Tagar.co

Home » Koalisi Besar, Kartel Politik, dan Potensi Sewenang-wenang
Koalisi besar partai politik (parpol) berpotensi membuat kebijakan secara sewenang-wenang, serta mengabaikan aspirasi masyarakat dan oposisi yang jumlah suaranya atau kursinya kecil.

Koalisi Besar, Kartel Politik, dan Potensi Sewenang-wenang

Koalisi besar partai politik (parpol) berpotensi membuat kebijakan secara sewenang-wenang, serta mengabaikan aspirasi masyarakat dan oposisi yang jumlah suaranya atau kursinya kecil.
Koalisi besar. Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang berisi 12 partai politik saat mendeklarasikan Ridwan Kamil-Suswono sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta, di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin (19/8/2024). (Foto Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama)

Koalisi besar partai politik (parpol) berpotensi membuat kebijakan secara sewenang-wenang, serta mengabaikan aspirasi masyarakat dan oposisi yang jumlah suaranya atau kursinya kecil.

Tagar.co – Dalam aksi di Gedung MK tanggal 22 Agustus 2024 mendukung Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 muncul istilah kartel politik dari pernyataan sikap yang dibacakan Wanda Hamidah.

Kata kartel sering digunakan dalam dunia ekonomi dan bisnis yaitu suatu hubungan adanya kerja sama atau kolusi antara beberapa kelompok produsen atau perusahaan dalam hal melakukan produksi barang. Serta memasarkannya yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi penawaran dan persaingan.

Hukum antimonopoli melarang kartel di hampir semua negara. Meskipun demikian, kartel tetap terjadi dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal.

Baca juga: Anies Baswedan Ditinggal karena Tak Sefrekuensi dengan Presiden?

Pada praktik kartel, pelaku-pelaku usaha sengaja bekerja sama menentukan serta mengontrol barang dan jasa mulai dari produksi, distribusi, hingga harga. Praktik demikian jelas akan merugikan konsumen karena para pelaku usaha dapat menentukan harga secara sepihak sementara masyarakat konsumen tidak bisa berbuat banyak.

Kepanjangan tangan praktik kartel adalah penimbunan barang agar harga dari suatu barang dapat dipatok setinggi-tingginya. Dalam teori ilmu ekonomi, ketika barang langka, sementara di sisi lain permintaan barang tersebut tinggi, secara otomatis harga dari barang itu melambung tinggi.

Dalam Sorotan Fikih Islam

Fikih Islam menyebut penimbunan barang dengan ihtikar. Perilaku ihtikar sudah ada sejak masa kenabian Muhammad SAW.

Untuk melindungi pasar dan masyarakat dari praktik ihtikar Nabi membentuk tim khusus yang disebut dengan hisbahmuhtasib, atau anggota pengawas bertugas mengontrol harga barang yang beredar di pasar.

Ajaran agama Islam sangat membenci perilaku kartel, firman Allah dalam Al-Al-Quran:

كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ

“….harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (Al-Hasyr/59: 7)

Nabi Muhammad Saw bersabda:

لا يحتكر إلا خاطئ

“Orang yang melakukan ihtikar pasti dia berdosa.” (H.R. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Dari Al-Quran dan hadis di atas jelas bahwa syariat sangat mengecam kartel dan penimbunan. Maka dari itu para pelaku dituntun syariat agar memiliki kejujuran, rasa simpati kepada konsumen, mengedapankan kemaslahatan bersama daripada keuntungan sendiri atau kelompoknya saja.

Kartel Politik

Mengacu dari praktik kartel atau ihtikar dalam bidang ekonomi, praktik serupa dalam bidang politik dilakukan oleh partai-partai politik sebagai produsen. Produk dari partai-partai politik yang memiliki wakil di DPR dan DPRD adalah undang-undang dan peraturan daerah.

Partai-partai yang membentuk koalisi sangat besar alias jumbo, berpotensi membuat kebijakan secara sewenang-wenang, mengabaikan aspirasi masyarakat dan oposisi yang jumlah suaranya atau kursinya kecil.

Memasuki perhelatan pemilihan kepala daerah bulan November 2024 mendatang, tanda-tanda terbentuknya kartel politik sangat terasa. Sejumlah partai memilih membangun koalisi besar mengarah munculnya calon tunggal daripada mengajukan beberapa alternatif pilihan pemimpin daerah. Masyarakat yang menginginkan figur tertentu dipaksa gigit jari karena partai pengusungnya kekurangan jumlah ambang batas kursi. 

Baca artikel terkait: Rawon Jakarta Diborong 12 Parpol, Anies Kehabisan Jatah

Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 menjadi oase di padang gersang sulitnya mengajukan figur potensial sebagai calon kepala daerah. Dalam putusan yang dibuat pada Selasa, 20 Agustus 2024, MK memutuskan ambang batas pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. 

Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.

Sempat Dihambat

Putusan MK yang disambut antusias masyarakat sempat diganggu oleh DPR tepat sehari pascaputusan tersebut. Pada hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2024, Badan Legislai (Baleg) DPR menggelar rapat untuk membahas revisi UU Pilkada. Dalam rapat itu, Baleg menyatakan tetap menggunakan ambang batas 20 persen kursi di parlemen bagi partai politik yang hendak mengusung calonnya di pemilihan kepala daerah.

Reaksi DPR atas putusan MK mendapat reaksi balik dari sejumlah elemen masyarakat yang menggelar demonstrasi di Jakarta depan gedung DPR, MK serta di sejumlah kota Surabaya, Yogyakarta, dan lain-lain. 

Situasi demonstrasi yang melibatkan banyak elemen mahasiswa, aktivis, seniman, partai oposisi, dan lain-lain mengingatkan pada Reformasi 1998. Informasi sementara DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU Pilkada dan patuh pada putusan MK.

Agenda Reformasi ada harapan kembali menemukan jalannya setelah satu dekade terakhir dibajak kartel politik di DPR. Terlalu mahal biaya ekonomi dan politik yang akan dikeluarkan masyarakat jika kartel politik tidak segera diberantas.

Harga BBM, tarif dasar listrik, minyak goreng sampai beras pun ditentukan lobi politik di DPR. Yakni terkait besaran subsidi, pajak, retribusi dan biaya-biaya yang melekat pada produk barang-jasa dari tingkat produsen, distributor hingga di tingkat masyarakat sebagai konsumen akhir yang membayar.

Jika lobi-lobi politik dilakukan oleh oknum parpol yang membentuk kartel, bisa dipastikan keputusan yang dihasilkan jauh dari kata adil. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *