Tagar.co

Home » Jangan Biarkan Aku Kufur Nikmat
Ilustrasi Cerpen Jangan Biarkan Aku Kufur Nikmat
Ilustrasi Cerpen Jangan Biarkan Aku Kufur Nikmat
Ilustrasi cerpen Jangan Biarkan Aku Kufur Nikmat (Al-Grok X)

Dengan rombong ethek, Tama menyusuri gang-gang RT, dari dusun ke dusun. Demi Emil dan Tina, dia memeras keringat, dari satu rumah ke rumah lain menjajakan barang dagangannya.

Cerpen oleh Kamas Tontowi, Ketua Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani PDM Trenggalek dan Guru Bahasa Inggris MTsN 3 Trenggalek

Tagar.co – Tama adalah kepala keluarga. Bapak satu anak ini berumur tiga puluhan. Setiap hari berkeliling keluar masuk desa membawa rombong ethek, menjual sayur-sayuran dan makanan-makanan kecil demi mencari rezeki memberi nafkah keluarganya.  

Anak laki-lakinya masih SD kelas tiga. Namanya Emil. Anak yang memberikan semangat untuk terus berjuang mencari nafkah di masa sulit. Tina, istrinya, membantu keuangan keluarga dengan berjualan buah di depan rumah.

Rutinitasnya, dini hari mulai pukul tiga. Dia setiap hari berangkat ke pasar besar untuk mengambil sayur segar berebut dengan penjual sayur lain. Setelah mengambil sayur, dia membawa ke Pasar Pahing di dekat rumahnya.

Setelah menjajakan di Pasar Pahing, dia keliling kampung menjajakan sisa sayuran. Setelah dari pasar tersebut, dia sehari-hari menjajakan sayur keliling Desa Sonokeling. Dari rumah ke rumah, dari RT ke RT, dari dusun ke dusun.

Rutinitas lain, setiap malam Jumat, dia tidak lupa mengaji tafsir di Masjid As Syafi’i. Dia selalu membawa Al-Qurannya dalam tas.

Malam itu, dia duduk di pojok masjid, menyimak uraian uraian tafsir surat Al-Mulk dari ustaz Firman. Beberapa jamaah mengantuk, ada pula yang tertidur.

Sekali waktu, ada yang berusaha kuat menahan rasa kantuknya. Kebanyakan jamaah Masjid As Syafi’i adalah para petani. Mereka lelah setelah seharian berada di tengah sawah menggarap lahan.

Kelelahan seharian di sawah, ditambah halusnya hembusan kipas angin yang di pojok-pojok masjid, mata mereka semakin mengantuk hingga sebagian tertidur lelap.

Ustaz Firman tetap saja memberikan ceramah dengan tenang. Sekali-kali diberi lelucon agar suasana tidak membuat jamaah semakin mengantuk. Tama menyimak dengan tenang, sekali kali matanya sulit dikendalikan.

Rasa ngantuk lawan yang berat saat mengikuti kajian tafsir Kamis malam.  Maklum, Tama juga lelah setelah seharian menjual berbagai sayuran keliling kecamatan.

“Bacalah surat Al-Mulk setiap hari. Jika kita rutin membaca surat itu setiap hari, maka kita akan dilindungi saat berada di alam kubur,” jelas Ustaz Firman.

Selesai kajian tafsir, jamaah Masjid As Syafi’i salat berjamaah dan bercengkrama sebentar di emperan masjid sambil menikmati makanan ringan yang dibawa jamaah ibu-ibu. Setelah waktu menunjukkan pukul delapan lebih,  satu persatu jamaah pulang ke rumah masing-masing.

Tama pun harus segera kembali ke rumah bercengkrama dengan anak dan istri. Membantu anak mengerjakan tugas sekolah.

Cakrawala mentari mulai nampak. Ayam berkokok mengingatkan pagi akan segera datang. Malaikat beraktivitas mencatat siapa saja hamba-Nya yang bersujud di dini hari, yang menyisihkan rasa dingin, melawan kantuk, menepiskan malas, untuk bersujud kepada sang Pencipta.

Tama menuju pancuran wudhu di belakang rumah. Angin semilir terasa dingin dihembuskan setan agar menunda wudhu. Tama tak perduli. Dia segera berwudhu dan salat tahajud, meskipun hanya dua rakaat dan witir satu rakaat.

“Meskipun sebentar yang penting rutin,” pikirnya.

Sekitar pukul lima pagi, setelah salat subuh berjamaah, Tama mengayuh sepeda motor berjuang menjual berbagai macam jualan menyelusuri jalan-jalan di desa yang sebagian besar terdiri dari pegunungan.

“Sayuuuuuuur, sayuuuuuuurrr. Monggu Bu. Monggo sayuur,” teriaknya sambil memencet bel motornya.

Tumijah, ibu berumur empat puluh tahunan dengan memakai daster berdiri di depan rumah.

“Ma, ada apa saja?” tanyanya.

”Ada semua, Bu? Kenikir, jeruk, sawi, papaya, roti, gethuk,” jawab Tama.

”Oke, saya beli kenikir. Satu ikat berapa?” tanya Tumijah kembali.

”Dua ribu lima ratus.”

”Ohhh ini, uange tiga ribu.”

”Ini kembaliannya, lima ratus, Budhe.”

”Suwun cahh nggantheng.”

”Laris, laris, laris. Alhamdulillah,” ucap Tama bahagia.

Siti, pelanggan berumur setengah abad datang.” Ada sawi, Ma? Aku minta dua ikat.”

”Ada Mbak. Berapa yang dibeli?” Tama tanya.

”Dua ikat. Berapa?

”Sepuluh ribu.”

”Ini Ma. Pas.”

”Makasih, Mbak.”

“Iya, Ma. Sama-sama.”

Tama meneruskan perjalanan. Menuju rumah satu ke rumah yang lain hingga tak terasa waktu semakin terang. Terlihat beberapa anak-anak berseragam berkendaraan menuju sekolah, mencari ilmu.

Sekejap, Tama berhenti di pinggir jalan, melihat dan menghitung-hitung sayuran yang dijual yang masih banyak.

”Ya Allah, daganganku masih banyak. Apa yang harus kulakukan. Sementara ibu-ibu sudah memasak. Ya Allah mudahkanlah urusanku,” gumamnya dalam hati.

Rasa putus asa mulai menggerogoti hatinya. Rasa ngantuk danlelah tiba-tiba menyergap. Tama ingin mengambil dompet di tas. Tama membuka tas. Tangannya dimasukkan untuk mengambil dompet. Tiba-tiba dia memegang sesuatu di dalam tas, seperti sebuah buku.

“Ya Allah, Quran tafsir tadi malam masih di tasku. Bisa untuk membaca ulang tafsir Al-Mulk,” katanya dalam hati.

Tama membuka surat Al-Mulk. Mulai ayat pertama, lantas dibaca artinya. “Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Sekejap saja dia istighfar. “Astaghfirullah,” ucapnya berulang-ulang.

Al-Quran segera dia masukkan ke dalam tas. Menghidupkan lagi sepeda motor, melaju, memecet bel. “Sayur, sayur, sayur,” teriaknya.

Laju motor menderu menyusuri jalanan Desa Sonokeling. Terik terus membayangi dirinya. Peluh menempel di kening dan pipinya.

“Ya Allah, apapun di dunia ini Engkau Maha Kuasa. Jangan biarkan diriku kufur nikmat-Mu,” guman Tama dalam hati, ketika angin itu menerpa wajahnya. (#)

Penyunting Ichwan Arif

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *