Tagar.co

Home » Kisah Mush’ab bin Umair, Pemuda Tampan yang Sukses Mengemban Tugas dari Rasulullah
Mush'ab bin Umair nama lainnya adalah Mush'ab Al-Khair, artinya Mush'ab yang baik. Para penulis sejarah biasa menyebutnya sebagai “Pemuda Makkah yang menjadi sanjungan semua orang”. 

Kisah Mush’ab bin Umair, Pemuda Tampan yang Sukses Mengemban Tugas dari Rasulullah

Mush'ab bin Umair nama lainnya adalah Mush'ab Al-Khair, artinya Mush'ab yang baik. Para penulis sejarah biasa menyebutnya sebagai “Pemuda Makkah yang menjadi sanjungan semua orang”. 
Ilustrasi Mush’ab bin Umair

Mush’ab bin Umair nama lainnya adalah Mush’ab Al-Khair, artinya Mush’ab yang baik. Para penulis sejarah biasa menyebutnya sebagai “Pemuda Makkah yang menjadi sanjungan semua orang”. 

Oleh Masro’in Assafani, M.A., Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Tagar.co – Di sela gegap gempitanya perjuangan dalam mendakwakan Islam, Rasulullah Saw terus mengibarkan panji Islam yang dipandu dengan wahyu oleh Tuhan Yang Maha Kuat. Dengan kekuatan wahyu dan Islam terus mendapat kekuatan, baik secara rohani maupun jasmani. 

Secara rohani adalah dengan menguatkan tauhid. Secara jasmani dengan adanya dukungan para pemuda yang tampil sebagai pembela sang Rasul. Maka di antara kisah yang begitu indah penuh romantika, ada kisah Mush’ ab bin Umair yang tampan dan gagah berani.

Mari kita nikmati kisahnya sebagai berikut, yang penulis ambil dari dari 60 Kisah para Sahabat Rasulullah, yang di tulis Kholid Muhammad Kholid.

Duta Islam Pertama 

Mush’ab bin Umair adalah satu di antara para sahabat Nabi Saw. Sungguh sangat indah jika kita mengetahui kisahnya. 

Dia seorang remaja Quraisy paling menonjol, paling tampan, dan paling bersemangat. Para penulis sejarah biasa menyebutnya sebagai “Pemuda Makkah yang menjadi sanjungan semua orang”. 

Dia lahir dan dibesarkan dalam limpahan kenikmatan. Bisa jadi, tak seorang pun di antara anak muda Makkah yang dimanjakan kedua orang tuanya seperti yang didapatkan Mush’ab bin Umair.

Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, selalu dielu-elukan, dan bintang di setiap rapat dan pertemuan, akan berubah menjadi tokoh dalam sebuah cerita keimanan dan perjuangan demi membela Islam? 

Sungguh satu kisah penuh pesona. Kisah perjalanan Mush’ab bin. Umair atau kaum Muslimin biasa menyebutnya “Mush’ab Al-Khair (yang baik)”. 

Dia adalah satu di antara orang-orang yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad Saw. 

Baca juga: Teriakan Cinta Samnun Pembohong

Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan seluruh umat manusia. 

Suatu hari, anak muda ini mendengar berita tentang Muhammad yang selama ini dikenal jujur. Berita yang juga mulai didengar oleh warga Makkah barwa Muhammad yang selama ini dikenal jujur itu (al-amin) menyatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Mengajak umat manusia beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.

Perhatian warga Makkah terpusat pada berita ini. Tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah Saw dan agama yang dibawanya. Tak ketinggalan anak muda yang manja ini. Dia terlihat sangat serius mendengarkan berita ini.

Meskipun usianya masih muda, ia menjadi bintang di setiap rapat dan pertemuan. Kehadirannya di setiap rapat dan pertemuan selalu dinanti. Gayanya yang memesona dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Mush’ab bin Umair yang mampu menyelesaikan banyak persoalan. 

Di antara berita yang didengarnya ialah Rasulullah bersama pengikutnya biasa berkumpul di satu tempat yang jauh dari gangguan orang-orang (Quraisy). Yaitu, di Bukit Shafa, di rumah Arqam bin Abul Arqam. Dia pun segera mengambil keputusan. Di suatu senja, dia bergegas ke rumah Arqam bin Abul Arqam. 

Di rumah itulah Rasulullah bertemu para sahabatnya, mengajarkan ayat-ayat Al-Ouran dan melaksanakan salat. 

Mush’ab masuk dan duduk di sudut ruangan. Dan, di sinilah perubahan akan dimulai. Ayat-ayat Al-Quran mulai mengalir dari hati Rasulullah. Bergema melalui kedua bibir beliau. Mengalir menembus telinga, merasuk ke dalam hati. 

Mush’ab terlena, terpesona oleh kalimat-kalimat itu. Dia terbuai, melayang entah ke mana. Rasulullah mendekatinya, mengusap dada Mush’ab dengan penuh kasih sayang. Dada yang sedang panas bergejolak itu akhirnya menjadi tenang dan damai, setenang samudra yang dalam. 

Setelah itu, hanya dalam waktu yang sangat singkat, pemuda yang telah masuk Islam ini berubah menjadi pemuda yang arif bijaksana. Jauh melebihi usianya. Ditambah lagi dengan semangat dan cita-citanya yang kuat. Semua itulah yang nantinya mampu mengubah perjalanan sejarah. 

Khunas binti Malik, ibunda Mush’ab, adalah seorang wanita yang berkeperibadian kuat. Ia seorang wanita yang disegani bahkan ditakuti. 

Ketika Mush’ab masuk Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakutinya selain ibunya sendiri. Bahkan, seandainya seluruh Makkah—termasuk berhala-berhala, para pembesar dan padang pasirnya berubah menjadi satu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya—Mush’ab tidak akan bergeming sedikit pun. Akan tetapi, jika ibunya yang menjadi penghalang, maka itulah rintangan yang sesungguhnya. 

Mush’ab segera mengambil keputusan untuk merahasiakan keislamannya sampai Allah memberikan keputusan yang terbaik. 

Mush’ab selalu datang ke rumah Arqam menghadiri majelis Rasulullah. Dia merasa bahagia dengan keislamannya. Bahkan, dia rela jika harus menerima kemarahan ibunya yang sampai saat ini belum mengetahui keislamannya. 

Tetapi di Kota Makkah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata-mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana. Mengintai setiap gerak dan langkah. 

Seorang laki-laki bernama Usman bin Thalhah, di satu waktu, melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam dengan mengendap-endap. Lalu di waktu yang lain dia melihat Mush’ab melakukan salat seperti yang dilakukan Muhammad dan para sahabatnya. 

Akhirnya, berita keislaman Mush’ab sampai juga ke telinga ibunya. 

Saat ini, Mush’ab berdiri di hadapan ibu dan sanak kerabatnya, serta para pembesar Makkah. Dengan hati mantap dia membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah membersihkan hati para pengikutnya. Mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, juga kejujuran dan ketakwaan. 

Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang bergerak cepat itu jatuh terkulai, saat melihat cahaya yang membuat wajah yang berseri itu kian berwibawa dan patut diindahkan. Cahaya yang menimbulkan ketenangan dan rasa pasrah.

Karena rasa keibuannya, Khunas binti Malik tidak jadi memukul putranya. Dia memikirkan cara lain untuk memberi pelajaran kepada putranya yang telah ingkar kepada tuhan-tuhan sesembahannya. 

Akhirnya, Mush’ab disekap di satu kamar, dikunci rapat dari luar. Untuk beberapa lama, Mush’ab terkurung dalam ruangan itu, hingga dia mendengar bahwa beberapa sahabat Nabi saw hijrah ke Habasyah.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Mush’ab. Dengan sedikit Strategi, dia berhasil mengecoh ibu dan para penjaganya. Ia berhasil lolos dari kurungan, lalu ikut hijrah ke Habasyah.

Dia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya sesama muhajirin, Lalu pulang ke Makkah. Kemudian ia pergi lagi hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya bersama para sahabat atas titah Rasulullah Saw. 

Baik di Habasyah maupun di Makkah, keimanan Mush’ab semakin mantap. Dia menapaki pola hidup baru yang diajarkan oleh teladannya: Muhammad Saw. Mush’ab sudah mantap kalau seluruh kehidupannya akan diberikan hanya untuk Sang Pencipta Yang Maha Agung. ‘ 

Pada suatu hari, dia menghampiri kaum Muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah Saw. Melihat penampilan Mush’ab, mereka menundukkan pandangan, bahkan ada yang menangis. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal. Padahal, masih segar dalam ingatan mereka bagaimana penampilannya sebelum masuk Islam. Pakaiannya ibarat bunga di taman, menebarkan aroma wewangian. 

Adapun Rasulullah, beliau menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Kedua bibirnya tersenyum bahagia dan bersabda, 

“Dahulu, tiada yang menandingi Mush’ab dalam mendapatkan kesenangan dari orang tuanya. Lalu semua itu dia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.” 

Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mushrab kepada berhala sesembahannya. Dia menghentikan segala pemberian yang biasa diberikan kepada Mush’ab. Bahkan, dia tidak mengizinkan makanannya dimakan orang yang telah mengingkari berhala-berhala itu, meskipun orang itu adalah anak kandungnya sendiri. 

Terakhir kali bertemu Mush’ab adalah saat hendak mencoba mengurungnya lagi, sewaktu Mush’ab pulang dari Habasyah. Mush’ab pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Mengetahui tekad putranya yang begitu kuat, maka sang ibu membatalkan niatnya. Keduanya berpisah dengan cucuran air mata. 

Perpisahan itu memperlihatkan kegigihan luar biasa dalam mempertahankan kekafiran, di pihak sang ibu, dan kegigihan yang juga luar biasa dalam mempertahankan keimanan, di pihak si anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah, “Pergilah sesuka hatimu. Aku bukan ibumu lagi.” Mush’ab menghampiri ibunya dan berkata, “Wahai Ibu, aku sangat sayang kepada Ibu. Karena itu, bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” 

Sang ibu menjawab dengan marah, “Demi bintang-gemintang, aku tidak akan masuk ke dalam agama itu. Otakku bisa rusak, dan buah pikiranku tak kan diindahkan orang lain.” 

Mush’ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang pernah dialaminya. Dia memilih hidup miskin dan kekurangan. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini hanya mengenakan pakaian yang sangat kasar. Sehari makan dan beberapa hari rela menahan lapar. Akan tetapi, jiwanya yang telah dihiasi akidah suci dan cahaya ilahi, mengubah dirinya menjadi seorang manusia yang lain. Manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani. 

Tugas ke Madinah

Sekarang, Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan tugas sangat penting: menjadi utusan Rasulullah ke Madinah. Tugasnya adalah mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Ansar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah di Bukit Agabah. Juga untuk mengajak orang lain menganut agama Islam, dan mempersiapkan Kota Madinah untuk menyambut hijrah Rasulullah ke kota itu. 

Sebenarnya, di kalangan para sahabat saat itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh, dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi, Rasulullah memilih Mush’ab Al-Khair (Mush’ab yang baik). Rasulullah sadar sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas sangat penting kepada pemuda itu. Menyerahkan kepadanya masa depan Islam di Kota Madinah. Kota yang tak lama lagi akan menjadi kota hijrah, pusat dakwah, tempat berhimpunnya penyebar dan pembela Islam.

Mush’ab memikul amanah itu dengan bekal kecerdasan dan akhlak mulia yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan keikhlasan, dia berhasil memikat hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.

Saat Mush’ab memasuki Madinah, jumlah orang Islam hanya 12 orang. Yaitu, orang-orang yang telah berbaiat di Bukit Agabah. Hanya dalam beberapa bulan, penduduk Madinah sudah berbondong-bondong masuk Islam. 

Pada musim haji berikutnya, kaum Muslimin Madinah mengirim rombongan yang mewakili mereka untuk menemui Nabi. Mereka berjumlah 70 orang yang dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair. 

Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa Rasulullah Saw tidak salah memilih orang. Mush’ab benar-benar memahami tugasnya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah mengajak manusia untuk menyembah Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Tugasnya seperti tugas Rasulullah: hanya menyampaikan. 

Di Madinah, Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zurarah. Dengan didampingi As’ad, ia mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan untuk membacakan ayat-ayat Al-Our’an. Menyampaikan “bahwa hanya Allah Tuhan yang berhak disembah” dengan sangat hati-hati.   

Ia pernah menghadapi peristiwa yang mengancam keselamatan diri dan rekannya itu. Tapi, dengan kecerdasan dan kebesaran jiwanya, ia berhasil mengatasinya dengan sangat baik. 

Suatu hari, ketika sedang berdakwah di tengah orang-orang suku Abdul Asyhal, tiba-tiba Usaid bin Hudhair, sang kepala suku muncul dengan menghunus tombak. Usaid muncul dengan kemarahan yang membuncah. Ada orang yang akan menyelewengkan penduduknya dari keyakinan mereka. Mengajak mereka meninggalkan tuhan-tuhan mereka dan beralih ke satu Tuhan. Tuhan yang sama sekali belum mereka kenal. Mengajak meninggalkan tuhan-tuhan yang tempatnya jelas, bisa didatangi, dan bentuknya kelihatan. Sedangkan Tuhan yang baru itu tidak bisa dilihat dan tidak bisa dijumpai. 

Tak ayal lagi, orang-orang Islam yang ada di tempat itu ketakutan. Akan tetapi, Mush’ab Al-Khair tetap tenang dengan air muka yang tidak berubah. 

Seakan hendak menerkam, Usaid mendekati Mush’ab dan As’adbin Zurarah. Dengan kasar ia berkata, “Apa maksud kalian datang ke kabilah kami ini? Apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tidak ingin nyawa kalian melayang.” 

Seperti tenang dan mantapnya samudra, laksana damainya cahaya fajar, terpancarlah ketulusan hati Mush’ab Al-Khair, dan bergeraklah bibirnya mengeluarkan kata-kata menyejukkan, “Mengapa Anda tidak duduk dan mendengarkan terlebih dahulu? Jika nanti Anda tertarik, Anda dapat menerimanya. Dan jika nanti Anda tidak suka, kami akan menghentikan apa yang tidak Anda sukai.” 

Allahu Akbar! Sungguh awal yang baik, yang tentu berakhir dengan baik pula. 

Usaid adalah orang yang bijak. Dan saat ini, ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Ia hanya diminta mendengar. Jika ia suka dengan apa yang dikatakan Mush’ab, maka ia akan membiarkan Mush’ab berdakwah. Jika ia tidak suka dengan ajaran Mush’ab, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kabilah dan masyarakatnya untuk mencari tempat dan masyarakat lain. Tidak ada yang dirugikan bukan?! 

“Baiklah,” kata Usaid. Lalu ia duduk dan meletakkan tombaknya. 

Mush’ab mulai membacakan ayat-ayat AlOur’an dan menguraikan dakwah yang dibawa oleh Muhammad saw. Bacaan dan uraian Mush’ab 

mengalir ke telinga Usaid, memasuki dada dan menerangi hati yang ada di dalamnya. Belum usai Mush’ab membaca dan memberikan uraian, tiba-tiba bibir Usaid bergetar dan berkata, “Alangkah indah kata-kata ini. Tidak ada satu kesalahan pun. Apa yang harus dilakukan orang yang mau masuk agama ini?” 

Serentak gema tahlil keluar dari bibir kaum muslimin “La ilaha illallah, Muhammadarrasulullah.” Tahlil terus bergema seakan ingin mengguncang dunia. 

Mush’ab berkata, “Hendaklah ia membersihkan pakaian dan badannya, lalu mengucapkan Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu mna Muhammadar rasulullah.” 

Usaid meninggalkan mereka beberapa saat, kemudian kembali dan air masih menetes dari rambutnya. Ia berdiri dan mengucapkan “Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.” 

Berita ini tersebar dengan sangat cepat, secepat cahaya. 

Sa’ad bin Mw’adz juga mendatangi Mush’ab. Setelah mendengar uraian Mush’ab, ia pun masuk Islam. 

Setelah itu, Sa’ad bin Ubadah juga masuk Islam. 

Masuk Islamnya tiga tokoh ini berarti pintu lebar bagi masuk Islamnya para penduduk Madinah. Mereka berkata, “Jika Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad Ubadah sudah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu?! Mari kita menemui Mush’ab dan menyatakan keislaman kita.” Kata orang, “Kebenaran itu terpancar dari setiap kata-katanya.” 

Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada tara. Suatu keberhasilan yang layak diperolehnya. Beberapa tahun kemudian, Rasulullah bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah.

Di pihak lain, orang-orang kafir Ouraisy semakin geram. Mereka menyiapkan kekuatan untuk melampiaskan dendam mereka terhadap kaum muslimin. Maka, terjadilah Perang Badar dan kaum kafir Ouraisy pun mendapatkan pelajaran pahit yang membuat mereka semakin kalap dan tidak waras. Mereka berusaha menebus kekalahan di Perang Badar itu. Kemudian tibalah Perang Uhud. Rasulullah berdiri di tengah barisan kaum muslimin, menatap setiap wajah: siapa yang sebaiknya membawa bendera pasukan? Ketika itu, terpilihlah Mush’ab Al-Khair. Ia maju dan membawa bendera pasukan dengan mantap. 

Peperangan berkobar dan berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah kaum muslimin melanggar perintah Rasulullah. Mereka meninggalkan posisi mereka di atas bukit setelah melihat pasukan musuh lari terbirit-birit. Perbuatan mereka itu secepatnya mengubah suasana. . Kemenangan berganti kekalahan. 

Tanpa di duga pasukan berkuda musuh menyerang pasukan kaum muslimin dari atas bukit. Pasukan Islam pun kalang kabut. 

Melihat barisan kaum Muslimin porak-poranda, musuh pun mengarahkan serangan ke Rasulullah saw. Mush’ab bin Umair menyadari

suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera pasukan setinggitingginya. Dengan suara lantang ia bertakbir, “Allahu Akbar”. Ia maju, menerjang, berkelebat ke sana kemari mengibaskan pedangnya. Ia ingin mengalihkan serangan musuh yang sedang tertuju kepada Rasulullah saw. Ia menyerang sendiri, namun terlihat seperti satu pasukan tentara. 

Sungguh, walaupun hanya seorang diri, Mush’ab bertempur laksana sepasukan tentara. Satu tangannya memegang bendera pasukan yang harus terus berkibar, dan tangan satunya lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Jumlah musuh yang dihadapi Mush’ab semakin banyak. Mereka semua ingin menginjak-injak mayatnya untuk mencapai Rasulullah. 

Marilah kita dengarkan apa yang diceritakan oleh saksi mata. Bagaimana saat-saat terakhir sebelum Mush’ab bin Umair gugur sebagai syahid. 

Ibnu Sa’d menyebutkan bahwa Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil berkata, “Ayahku pernah bercerita begini, “”Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera pasukan di Perang Uhud. Tatkala barisan kaum Muslimin porak-poranda, Mush’ab tetap gigih berperang. Seorang tentara berkuda musuh, Ibnu Oamiah, menyerangnya dan berhasil menebas tangan kanannya hingga putus. Mush’ab mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para Rasul.” 

Lalu, bendera itu ia ambil dengan tangan kirinya dan ia kibarkan. Musuh pun menebas tangan kirinya hingga putus. Mush’ab membungkuk ke arah bendera pasukan, lalu dengan kedua pangkal tangannya ia mendekap dan mengibarkan bendera itu, sambil mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh para rasul.” 

Orang berkuda itu menyerangnya lagi dengan tombak, menghunjamkannya ke dada Mush’ab. Mush’ab pun gugur, dan bendera pun jatuh.” 

Bintang para Syuhadak

Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Ia gugur setelah berjuang dengan gigih. Mengorbankan semua yang dimilikinya demi keimanan dan keyakinannya.

la merasa, jika ia gugur, akan sangat terbuka peluang untuk membunuh Rasulullah. Demi cintanya kepada Rasulullah yang tiada terbatas, dan kekhawatiran akan nasib Rasulullah, ia menghibur dirinya setiap kali pedang menebas tangannya, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh para rasul.” 

Kata-kata ini terus ia ulangi. Kata-kata yang kemudian hari menjadi bagian dari ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang akan senantiasa dibaca oleh kaum Muslimin.

Setelah pertempuran usai, jasad pahlawan gagah berani ini ditemukan terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang suci. Seolah-olah tubuh yang telah kaku itu takut menyaksikan bila Rasulullah ditimpa musibah. Karena itu, ia menyembunyikan wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang ditakutinya itu. Atau, ia merasa malu karena telah gugur sebelum bisa memastikan keselamatan Rasulullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan melindungi Rasulullah. 

Wahai Mush’ab cukuplah bagimu Sang Penyayang. Namamu akan selalu dikenang. 

Rasulullah bersama para sahabat mengitari setiap sudut medan pertempuran untuk menyampaikan salam perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya Mush’ab, bercucurlah air mata beliau dengan deras. 

Khabbab bin Arat menceritakan, “Bersama Rasulullah kami hijrah di jalan Allah, untuk mengharap rida-Nya. Pasti kita mendapat ganjaran di sisi Allah. Di antara kami ada yang lebih dulu meninggal dunia, dan belum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun. Mush’ab bin Umair adalah satu dari mereka. Ia gugur di Perang Uhud. Tidak ada yang bisa dipakai untuk mengafaninya kecuali sehelai kain. Jika ditutupkan mulai dari kepalanya, kedua kakinya kelihatan. Jika ditutupkan mulai dari kakinya, kepalanya kelihatan. Maka, Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan tutupilah kakinya dengan rumput idzkhir.” 

Betapa pun luka pedih dan duka mendalam menimpa Rasulullah karena Hamzah (paman beliau) gugur dan tubuhnya dirusak oleh orangorang musyrik, hingga bercucuran air mata beliau. Betapa pun penuhnya medan perang dengan jenazah kaum muslimin, di mana mereka semua adalah panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya. Betapa pun semua itu menggoreskan luka mendalam di hati Rasulullah, tapi beliau menyempatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas kepergiannya dan mengeluarkan isi hatinya. Rasulullah berdiri memandangi jasad Mush’ab bin Umair dengan penuh kasih sayang dan cahaya kesetiaan. Beliau membaca firman Allah, 

“Di antara orang-orang mukmin terdapat orang-orang yang telah menepati janji mereka kepada Allah.” (Al-Ahzab: 23) 

Ada kesedihan di mata beliau ketika melihat kain yang dipergunakan mengkafani Mush’ab. Beliau bersabda, “Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripada kamu. Tetapi sekarang ini, rambutmu kusut, hanya dibalut sehelai burdah.” 

Dengan kesayuan, Rasulullah melayangkan pandangan ke semua sudut medan perang dan ke arah para syuhada, kawan-kawan Mush’ab yang terbaring di sana. Lalu beliau bersabda, “Sungguh, pada hari Kiamat kelak, di hadapan Allah, Rasulullah akan menjadi saksi bahwa kalian adalah para syuhada.” 

Setelah itu, beliau memandang para sahabat yang masih hidup, dan bersabda, “Hai kalian semua, kunjungilah mereka, dan ucapkanlah salam. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tak seorang muslim pun, Sampai hari Kiamat kelak, yang mengucap salam kepada mereka, kecuali mereka akan membalas salam itu.” 

Ucapan salam untukmu, wahai Mush’ab. 

Tanbih, yang Menjadi Pehatian

  • Mush’ab adalah pemuda yang mampu meninggalkan kemewahan demi mengikuti Rosul SAW.
  • Mush’ab merupakan sosok pemuda tangguh dalam mempertahankan Islam
  • Mush’ab sebagai bentuk karakter pemuda yang mampu menepis kebekuan, kekolotan tradisi kemusyrikan menuju ketauhidan
  • Mush’ab pribadi yang siap dikucilkan ibunya dan memilih Tuhannya (Allah SWT).
  • Mush’ab bagian dari sekian banyak pemuda yang sukses mengemban amanah dakwah dengan kecerdasan dan kelembutan serta hikmah dengan sukses.

Catatan

  • Kisah di dalam romantika perjuangan Mush’ab bin Umar ini dapat menjadi keteladanan yang sangat indah dan berharga.
  • Keteladanan yang mengalir bagaikan aliran sungai dari hulu menuju muara yang memadukan pertemuan yang menggembirakan dengan surga tentunya.

Semoga Allah membimbing kita ked alam ampunan serta rahmat-Nya. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *