Tagar.co

Home » Uang Abu-Abu
Uang Abu-Abu; Cerpen oleh Sayyidah Nuriyah, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Gresik.
Uang Abu-Abu; Cerpen oleh Sayyidah Nuriyah, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Gresik.
Uang Abu-Abu; (Ilustrasi freepik.com premium)

Uang Abu-Abu; Cerpen oleh Sayyidah Nuriyah, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Gresik.

Tagar.co – Penghitung mundur kian bergerak dari angka empat. Mustahil sebelum angka satu Ridwan bisa lolos dari lampu merah. Sementara masih ada empat mobil dan belasan motor di depannya. 

“Tiga, dua, satu! Tuh, benarkan perhitunganku. Nggak nutut. Astaghfirullah!” 

Ridwan menggerutu dalam hati sambil merasakan sengatan panas sang surya di jalanan ini. Motornya di barisan terdepan. Tak ada pohon rindang di tepi jalan bikin Ridwan dan para pengguna jalan lainnya merasa terpanggang.

Ridwan memang sedang tidak terburu-buru tapi ia tidak ingin berlama-lama di bawah terik siang itu. Pandangannya tak lepas dari kotak penghitung mundur. Kotak hitam tergantung pada tiang setinggi 3 meter di atas kepalanya ini membuat waktu terasa lebih lama. Masih 50 detik lagi rupanya ia perlu bertahan. 

Alunan musik jalanan angklung terus mengalun. Mereka memainkan melodi Tiket Suargo. Entah sejak kapan sekelompok musisi jalanan memainkannya. Yang pasti, sejak Ridwan tertahan lampu lalu lintas, mereka sudah kompak memainkan musik tepat di area kiri bahu jalan.

Langkah bocah berkaos sama dengan para pemain angklung pun perlahan mendekati pengendara motor di sampingnya. Tangan mungil menyodorkan kaleng. Si pengendara spontan melambaikan tangan membuat langkah kecilnya berlanjut ke pengendara di belakang. Ridwan terus mengamati dari spion. Lambaian tangan kembali didapati bocah. Ada yang lengkap dengan tambahan wajah sinis.

Duh. Degup jantung Ridwan jadi terdengar di antara riuh deru mesin kendaraan. Beri, tidak. Beri, tidak. Beri, tidak? Ia teringat ketika di dua lampu merah sebelumnya, berturut-turut memutuskan memberi selembar uang seribu rupiah. 

Pertama, kepada manusia silver. Remaja laki-laki yang hanya memakai celana pendek selutut, dengan sisa tubuhnya berlumur cat silver. Kedua, ibu yang menggendong bayi. Bayinya tertidur lelap meski panas menyengat. 

Sayang, di kantong motornya kini tak ada lagi persediaan uang untuk diberikan kepada sang bocah. Padahal Ridwan selalu berusaha menyisihkan sebagian uangnya untuk para peminta setiap kali berhenti di lampu merah. Kali ini ia lupa mengecek stok uang di motornya.

Berpindah dari spion, Ridwan melihat waktu penghitung mundur bergerak melewati 10. Butir keringat bermunculan di dahi dan punggungnya. Ridwan iba kepada bocah berkulit akrab dengan panas matahari ini tiba di hadapannya. 

Tangan Ridwan bergerak dari setir. Secepat kilat ia menyambar sebungkus keresek berisi nasi yang ia gantung di tengah kemudi motor. Mata si bocah mengikuti gerakan tangan Ridwan. Sepintas, rekah senyuman tergambar di wajah bulat telurnya.

Ridwan segera membuka simpul bungkusan keresek putih dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyangga bungkusan dari bawah, seolah memastikan di genggamannya adalah sebungkus nasi. Tangan kanannya cepat merogoh. 

Ridwan tersenyum saat menemukan koin seribu rupiah di bawah nasi bungkus makan siangnya. Sambil tersenyum lega, secepat mungkin ia serahkan koin tersebut pada bocah yang tatapannya bertahan pada nasi di tangan kirinya. 

Sebisa mungkin ia pura-pura abai terhadap si bocah yang menerima uang sambil terus melihat bungkusan nasi. Ridwan kembali menggantung di tempat semula. Ia heran kenapa si bocah tak juga beranjak. Senyum polosnya awet. Kurang bersyukur sekali anak ini, batinnya. 

“Aku harus tega. Nasi ini untuk makan siang nanti di rumah. Lagian aku sudah memberinya sama seperti anak-anak di lampu merah sebelumnya, kan?” lanjutnya bergumam di dalam hati. Bayangan istrinya yang mengidam nasi padang di rumah terlintas.

Sedetik kemudian, lampu hijau menyala. Bocah berlari ke tepi jalan. Klakson berlomba menyalak. Ridwan bergegas tancap gas agar para pengemudi motor di belakangnya berhenti menekan klakson. 

Dan, brakkk!

*

Ridwan akhirnya bangun. Tangannya meraba-raba. Dingin. Lembab. Aroma tanah ini tak asing baginya. Wangi aneka bunga juga tercium samar. 

Napasnya terhenyak kala ia mengingat sebuah truk menabraknya dari arah berlawanan. Ridwan satu-satunya korban kenekatan sopir truk menerobos lampu merah. 

Para pengemudi berebut mengerubunginya. Banyak yang menyodorkan ponsel untuk memotret atau merekam video. Satu di antaranya, musikus angklung, menyalakan ponsel untuk menelepon kontak darurat. Sementara sang bocah bergegas meminggirkan sebagian keping motor Ridwan yang terserak di tengah jalan. Ada pula beberapa pengemudi lain ricuh menahan sopir truk di bahu jalan.

Sejurus kemudian, aroma nasi padang lauk daging rendang ia rasakan. Ridwan tak tahu, calon makan siang istrinya terpental ke mana. Yang jelas, terlihat bagian depan motornya sudah menyatu dengan roda bagian depan truk. 

Lalu cahaya terang-benderang menyilaukan pandangannya. Ridwan tak sanggup membuka mata. Kala terpejam, netranya justru jelas melihat uang yang ia berikan langsung berubah. Awalnya warnanya memudar jadi abu-abu. Lalu perlahan fisiknya jadi abu. 

Manusia silver, ibu yang menggendong anak, maupun si bocah menggenggam abu itu hingga angin meniupnya. Lenyap. Juga kaum duafa lainnya yang pernah ia beri sedekah. Uang pemberiannya sirna.

Mata Ridwan seketika perih. Ia ingin mengucek matanya yang gatal tapi tangannya membeku. Embusan angin mendorong abu itu menyerbu penglihatannya. 

Pengawas konstruksi bangunan yang sudah bekerja belasan tahun ini membuka mulut mau berteriak tapi abu-abu langsung menyumpal mulutnya. Sesak. Ingin ia terbatuk, mengeluarkan partikel halus dari tubuhnya tapi justru semakin banyak partikel yang tersedot, mendesak masuk ke seluruh tubuh. 

Ridwan lanjut berhadapan pada peristiwa di mana ia tahu ada buruh yang mengaduk bahan bangunan dengan komposisi tak sesuai kesepakatan. Kualitas bahan yang digunakan sangat rendah. Ridwan membiarkannya karena dengan begitu ada tambahan uang yang mengalir di dompet pribadinya. 

Tiba-tiba, wajah sedih kedua anaknya yang kembar hadir. Mereka merengek minta mainan baru. Ia berjanji kepada mereka akan membelikan mainan usai gajian, sebagaimana janjinya kepada istri tercinta yang mengandung calon buah hatinya ketiga.

Semakin banyak pula tukang-tukang yang ia ajak gandeng sehingga bonus uang bisa mereka dapatkan. Ridwan diam-diam meraup semakin banyak uang proyek demi mewujudkan impian keluarga kecilnya. Namun sejurus kemudian ia bergidik ngeri melihat keluarganya membatu. Disusul rumahnya retak dan runtuh. 

Barulah ia merasakan tubuhnya menjadi abu. (#)

Penyunting Ichwan Arif.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *