Tim, Bukan Kelompok
Tim dibentuk oleh perbedaan yang datang dari berbagai potensi. Sedangkan kelompok menunjukkan adanya kumpulan orang sejenis.
Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.
Tagar.co – Adakah perbedaan antara tim dengan kelompok? Dalam sebuah kolomnya di Republika, 13 Januari 1997, Miftah Thoha, dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mencoba menelusuri (adanya) perbedaan itu.
Miftah penasaran oleh sebuah statemen seorang pakar pada sebuah seminar, yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidak akan bisa menang bersaing dengan bangsa lain. Alasannya, bangsa Indonesia tidak bisa bekerja dalam suatu tim. Mereka hanya bisa bekerja dalam kelompok.
Baca juga: Profesionalisme
Bagaimanakah sebenarnya tim, dan bagaimana pula kelompok? Miftah menjelaskan, tim merupakan peleburan dari berbagai keahlian, pengalaman, dan pemikiran banyak orang. Jadi, tim identik dengan perbedaan.
Sebuah tim dibentuk oleh perbedaan yang datang dari berbagai potensi. Ada ahli komputer, ada juga ahli fisika, ahli mesin, ahli hukum, ahli pemasaran, dan seterusnya.
Sedangkan kelompok menunjukkan adanya kumpulan orang sejenis, misalnya guru-guru membentuk sebuah persatuan, para dosen politik berserikat menjadi satu, penjual jamu gendong berkumpul menjadi satu, dan sebagainya.
Jadi, persamaanlah yang menjadi ikatan, bukan perbedaan, dan karena itu perbedaan bukan merupakan asas dari kinerja kelompok.
Implikasi
Apa implikasi selanjutnya dari perbedaan ciri-ciri dasar tersebut? Karena terdiri dari orang-orang yang berbeda, tim memiliki potensi konflik yang sangat besar. Tetapi, yang amat berharga dari perbedaan dan konflik itu adalah bahwa masing-masing anggota bisa menghargai kelebihan orang lain dan menyadari kelemahan sendiri.
Tim, memang, dimulai dari perbedaan, perubahan, konflik, dan tantangan. Ada perbedaan, tetapi perbedaan itu diarahkan untuk tercapainya tujuan bersama, sebab ada komitmen yang tinggi dari masing-masing anggota, terhadap tujuan bersama. Dan memang tim dibentuk dalam rangka mencapai sebuah tujuan kolektif.
Sementara pada kelompok, konflik sedapat mungkin dihindari, sebab yang diutamakan adalah keharmonisan dan kestabilan. Oleh karena itu, dalam kelompok kurang dirangsang timbulnya persaingan. Sebab persaingan akan menimbulkan keguncangan yang berarti mengganggu keharmonisan dan kestabilan.
Jika terdapat perbedaan, biasanya tidak akan muncul ke permukaan. Kalau pun muncul akan dianggap sebagai lawan. Dan lawan itu harus dikeluarkan dari kelompok. Dalam situasi seperti ini sulit untuk menciptakan perubahan di dalam kelompok.
Pilih Tim
Bagaimana keinginan Anda terhadap kumpulan orang-orang, yang Anda terlibat di dalamnya? Sebuah tim atau kelompok?
Jika mengacu pada organisasi masa depan, yaitu organisasi yang terjalin dalam jaringan kerja (networked), terhimpun erat (clustyered), tanpa hirarki (nonhierarchical), horizontal, atau tidak lagi mengikuti paradigma birokrasi (beyend the bureaucratic paradigms), maka pilihan tepat adalah tim.
Sebab pada tim, supremasi kerja individual dalam suatu organisasi bisa diatasi. Pada tim, yang diutamakan adalah tujuan bersama.
Kembali pada statemen bahwa bangsa Indonesia kurang bisa bersaing karena masih menerapkan kinerja kelompok, bukan tim, Miftah menjelaskan masyarakat kita yang dikenal guyub, kolektif, kekeluargaan menunjukkan kecenderungan sikap ke arah kelompok bukan tim.
Kita lebih senang bekerja berbarengan, ramai-ramai, kumpul-kumpul, menjaga keharmonisan, stabilitas, dan menghindari perbedaan.
Perbedaan lebih banyak kita curigai, bahkan kita posisikan sebagai lawan. Kita maunya serba seragam dan sejenis. Organisasi-organisasi, sebisanya kita tunggalkan.
Kita lebih suka menerapkan kinerja kelompok ketimbang tim. Padahal dalam permainan-pemainan (olah raga)—semisal bola sepak, bola basket, atau bola voli—kita selalu menerapkan kinerja tim.
Nah, tidak berminatkah kita mengubah kinerja kelompok menjadi kinerja tim. Toh, realitas kumpulan orang-orang kita sebenarnya adalah tim! Bukankah keragaman dan perbedaan-perbedaan menjadi realitas keseharian kita? (#)