Pengalaman Dosen Singapura Mengajari Anaknya yang Autis Bisa Membaca, Ini Resepnya

0
Dosen Singapore University Social Science Dr. Eunice Tan sukses mengajari anaknya yang autis bisa membaca. Di UMM Autism Summit 2024, ia membagikan resep perjuangannya kepada 600 peserta.

Dosen Singapore University Social Science Dr. Eunice Tan (kiri) di UMM Autism Summit 2024. (Tagar.co/Sayyidah Nuriyah)

Dosen Singapore University Social Science Dr. Eunice Tan sukses mengajari anaknya yang autis bisa membaca. Di UMM Autism Summit 2024, ia membagikan resep perjuangannya kepada 600 peserta.
Dosen Singapura Dr. Eunice Tan (kiri) di UMM Autism Summit 2024. (Tagar.co/Sayyidah Nuriyah)

Dosen Singapore University Social Science Dr. Eunice Tan sukses mengajari anaknya yang autis bisa membaca. Di UMM Autism Summit 2024, ia membagikan resep perjuangannya kepada 600 peserta.

Tagar.co – Dosen Singapore University Social Science (SUSS) Dr. Eunice Tan menjadi pembicara di UMM Autism Summit 2024. Ia mendapat giliran bicara setelah Ketua Majelis PAUD Dasmen Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur Dra. Rachmi Aida, M.Pd dan Dokter RS UMM Dr. dr. Sulistyo Mulyo Agustini, Sp.PK.

Di hadapan 600 peserta dengan beragam latar yang duduk di kursi Basement Dome UMM, ia menjelaskan penelitian dan pengalaman suksesnya mengajari buah hatinya membaca. Perempuan berbaju merah itu mulanya menyamakan pemahaman, setiap anak punya minat dan bakat.

Dari pemahaman ini, ia melakukan studi bagaimana mengimplementasikan pendidikan yang berbasis kekuatan siswa. Dalam bahasa Inggris, ia mengungkap, studinya melibatkan 500 guru dari tujuh sekolah. 

“Penelitian saya mengungkap, hampir semua guru percaya bahwa penting untuk mengembangkan bakat siswa. Banyak guru meyakini itu ide bagus tapi mereka berpikir, kalau itu dilakukan akan lebih banyak pekerjaan bagi mereka,” terangnya, Kamis (3/10/2024).

Kurikulum Berbasis Kekuatan

Selanjutnya, ia menjelaskan strength based curriculum (kurikulum berbasis kekuatan). “Kurikulum ini bisa digunakan pada semua siswa. Baik reguler, normal maupun anak berkebutuhan khusus (ABK). Kurikulum ini bisa mengembangkan minat anak, penguatan, atau sebagai alat mengajar,” imbuh lulusan Master of Education University of Melbourne ini.

Eunice Tan lalu menerangkan individual education plan (IEP). “IEP biasanya berisi apa yang salah dengan komunikasi, self help (kemandirian), akademik, dan keterampilan sosial anak. Selalu bicara tentang apa yang anak belum bisa,” katanya.

Baca juga: UMM Autism Summit 2024 Libatkan Banyak Pihak

Pendekatan ini, lanjut Eunice Tan, sering melupakan apa minat anak. “Karena kita memaksa anak harus belajar ini itu, karena kamu kurang ini itu, tapi lupa apa minat dia. Padahal anak punya minat bakat dan kemampuan,” sambung dia.

Ia meluruskan, kurikulum ini tidak hanya fokus pada hal baik lalu mengabaikan kesulitan atau tantangan anak. “Kita tetap harus menghadapi dan mengatasi tantangan anak,” tegas alumnus Bachelor of Education University of British Columbia itu.

Pertanyaannya, apakah berarti akan menambah pekerjaan guru? Ia menegaskan tidak. “Asalkan tahu cara mengorganisasinya. Kita semua guru hebat,” ujarnya.

Terkait strategi, ia menyampaikan, untuk sebagian anak autisme, strategi penguatan seperti apresiasi, hadiah, dan stiker tidak efektif. “Untuk yang autis ringan mungkin masih bisa efektif,” kata Bachelor of Arts University of British Columbia itu.

Materi yang disampaikan dosen Singapura Dr. Eunice Tan (kiri) di UMM Autism Summit 2024. (Tagar.co/Sayyidah Nuriyah)

Pengalaman Sukses

Sebagai contoh lebih lanjut terkait strategi efektif mengajari anak autis, Ia berkenan membagikan pengalaman pribadinya. Pasalnya, Eunice Tan punya dua anak laki-laki. Anak keduanya mengalami autis parah.

“Hanya bisa bicara sedikit. Bisa menyebutkan benda apa. Tapi tidak bisa menjawab pertanyaan mengapa. Misal, mengapa kamu sakit,” terang Head of Special Education NSHD SUSS.

Ketika anaknya berusia sekitar 10 tahun, dia ingin mengajarinya membaca. Maka dia menghadirkan guru dan psikolog paling mahal untuk mengajari sang anak membaca.

“Selama dua tahun mereka coba mengajarinya membaca. Setelah dua tahun, mereka memberi tahu kalau anak saya juga mengalami disleksia,” kenangnya.

Eunice Tan sedih lalu menceritakan ini ke temannya. Temannya menduga, jangan-jangan yang diajarkan bukan sesuatu yang menarik perhatian anaknya, Cristopher.

Lalu dia pulang dan mencoba mengajarkan dimulai dari apa yang anaknya suka. “Anak saya suka cola. Selama dua pekan, saya tidak memberikan Coca Cola. Lalu saya menyajikan air dan Coca Cola,” ujarnya.

Kemudian, proses belajar dimulai. Eunice Tan bertanya kepada anaknya, “Berikan Coca Cola. Kalau Cristopher memberikan Coca Cola, saya berikan sedikit Coca Colanya. Setelah 1 jam proses belajar, dia bisa menjawab dengan benar,” ujarnya riang.

Setelah anaknya bisa membaca air dan Coca Cola, Eunice Tan mencari apalagi yang anaknya suka. Yaitu McDonald’s. Dia borong semua menu di sana. Lalu dia tulis kata-katanya.

“Aku berkata, berikan aku nugget lalu dia menunjukkan tulisan nugget. Aku ambil sedikit nugget lalu aku berikan nugget. Kalah dia salah, aku yang makan nuggetnya. Dalam satu siang, dia bisa membaca semua menu McD!” ungkapnya bersambut tepuk tangan meriah.

Eunice Tan menyadari anak bungsunya itu suka makan. Lalu dia memberikan menu makanan lainnya. Daftar menu dia berikan untuk mengajarinya bicara. “Sekarang dia bisa membaca selevel anak umur 10 tahun. Bisa membaca majalah, buku resep masak,” imbuhnya.

Tingkatkan Hidup Berkualitas

Dari pengalaman pribadi dan studinya, Eunice Tan menyimpulkan, kurikulum berbasis kekuatan tidak menyembuhkan autisme tapi memberikan hidup yang berkualitas.

“Sekarang dia tidak bisa bicara banyak. Tapi dia sudah bisa mengetik menu yang ingin dia makan. Kenapa kamu marah, dia bisa mengetik, seseorang menarik rambutku. Hari ini dia anak yang jauh lebih bahagia,” tegas lulusan Doctor of Philosophy in Special Education Nanyang Technological University itu.

Berikutnya, Eunice Tan mengajarkan hal lain kepada anaknya. “Dia tidak bisa memahami warna tapi dia suka kereta Thomas. Maka saya mengajarinya warna dengan memberikan kereta warna-warni. Kereta ini warna apa, kereta itu warna apa,” urai wanita yang pernah menjadi Guru, Kepala Sekolah, dan Perencana Kurikulum Ministry of Education (MOE).

Usai anaknya berhasil memahami warna dengan metode itu, Eunice Tan membawa anaknya ke London, ke taman bermain di mana ada banyak kereta Thomas. “Dia sangat bahagia,” kenangnya bersambut tepuk tangan meriah. (#)

Jurnalis Sayyidah Nuriyah Penyunting Mohammad Nurfatoni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *