Saat sang Cerpenis Stres
Sebagai cerpenis baru, aku selalu dihantui penggemar. Kala ide itu benar-benar mandek, bayangan pembaca cerpenku tiba-tiba mengetuk pikiran. Tiba-tiba, istri, anak, teman, staf kantor jadi sasaran.
Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur
Tagar.co – Sekarang giliranku menjadi bingung dan stres. Sebagai cerpenis baru, aku begitu bersemangat untuk menulis cerita.
Ide-ide cerita selalu hilir mudik di kepala dan segera kutuangkan dalam tulisan. Jari jemariku juga begitu lancar memukul-mukul tuts laptop untuk mengetikkan kata demi kata. Sambung menyambung menjadi kalimat dan akhirnya jadilah sebuah cerita penuh makna.
Begitu selalu. Tetapi tidak untuk saat ini. Pikiranku benar-benar buntu. Tidak ada apapun di kepalaku untuk kujadikan bahan tulisan.
Belum lama ini, aku menulis beberapa cerpen yang dimuat portal online. Setiap kali cerpenku terbit, aku membagikannya ke teman-teman di grup-grup WA dan di status. Sesekali kubagikan cerpenku di Facebook.
Aku senang cerpenku mendapatkan tanggapan langsung dari pembaca. Ada yang memuji dan ada juga yang mengkritik. Aku bahagia sekali saat kritik itu datang karena konon dengan kritik kita bisa tumbuh lebih baik.
Beberapa orang mengatakan bahwa ceritaku mengalir dan enak dibaca. Ada juga yang merasa deg-degan ketika membaca cerpenku tentang peristiwa yang mengerikan.
Ada yang mengatakan bahwa mereka menunggu cerpenku berikutnya. Yang paling teknis sastrawi, ada yang mengatakan bahwa plot twist yang kutulis sangat bagus dan kadang mengagetkan pembaca. Jadi, ending dari cerpenku benar-benar tidak terduga dan sangat menarik untuk dibaca.
Baca juga: Ayah Hampir Menjadi Perampok
Kebahagianku semakin menjadi saat cerpenku masuk ke deretan artikel yang populer di portal itu. Cerpenku sering bertengger di sana selama beberapa hari. Aku senang karena cerpenku diakses oleh ratusan pembaca.
Senang karena hobi menulis ini tersalurkan dan mendapatkan respon. Bahkan seorang teman menulis pesan kepadaku, “Salut dengan aktualisasi dinamismu.” Ini benar-benar memompa semangatku.
Jika ada orang yang merasa tersanjung mendapat pujian, akulah itu. Ini tentu membahayakan, aku sadari itu. Katanya, terlalu banyak sanjungan akan melenakan seseorang. Aku takut ini menjadi kontra produktif.
Maka, aku berusaha mengontrol diriku. Aku mengontrol rasa senangku terhadap pujian-pujian itu. Sebaliknya aku terus berusaha untuk menulis yang terbaik. Aku terus menggali ide-ide cerita.
Harus ku akui bahwa menulis cerita berdasarkan kisah nyata lebih mudah dibandingkan dengan cerita yang benar-benar fiktif. Namun kelemahannya, kadang-kadang cerita berdasar kisah nyata ini tidak selalu menarik, terbatas, dan habis.
Saat ide cerita ini habis, maka pikiranku berusaha untuk melanglang ke mana-mana guna mendapatkan ide. Tidak jarang aku mendapatkan ide cerita dengan cara berimajinasi ini.
Begitu dapat ide, aku segera tuliskan cerita itu. Bahkan aku harus menyelesaikannya dalam sekali menulis. Itulah caraku menulis cerpen. Sebab jika tidak segera ku tulis hingga selesai, aku bisa lupa atau tidak mendapatkan poin yang menarik dari cerita itu.
Saat inipun ada cerita-cerita yang mangkrak. Aku tidak dapat menyelesaikannya karena kesulitan mendapatkan klimaks dan antiklimaksnya. Jika demikian, alamat cerita itu tidak kulanjutkan.
Dari berbagai tanggapan yang masuk, aku memutar otak untuk menemukan cara agar banyak pembaca menunggu kehadiran cerpen-cerpenku. Akhirnya aku memiliki ide gila.
Idenya adalah aku mendata pelanggan cerpenku. Aku menawarkan kepada teman-teman yang berminat untuk ku kirimi link jika ada cerpen yang baru terbit. Untuk itu aku segera membuat Google Form untuk mendata mereka.
Baca juga: Pita Suaraku Rusak
Tidak butuh waktu lama, formulir selesai ku buat dan ku sebar di semua saluran. Formulir yang berisi informasi nama, alamat, dan nomor WA itu mendapatkan sambutan dari para pecinta cerpenku.
Aku menerima puluhan nomor WA pecinta cerpen yang bersedia dikirimi link cerpen-cerpenku. Aku bersemangat sekali mendapat respon seperti itu.
Tetapi, lama-lama aku menjadi bingung dan kepikiran. Cerpen apa lagi yang harus ku tulis? Begitu pecinta cerpen semakin bertambah jumlahnya, aku semakin tertekan. Mengapa tiba-tiba pikiranku buntu.
Jangankan soal plot cerita, klimaks, ataupun antiklimaks, ide cerita saja aku tidak berhasil mendapatkan. Sekali mendapat ide cerita, aku bingung melanjutkannya.
Aku mencoba mengekplorasi kejadian-kejadian di sekitarku. Aku yakin akan mendapatkan ide. Semakin aku mencari, semakin sulit ide-ide itu ku dapatkan. Aku berada pada situasi panik. Aku takut para pecinta cerpen itu akan menagih link jika terlalu lama aku menyelesaikan sebuah cerpen.
Aku mulai bertindak ngawur. Aku menginterogasi anakku yang masih SMA dan yang sudah kuliah. Aku bertanya kepada mereka mungkin ada peristiwa menarik di sekolah atau di kampus.
Aku juga menanyai istriku yang seorang guru. Mungkin di kantornya ada kejadian luar biasa. Jawaban mereka mengecewakan semua. Mereka mengatakan tidak ada yang menarik apalagi luar biasa di tempat mereka.
Di kantor, aku menanyai staf-stafku atau teman-teman yang lain. Aku bertanya mungkin di dalam keluarga mereka ada peristiwa penting yang layak diceritakan.
Baca juga: Ayah Kecil dan Benda Mirip Delima
Alih-alih mendapatkan jawaban yang memuaskan, mereka malah menertawakanku. Beberapa dari mereka mengatakan tumben saya bertanya-tanya soal itu. Lagi-lagi aku tidak berhasil. Ini meningkatkan intensitas panikku.
Tidak putus asa sampai di situ, aku mulai menghubungi teman-temanku, termasuk teman-teman lama. Teman sekolah, teman kuliah ku telepon satu per satu. Kepada mereka aku bertanya hal yang sama, yaitu peristiwa atau kejadian penting di sekitar mereka. Lagi-lagi tidak memuaskan.
Tetapi, di antara mereka ada seorang teman yang memiliki cerita agak menarik. Aku mulai senang. Harapanku untuk meperoleh ide cerita tumbuh kembali. Dia memiliki cerita yang bagus, yaitu ayah mertuanya yang sedang menderita stroke.
Cukup lama dia bercerita kepadaku soal sakitnya si mertua. Yang menarik adalah mertua itu minta anaknya, yaitu istri teman saya, untuk tinggal di rumahnya, merawatnya, dan membiayai pengobatannya.
Teman saya tidak ada persoalan dengan permintaan ayah mertuanya itu kecuali soal keharusan istrinya tinggal bersamanya. Sementara ibu mertuanya masih sehat dan tinggal di sana juga.
Bukankah si ayah paham kalau anaknya bekerja sebagai PNS di kota lain? Nah menurutku, di sinilah menariknya cerita itu.
Sayangnya, aku kesulitan untuk membuat kelanjutan cerita itu karena sesungguhnya peristiwanya belum selesai. Aku kesulitan untuk mengarang ending fiktif dari cerita itu. Lagi-lagi aku buntu dan semakin stres.
Kata istriku, akhir-akhir ini aku sering terlihat murung. Dia benar karena saya memang sedih dan tertekan dengan keadaanku. Mengapa pikiranku sebuntu ini. Semakin aku ingin segera menulis cerita, semakin sulit aku melakukannya.
Baca juga: Insomnia
Bayangan akan pecinta cerpen yang menanyakan cerpen terbaruku semakin menghantuiku. Mengapa aku seperti memikul tanggung jawab seberat ini. Lebih berat dari tugas dan tanggung jawabku di kantor.
Praktis, beberapa hari ini aku tidak berhasil menulis sesuatu pun. Terbersit dipikiranku untuk menyampaikan permohonan maaf kepada para pecinta cerpenku. Akan kukatakan bahwa karena sesuatu hal untuk sementara aku istirahat dalam menulis cerpen.
Tetapi niat ini kuurungkan karena akan aneh jika aku lakukan hal itu. Apa pendapat mereka tentangku nantinya. Kredibilitasku bisa turun, reputasiku bisa hancur.
“Mas,” kata istriku membuyarkan lamunanku di depan laptop. Aku kaget dan menoleh ke istriku yang sedang di belakangku.
“Kamu hanya perlu refreshing. Setelah pikiranmu segar kembali, ide-idemu akan keluar lagi. Kamu akan menulis lagi seperti biasanya,” sambungnya.
Mungkin istriku benar, batinku.
“Besok kita Yogyakarta!” seruku kepada istri yang menyambutnya dengan tawa gembira lalu memelukku.
Maklum, sudah lama aku tidak mengajaknya jalan-jalan. Istriku segera menyampaikan berita penting ini kepada anak-anak dan mereka menyambut dengan girang.
Hari pertama di Yogyakarta, aku mengajak semuanya ke Pantai Parangtritis. Di sana kami merasa senang dan segar kembali. Anakku yang perempuan sibuk berswafoto dengan ponsel barunya.
Sesekali dia berlari menjauhi pantai karena dia takut celananya basah kena air laut. Kakaknya hanya duduk-duduk dan memainkan ponsel. Kelihatannya dia sedang chatting dengan temannya.
Baca juga: Dorbok!
Masih di pantai, aku berkata kepada istriku, “Kamu benar. Saat pikiran kita segar, gagasan selalu muncul di dalam kepala.”
“Memangnya gagasan itu sudah muncul, Mas?” tanya dia.
“Ya, sudah dan kini membanjiri kepalaku,” kataku.
“Secepat itu?” tanya istriku lagi kaget campur heran.
“Ya, dan aku sudah siap menulis lagi malam ini di hotel.”
“Apa cerita yang akan kamu tulis, Mas?”
“Keresahan diriku sendiri selama ini. Hal-hal yang dekat dengan kita ternyata bisa dijadikan bahan cerita.”
“Oh ya,” kata istriku lagi sambil berkemas untuk kembali ke hotel.
***
Setelah puas rekreasi seharian, aku kembali ke hotel besama istri dan anak-anak. Setelah mandi dan makan malam bersama, aku mulai membuka laptop yang sengaja aku bawa dari rumah.
Dengan pikiran yang benar-benar segar dan isi kepala yang cukup banyak aku akan segera menulis. Aku harus cepat menulis sebelum ide itu keburu hilang atau terlupakan.
Aku sedikit kaget saat memencet tombol daya di laptop. Biasanya hanya dengan sekali tekan, laptop akan menyala. Kali ini aku mencoba menekannya agak kuat dan lama tetapi laptopku tetap bergeming.
Ku ulangi lagi dan lagi, hasilnya nihil. Ini pasti baterainya habis, pikirku. Berdiri aku dari tempat duduk. Aku menuju almari tempat aku menyimpan tasku.
Baca juga: Lurah Jadug
Aku menyimpan charger laptop itu di dalam tas. Kuambil dan aku kembali lagi ke meja. Setelah kutancapkan steker ke stop kontak dan ujung charger ke laptop, aku duduk kembali menghadap laptop.
Dengan lega aku mulai menekan tombol daya lagi. Tetapi, yang kudapati sama saja. Laptopku tidak mau menyala. Aku menyimpulkan jika yang bermasalah adalah laptopnya.
Akupun kembali pusing dan stres. Mengapa setelah aku memiliki banyak ide masih harus menghadapi kendala seperti ini. Hampir putus asa rasanya saat anakku memberi petunjuk.
Aku memberitahu istri dan anak-anakku bahwa aku berada dalam kondisi yang serba sulit. Silih berganti kendala menghadangku untuk berkarya membuat sebuah cerita pendek. Aku ungkapkan bahwa aku putus asa saat itu.
“Laptop rusak bukan segalanya, Yah” kata anak perempuanku tiba-tiba.
Perkataan anakku ini membuat aku merenung sejenak sekaligus berharap ada asa yang ku songsong. Karena, dalam kehidupan kami sehari-hari, anakku sering mengatakan ide-ide yang masuk akal, menarik, dan mudah diterapkan. Aku menunggu dia akan mengatakan apa.
“Kan Ayah bisa menulis di ponsel dulu, nanti disalin kalau laptopnya sudah bisa dipakai. Memang tidak bisa cepat sih,” lanjutnya.
Inilah ide yang sesunguhnya. Hadir di saat yang tepat. Aku tersenyum dan bangkit menghampiri putriku.
Kukecup keningnya dengan rasa sayang yang luar biasa. Bahkan, istriku sempat melirik tajam melihat kemesraan tersebut, tapi aku cuek dan tertawa. Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku mengikuti saran anakku untuk mengetik di ponsel.
Biarlah aku menghabiskan waktu lama, sebab jika tidak aku akan keburu kehilangan ide. Di ponsel, aku mulai menulis:
“Sekarang giliranku menjadi bingung dan stres. Sebagai cerpenis baru, aku begitu bersemangat untuk menulis cerita. Ide-ide cerita selalu hilir mudik di kepala dan segera kutuangkan dalam tulisan….” (#)
Lumajang, 30 Agustus 2024
Penyunting Ichwan Arif
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!