Sikap tirani tidak melulu milik penguasa yang pongah. Rakyat jelata pun bisa bersikap sewenang-wenang dengan ‘kekuasaan’, sekecil apapun, yang dimilikinya untuk memaksakan kepentingannya pada orang lain.

Ilustrasi AI

Sikap tirani tidak melulu milik penguasa yang pongah. Rakyat jelata pun bisa bersikap sewenang-wenang dengan ‘kekuasaan’, sekecil apapun, yang dimilikinya untuk memaksakan kepentingannya pada orang lain.
Ilustrasi AI

Sikap tirani tidak melulu milik penguasa yang pongah. Rakyat jelata pun bisa bersikap sewenang-wenang dengan ‘kekuasaan’, sekecil apapun, yang dimilikinya untuk memaksakan kepentingannya pada orang lain.

Opini oleh Mohammad Nurfatoni

Tagar.co – Pernahkah kita mengalami kemacetan lalu lintas? Jika kita hidup di kota besar, semacam Jakarta atau Surabaya, barangkali kita sudah akrab dengan kemacetan lalu lintas.

Di sini saya tidak akan membahas problem kemacetan lalu lintas yang memang sangat kompleks dan ruwet itu. Namun ada satu cermin perilaku yang bisa kita lihat pada peristiwa tersebut.

Tenyata, jika kita mau bersikap jujur, ada satu sikap yang ditunjukkan oleh hampir setiap pengendara kendaraan bermotor, yaitu sikap berebut jalan, yang mengisyaratkan seolah-olah kitalah yang paling berhak dan benar.

Dalam situasi yang penuh kejengkelan itu, serta merta kita menuntut agar semua kendaraan minggir untuk memberi kesempatan kendaraan kita melaju. Dengan demikian kita menjadi orang yang tidak sanggup menghargai dan menghormati hak oang lain.

Cermin

Pertanyaannya, inikah cermin bahwa masyarakat kita adalah masyarakat guyub, yang memiliki semangat gotong royong?

Cermin kemacetan lalu lintas di atas, adalah sebuah ironi dari sikap toleransi yang biasa kita dengungkan. Ternyata jalanan adalah ajang demontrasi sikap-sikap individualistis kita.

Baca juga: Orang Baik yang Jahat

Mengapa sikap merasa benar dan paling berhak seringkali mengemuka dalam perilaku keseharian kita? Sekali lagi, jika kita mau jujur, hal itu tidak bisa dilepaskan dari konteks kepentingan (interest).

Bahwa kita mempunyai kecenderungan untuk melihat dan menilai sesuatu dengan kacamata kepentingan kita sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain.

Kita menyerobot jalan, karena kita merasa paling berkepentingan mengejar waktu. Seolah-olah kitalah yang paling dikejar-kejar waktu. Dan kita tidak pernah berpikir bahwa orang lain juga memiliki kepentingan yang sama.

Apa akibat lebih jauh dari sikap ini? Pertama, subjektivitas akan mendominasi dan selalu mendasari penilaian kita. Salah dan benar tidak berdasarkan objektivitas, tapi berdasarkan bisikan diri kita yang subjektif.

Kedua, subjektivitas buta itu akan menjadikan kita sebagai sosok yang tidak sanggup mengatakan putih itu putih. Kita tidak kuat untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Kita tidak mampu menunjukkan bahwa yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk.

Mengapa? Karena itu semua bertentangan dengan kepentingan kita. Inilah, yang dalam bahasa agama, dikenal sebagai hawa nafsu.

Jika faktor kepentingan ini sudah bermain, maka kita bisa menjadi buta. Dan ‘kebutaan’ kita itu menjadi tidak ketulungan saat kita mendapat kekuasaan.

Tirani Fir’aun

Dengan kekuasaan, Fir’aun bersikap tirani. Menolak kebenaran, dan sebaliknya menyosialisasikan kesalahan sebagai kebenaran. Dia mengatakan bahwa Tuhan itu bukan Tuhan, dan sebaliknya Firaun adalah Tuhan. Fir’aun hendak membutakan hati nurani masyarakat dengan mengatakan bahwa warna putih itu merah.

Tentu saja, kekuasaan bukan sekadar berarti jabatan. Kekuasaan bisa diartikan secara luas. Saat kita mendapat kekuasaan berupa kesempatan, sikap membabi buta pun bisa muncul. Koruptor-koruptor adalah ‘teladan’ terjadinya tirani kepentingan. Mengambil hak orang lain menjadi kebenaran, dan bersikap jujur adalah ‘kepalsuan’ baru.

Baca juga: Calon Tunggal Pilkada: Tirani yang Dibungkus Demokrasi

Karena itu kita diajari oleh doa: “Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku yang benar itu sebagai benar, dan berilah aku kemampuan untuk mengikutinya; serta perlihatkan kepadaku yang salah itu sebagai salah, dan berilah aku kemampuan untuk menghindarinya.”

Mengapa kita diajari doa yang demikian ini? Sebab jika tirani kepentingan menjadi ‘ideologi’ Masyarakat, akan terjadi chaos, kacau balau. Kebenaran bukan lagi kebenaran dan kepalsuan adalah kebenaran baru, sebab semua berlandaskan kepentingan yang subjektif. Hawa nafsu. “Dan seandainya kebenaran itu mengikuti keinginan (hawa) mereka (manusia), maka tentu hancurlah seluruh langit dan bumi serta mereka yang ada di dalamnya. “(Al-Mukminun/23:71).

Sejarah telah membuktikan, bahwa kehancuran antara lain dimulai dari subjektivitas dalam melihat yang benar dan yang salah. Dan itu tak lepas dari peran tokoh-tokoh yang diperbudak oleh tirani, tirani kepentingan. (#)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *