RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara Disahkan, Rentan Dibatalkan MK
RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara disahkan DPR menjadi undang-undang. Pengamat menyebut mengandung empat cacat sehingga rentan dibatalkan MK.
Tagar.co – Meski hanya dihadiri 48 anggota, Rapat Paripurna DPR yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (19/8/2024), berhasil mengesahkan revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Undang-Undang Kementerian Negara menjadi undang-undang.
Wakil Ketua DPR RI, Lodewijk F. Paulus mengatakan jumlah peserta sudah memenuhi kuorum. “Menurut catatan dari Sekretariat Jenderal DPR RI, daftar hadir pada permulaan rapat paripurna DPR hari ini telah ditandatangani oleh 48 orang dan izin 260 orang dari 570 anggota DPR RI dan dihadiri oleh anggota dan dari seluruh fraksi yang ada di DPR RI,” ujar Lodewijk.
Apa yang Berubah di UU Wantimpres?
Setidaknya ada 8 poin yang diubah dalam revisi UU Wantimpres. Saat memberikan laporan di rapat paripurna, Ketua Baleg DPR RI, Wihadi Wiyanto mengatakan poin-poin perubahan sudah dibahas secara mendetail dan disepakati semua fraksi yang ada di DPR.
Perubahan pertama adalah perubahan nama lembaga dari Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Presiden RI. Sebelumnya, Wantimpres disebut-sebut bakal diganti jadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagaimana pada era Orde Baru.
Pada Pasal 7 ayat (1), komposisi Wantimpres RI diubah. Dari jumlah anggota yang hanya 9 orang, kini Wantimpres RI terdiri dari “seorang ketua merangkap anggota, dan beberapa anggota yang jumlahnya ditetapkan sesuai kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.”
Baca juga: Agak Laen, Nebeng Jet Pribadi ala Kaesang Pangarep
“Empat, syarat untuk menjadi calon anggota dewan pertimbangan presiden RI ditambahkan huruf g terkait tidak pernah dijatuhi hukuman pidana karena melakukan pidana yang diancam penjara lima tahun atau lebih,” ucap Wihadi.
Ketentuan pada Pasal 9 ayat (4) ditambah, yakni anggota Wantimpres RI merupakan pejabat negara. Keenam, rumusan Pasal 12 huruf b dan penjelasannya tentang pejabat manajerial dan non-manajerial yang disesuaikan dengan UU yang mengatur tentang ASN.
“Terakhir adalah penambahan rumusan lembaran negara dan tambahan lembaran negara pada Pasal 2 angka 2 dan 8 tentang ketentuan mengenai tugas dan peninjauan terhadap pelaksanaan UU,” jelas Wihadi, dikutip dari alinea.id.
Apa yang Berubah di UU Kementerian Negara?
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi alias Awiek mengungkapkan setidaknya ada enam poin revisi dalam UU Kementerian Negara yang baru. Pertama, penyisipan Pasal 6A yang isinya pembentukan kementerian tersendiri yang didasarkan pada sub urusan pemerintahan sepanjang memiliki keterkaitan ruang lingkup urusan pemerintahan.
Kedua, penyisipan Pasal 9A terkait penulisan, pencantuman, dan/atau pengaturan unsur organisasi dapat dilakukan perubahan oleh presiden. Ketiga, penghapusan penjelasan Pasal 10 sebagai akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011.
Pada penjelasan Pasal 10 UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wakil menteriadalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet. Realitasnya, presiden tak selalu mengangkat pejabat karier sebagai wakil menteri.
Keempat, perubahan Pasal 15 dan penjelasannya terkait jumlah kementerian yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. Kelima, perubahan judul Bab VI menjadi “Hubungan Fungsional Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Lembaga Non Struktural dan Lembaga Pemerintah lainnya.”
“Perubahan ini sebagai konsekuensi atas penyesuaian terminologi lembaga nonstruktural yang diatur dalam perubahan Pasal 25,” tutur Awiek, sapaan akrab Baidowi, dalam rapat paripurna.
Empat Cacat
Disahkannya dua RUU itu memanti reaksi akademisi, termasuk dari Guru Besar Hukum Tata Negara Prof Denny Indrayana. “Meskipun sekilas menguatkan prinsip hak prerogatif presiden dalam menyusun kabinet, serta kelembagaan Wantimpres, kedua RUU tersebut paling tidak mempunyai empat cacat, sehingga rentan dibatalkan di Mahkamah Konstitusi,” katanya dikutip dari akun X @dennyindrayana.
Pertama, cacat konstitusional, utamanya dengan menyatakan Wantimpres sebagai lembaga negara. Padahal, organ negara DPA (Dewan Pertimbangan Agung) sudah dihapuskan oleh perubahan UUD 1945, sehingga hanya menjadi lembaga eksekutif (executive agency), bukan lembaga negara, apalagi disejajarkan dengan organ konstitusi.
“Menyatakan Wantimpres adalah lembaga negara dengan segala fasilitas dan protokolernya, dapat bermakna bertentangan dengan konstitusi,” kata dia.
Kedua, cacat legislasi. Prosesnya yang kilat dan mengejar target, di akhir masa jabatan DPR dan Presiden, menyebabkan tidak adanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam proses pembuatan dua RUU tersebut.
“Padahal sudah jelas, MK membatalkan UU Ciptaker karena tidak adanya partisipasi yang bermakna tersebut,” katanya.
Ketiga, cacat etika bernegara, dua RUU kejar tayang di akhir-akhir masa jabatan Presiden dan DPR yang secara etika bernegara seharusnya tidak lagi layak menghasilkan keputusan-keputusan strategis, yang berdampak luas dalam kehidupan berbangsa, apalagi prosesnya sangat elitis, mengabaikan masukan dan kepentingan publik yang lebih luas.
Keempat, cacat demokrasi. Menurut Senior Partner Integrity Law Firm itu, kedua UU tersebut, mempunyai kesamaan karakter: diubah untuk memberikan kesempatan pemerintahan baru lebih mudah membagi portofolio alias posisi dan jabatan kekuasaan (distribution of powers and asset).
Di saatu sisi, lanjutnya, pembagian kue kekuasaan menguatkan koalisi pemerintahan, namun pada sisi yang lain, mematikan kekuatan oposisi. Padahal tanpa kontrol dan oposisi yang efektif, pemerintahan akan cenderung kolutif dan koruptif.
“Dua hal yang sangat membahayakan kehidupan demokrasi,” dia mengingatkan. “Terlebih demokrasi meniscayakan perbedaan pandangan dan sikap kritis terhadap kekuasaan.”
Karena empat cacat fundamental di atas, setelah diundangkan, kedua RUU tersebut layak diajukan uji formil dan materiil ke MK, dan terbuka peluang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. (#)
Mohammad Nurfatoni, dari berbagai sumber