Pramoedya Ananta Toer: Antara Pulau Buru, Lekra, dan Suara Penderitaan Rakyat
Banyak menjalani hidup dalam pengasingan selama pemerintahan Orde Baru tak membuat kreativitas menulisnya mati. Pulau Buru dijadikan sebagai ‘rumah’ berkarya dalam menyuarakan isi hatinya.
Tagar.co – Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan Indonesia yang menjadi musuh Orde Baru. Pramoedya Ananta Toer banyak menjalani hidup dalam pengasingan selama pemerintahan Orde Baru.
Karya-karyanya pun sempat dilarang terbit hingga dibakar karena dianggap bermuatan komunisme. Beberapa karya Pramoedya Ananta Toer yang terkenal adalah Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Gadis Pantai, dan Cerita dari Blora.
Lahir di Blora 6 Februari 1925, secara luas dia dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.
Dia merupakan anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semiotobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora.
Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, dia menghilangkan awalan Jawa “Mas” dari nama tersebut dan menggunakan “Toer” sebagai nama keluarganya.
Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Indonesia selama Pendudukan Jepang di Indonesia.
Baca juga: Penerima Nobel Sastra 10 Tahun Terakhir
Untungnya, sang ibu bersedia membiayai dan menyekolahkan Pram di Radio Vackschool (sekolah telegraf). Pram sebenarnya lulus dari sekolah telegraf, tetapi dia tidak sempat mendapat sertifikat kelulusan karena bertepatan dengan kedatangan Jepang ke Indonesia.
Saat Pram berusia 17 tahun, sang ibu meninggal, yang kemudian disusul oleh adiknya yang masih berusia tujuh bulan bernama Soesanti. Kemudian, dia harus menjadi tulang punggung keluarga karena sang ayah hobi berjudi.
Pada Mei 1942, Pram memutuskan hijrah ke Jakarta dengan membawa semua adiknya. Dia bekerja di Kantor Berita Domei untuk menafkahi dirinya dan adik-adiknya. Sembari bekerja, Pram meneruskan pendidikan di Taman Dewasa/Taman Siswa (1942-1943) dan mengikuti kursus di sekolah Stenografi (1944-1945), agar bisa menjadi juru ketik cepat dan menjadi stenograf.
Pada 1945, Pram kemudian menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Islam untuk jurusan filsafat, sosiologi, dan sejarah. Hidup penuh perjuangan di masa muda inilah yang kemungkinan membentuk Pram menjadi seorang sastrawan yang peka terhadap kepedihan dan kesengsaraan rakyat kecil.
Hidup penuh perjuangan di masa muda inilah yang kemungkinan membentuk Pram menjadi seorang sastrawan yang peka terhadap kepedihan dan kesengsaraan rakyat kecil.
Dia meniti karier militer hingga menjadi prajurit resmi berpangkat Letnan II dan ditempatkan di Cikampek dengan sekutu Front Jakarta Timur. Pada 1947, Pram kembali ke Jakarta melalui penyusupan.
Namun, dia kemudian ditangkap marinir Belanda pada 22 Juli 1947 karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah. Dia ditahan tanpa diadili di penjara Bukit Duri hingga 1949.
Selama menjalani karier militer hingga dipenjara Belanda, Pram aktif menulis cerpen serta buku. Karya pertama Pramoedya Ananta Toer adalah Sepoeloeh Kepala Nica yang ditulisnya pada 1946. Namun, naskah ini hilang di tangan Penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, pada 1947.
Baca juga: Han Kang, Novelis Korea Meraih Nobel Sastra 2024
Setelah terbebas dari tahanan Belanda, Pram bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka pada 1950-1951. Pada 1950, Pram menerima hadiah sastra dari Balai Pustaka untuk novelnya yang berjudul Perburuan.
Di tahun yang sama, Pram menikah dengan Husni Thamrin, seorang perempuan yang masih keluarga dekatnya. Setelah tidak bekerja di Balai Pustaka, Pram mendirikan dan memimpin Literary dan Fitures Agency Duta pada 1952-1954.
Pram juga sempat tinggal di Belanda sebagai tamu dalam program pertukaran budaya dari Sticusa (Yayasan Belanda Kerja Sama Kebudayaan) pada 1953. Pada 1956, Pram berkunjung ke Peking, Tiongkok, untuk menghadiri peringatan hari kematian Lu Sun. Di sanalah, dia mulai kagum dengan kejayaan Revolusi Tiongkok dalam segala bidang.
Bergabung Lekra
Bergabung Lekra, Pramoedya Ananta Toer bergabung dengan Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1958.
Keterlibatan di Lekra pun menjadi awal perselisihan Pram dengan para seniman yang tidak sealiran, terutama penanda tangan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang menentang PKI.
Gaya penulisan Pram juga berubah setelah bergabung dengan Lekra. Salah satunya terlihat dalam karyanya berjudul Korupsi yang merupakan tulisan fiksi untuk mengkritik pamong praja pemerintahan Orde Lama.
Tulisan-tulisan Pram yang memuat kritik keras ini kemudian menimbulkan friksi dengan pemerintahan Soekarno. Pada 1962, Pramoedya Ananta Toer menjabat redaktur Lentera. Dia juga bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publika, Jakarta, sebagai dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai.
Riwayat penahanan Setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S), kehidupan Pramoedya Ananta Toer menjadi semakin sulit. Sepanjang 14 tahun, Pram harus hidup sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
Baca juga: Eka Kurniawan dan Role Model Baru Sastra Indonesia
Dia mendapatkan pengalaman pahit saat ditangkap oleh gerombolan pemuda bertopeng tanggal 13 Oktober 1965. Pram disiksa, bahkan hingga pendengarannya rusak karena kepalanya dipukul dengan tommygun.
Pram kemudian dipenjara di Tangerang dan Salemba pada Oktober 1965 hingga Juli 1969. Pada Juli 1969 hingga 16 Agustus 1969, Pram kemudian diasingkan di Pulau Nusakambangan. Lalu, masa pengasingan Pram berlanjut selama 10 tahun di Pulai Buru mulai Agustus 1969 hingga November 1979.
Karya-karya di Pengasingan
Pramoedya Ananta Toer sebenarnya dilarang menulis selama masa pengasingan di Pulau Buru. Meski begitu, semangatnya untuk terus menulis tidak pernah padam. Bahkan, Pram berhasil menelurkan karya-karya terkenal selama ditahan di Pulau Buru. Salah satunya adalah Tetralogi Bumi Manusia.
Sebagian karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang terbit oleh Kejaksaan Agung karena dianggap bermuatan komunisme. Namun, di luar negeri, karya-karya Pram diterjemahkan dan beredar luas.
Baca juga: Taufiq Ismail Raih Anugerah Sastrawan Mastera dari Brunei Darussalam
Berikut ini karya-karya Pramoedya Ananta Toer selama berada di pengasingan:
- Bumi Manusia (1980); roman pertama Tetralogi Pulau Buru, dilarang Jaksa Agung, 1981.
- Anak Semua Bangsa (1981); bagian kedua Tetralogi Pulau Buru, dilarang Jaksa Agung, 1981.
- Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981).
- Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia (1982).
- Jejak Langkah (1985); bagian ketiga Tetralogi Pulau Buru, dilarang Jaksa Agung, 1985.
- Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985.
- Hikayat Siti Mariah, atas karya Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987.
- Rumah Kaca (1988); bagian keempat Tetralogi Pulau Buru, dilarang Jaksa Agung, 1988.
- Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
- Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995.
- Arus Balik (1995).
- Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997).
Penghargaan dan Kontroversi
Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai sastrawan yang produktif dan berani. Oleh karenanya, dia mendapatkan cukup banyak penghargaan selama menjalani karier sebagai penulis.
Berikut ini daftar penghargaan yang pernah diterima Pramoedya Ananta Toer:
- 1988 PEN/Barbara Goldsmith Freedom untuk Penghargaan Menulis.
- 1989 The Fund untuk Penghargaan Kebebasan Berekspresi, New York, USA.
- 1992 English P.E.N Centre Award, Great Britain.
- 1992 Stichting Wertheim Award, Netherland.
- 1995 Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, and Seni Komunikasi Kreatif.
- 1999 Doctor Honoris Causa dari Universitas Michigan.
- 1999 Chancellor’s Distinguished Honor Award dari Universitas California, Berkeley.
- 2000 Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres Republic of France.
- 2000 11th Fukuoka Asian Culture Prize. 2004 Norwegian Authors’ Union award untuk kontribusinya dalam dunia sastra dan perjuangannya untuk kebebasan berekspresi.
- 2004 Pablo Neruda Award, Chile
- 2005 Global Intellectuals Poll dari Prospect.
Salah satu penghargaan yang diterima Pram, yakni Ramon Magsaysay Award pada 1995, sempat menuai kontroversi dari kalangan sastrawan Indonesia.
Pemberian penghargaan kepada Pram ditentang oleh 26 tokoh sastra Indonesia yang menulis surat protes ke Yayasan Ramon Magsaysay.
Mereka menuntut pencabutan penghargaan untuk Pram. Alasannya, mereka menuding Pramoedya sebagai aktivis Lekra yang keras. Mochtar Lubis bahkan menyebut Pram adalah pemimpin penindasan terhadap sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Meskipun menuai kontroversi, tidak dapat dipungkiri bahwa Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan berpengaruh dalam dunia sastra Indonesia.
Dia banyak menyuarakan penderitaan rakyat dalam karya-karyanya. Pram masih aktif menulis hingga dia mengembuskan napas terakhir pada 30 April 2006. (#)
Jurnalis Ichwan Arif. Penyunting Mohammad Nurfatoni