit. 

Awalnya menekuni sebagai mubalig di desa, tapi ternyata sampai luar kota. Termasuk diundang ceramah dan kajian di kabupaten lain, di antaranya ke Jombang, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Tulungagung, Bojonegoro.

Bahkan dia aktif ceramah ke luar Jawa mulai Balikpapan, Bontang, Samarinda, Kutai Kartanegara, hingga Berau. Juga ke Gunung Tabur, Tanjung Redep, Tanjung Selor Kalimantan Timur, hingga Ternate dan Tidore Maluku Utara.

Baca Juga:  Nur Kholis, Menjaga Kearifan Lokal melalui Batik Bangsawan

Kuliah dengan Uang Pinjaman 

Masroin Assafani menikah tahun 1997 di usia 27 tahun dengan Lilik Rosyidah asal Desa Keduyung. Dari pernikahannya Masroin dikaruniai empat anak. Mereka adalah 1.Dhiya’ul Ilmi Al Fatwa, 2. Nuhi Dhuha Qoribullah, 3. Utqi Alfalah Nafilah, 4 Midaduddzahab Al Mujaddid.

Masroin semakin kuat peran dakwahnya, tidak hanya di kalangan warga Muhammadiyah, bahkan secara umum dan luas. Itu semua atas dorongan yang diberikan istrinya. 

Lilik Rosyidah, sang istri wafat pada Senin 26 Juli 2021 usai dirawat di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan (RSML) karena Covid-19. Almarhumah dimakamkan di Pemakaman Islam Keduyung, Laren, Lamongan.

Saat ini kedua anaknya mengikuti jejak perjalanan ayahnya, yaitu Diya’ ul Ilmi Al Fatwa dan Nuhi Dhuha Qoribullah.

Keduanya sudah tampil sebagai imam dan khatib Jumat, Idulfitri dan juga ceramah di bulan Ramadan.

Atas dorongan istrinya Lilik Rosyidah, Masroin akhirnya dapat kuliah S1. Tahun 2007 masuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al-Fattah Siman, Sekaran, Lamongan dan lulus tahun 2011.

Dukungan dan motivasi terus dari istri agar suaminya bisa melanjutkan ke S2 di tahun 2012, dia masuk kuliah di Universitas Islam Lamongan (Unisla) lulus tahun 2014. 

Adapun saat itu biaya kuliah untuk bisa mencapai S1 dan S2 dari pendapatan gaji yang diterima dari mengajar kurang mencukupinya, maka Masroin dan istrinya mengambil inisiatif dengan pinjam kepada sahabat-sahabatnya.

Untuk menutup pinjaman, dengan takdir Allah pada tahun 2012 Masroin masuk daftar sertifikasi guru, hingga kemudian cair pada 2015 dan dapat menutup pinjamannya.

Sesepuh Desa Keduyung H Sumarlan mengatakan, Masroin adalah seorang mubalig, aktivis organisasi yang ulet, telaten, tabah, dan sabar. Orangnya juga familier dan humoris. “Ceramah-ceramahnya menyegarkan dan menggembirakan jamaah,” ujarnya pada Selasa (7/5/24).

Selain berdakwah dan menjadi pendidik, Masroin juga aktif berorganisasi di Muhammadiyah. Dia diberi amanah di Persyarikatan, mulai tingkat ranting hingga daerah.

Amanah yang pernah diembannya adalah anggota Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) PCM Laren 1995-2009, anggota PCM Laren 2000-2005, Wakil Sekretaris PCM Laren 2005-2010, Wakil PCM Laren periode 2010-2020, dan Anggota Majelis Pendidikan Kader (MPK) PDM Lamongan 2000-2010. Juga menjadi Anggota Majelis Tabligh (MT) PDM Lamongan 2010-2015, Ketua MT 2015-2020, dan Wakil Ketua PDM Lamongan 2022-2027. (#)

Jurnalis Slamet Hariadi Penyunting Darul Setiawan