Tagar.co

Home » Kisah Warga NU Dimuhammadiyahkan secara Massal oleh Pak AR
Pak AR ternyata pernah memimpin yasinan. Ceritanya unik. Bermula dari kebencian seorang tokoh pada Pak AR yang Muhammadiyah itu lalu menjadi persahabatan. Pak AR pun mendapat kepercayaan memimpin yasinan.

Kisah Warga NU Dimuhammadiyahkan secara Massal oleh Pak AR

Pak AR ternyata pernah memimpin yasinan. Ceritanya unik. Bermula dari kebencian seorang tokoh pada Pak AR yang Muhammadiyah itu lalu menjadi persahabatan. Pak AR pun mendapat kepercayaan memimpin yasinan.
Pak A.R. Fachruddin (suaraaisyiyah.id)

Kisah warga NU dimuhammadiyahkan oleh Pak AR tercatat dua kali. Di Ponorogo dan Jombang, Jawa Timur. Ini bisa menjadi teladan toleransi antarumat Islam Indonesia.

Tagar.co – Dua kisah berikut ini membuat Kiai Abdur Rozaq Fachruddin (1916-1995) dikenang sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah yang pernah ‘memuhammadiyahkan’ warga Nahdlatul Ulama (NU) alias nahdiyin. 

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1968-1990 yang popular disapa Pak AR itu, bahkan dua kali melakukan hal itu. 

Kisah Pertama

Di Ponorogo, Jawa Timur, Pak AR pernah salah alamat saat mengisi pengajian. Seharusnya  di Masjid At-Taqwa milik Muhammadiyah tapi Pak AR masuk ke masjid lain, yakni Masjid At-Taqwa milik warga NU yang juga tengah mengadakan pengajian. 

Meski salam alamat, Pak AR tetap disambut penuh hormat oleh takmir masjid. Saat warga Muhammadiyah menyusulnya, Pak AR meminta waktu mengikuti acara di masjid NU itu sampai selesai. Takmir masjid bahkan memaksa Pak AR sekalian menjadi imam salat Tarawih yang kemudian disanggupinya.

Baca juga: Menggemparkan, Kisah Surat Pak AR pada Paus Yohannes Paulus II

Sebelum memimpin salat, Pak AR bertanya kepada jemaah berapa rakaat. Jumlah 23 rakaat sesuai peribadatan NU pun disepakati. Akan tetapi, ternyata Pak AR mengimami salat Tarawih dengan tumakninah, menikmati setiap rukun dan pembacaan ayat-ayat Al-Quran secara tartil.

Setelah mencapai 8 rakaat dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan salat Tarawih NU 23 rakaat, Pak AR membalikkan badan dan kembali bertanya kepada jamaah.

Dos pundi Bapak-Bapak, diterusaken taraweh nopo langsung witir (bagaimana Bapak-Bapak, diteruskan tarawih atau langsung witir?),” tanyanya.

Ternyata semua jamaah NU itu serempak menjawab, “Salat Witir mawon (salat Witir saja).” Jawab jemaah sambil tertawa masygul. 

Kisah Kedua

Kali kedua Pak AR menjadi imam tarawih jamaah NU terjadi ketika dia mengunjungi Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur. 

Kisah ini sangat terkenal dan kerap diceritakan baik di kalangan lingkungan NU maupun Muhammadiyah. Pada kesempatan itu, Pak AR diamanahi mengisi ceramah sekaligus menjadi imam salat Tarawih. Yang meminta adalah Gus Dur. Menyanggupi permintaan itu, Pak AR pun izin kepada jemaah seperti biasa.

“Ini mau pakai Tarawih NU atau Muhammadiyah?” tanya Pak AR kepada jemaah.

“NU…..,” jawab ratusan jemaah kompak seolah-olah ingin menampilkan jati diri ke-NU-annya di depan tokoh Muhammadiyah.

Seperti biasa, Pak AR tersenyum. Dia lalu berbalik badan dan dengan tenang mengimami ratusan jemaah NU dengan cara salat yang tumaninah, pelan, dan dengan bacaan surat Al-Quran yang panjang.

Baca juga: 22 Tahun Pimpin Muhammadiyah, Pak AR Tak Punya Rumah

Dengan ‘cara Muhammadiyah’ itu, maka durasinya salat Tarawih 8 rakaat pun telah melampaui durasi salat Tarawih ‘ala NU’. Tentu saja, seketika itu ratusan jemaah NU gelisah.

Setelah salam di rakaat kedelapan, Pak AR berhenti dan memutar badan menghadap jemaah salat. Dia Kembali bertanya kepada jemaah.

“Ini mau dilanjutkan Tarawihnya cara NU yang 23 atau Muhammadiyah yang 11 rakaat?” tanya Pak AR terkekeh.

Sama dengan kisah pertama, para jemaah yang gelisah itu otomatis tertawa dan menjawab,

“Tarawih Muhammadiyah saja..,” sahut riuh dengan tawa bahagia sekaligus masygul. Lantas Pak AR memimpin salat witir tiga rakaat.

Selesai salat, Gus Dur bangkit dan berkata kepada para jamaah, “Baru kali ini ada sejarahnya warga NU di kandang NU dimuhammadiyahkan secara massal oleh seorang Muhammadiyah saja,” kata Gus Dur. 

Kisah ini bisa dibaca di Muhammadiyah.or.id. (#)

Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *