Ki Bagus Hadikusumo dan Cita-Cita Islam sebagai Dasar Negara
Ki Bagus Hadikusumo adalah anggota BPUPKI yang mengusulkan agar Islam menjadi dasar negara Indonesia. Usulan itu lalu mewujud dalam Piagam Jakarta. Tapi Ki Bagus pula yang menyetujui pencoretan tujuh kata. Sikap negarawan sejati.
Tagar.co – Sebagai anggota BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan agar Islam dijadikan dasar negara. Dalam pidato pada 31 Mei 1945, dia mengingatkan pengaruh Islam kepada rakyat Indonesia yang sangat kuat dan mendalam sehingga berani menentang imperialisme Belanda.
Ki Bagus yang menyebut dirinya sebagai “seorang bangsa Indonesia tulen” dan “sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka” mengharapkan agar Indonesia merdeka mendasarkan dirinya kepada agama Islam, sesuai dengan jiwa rakyat yang terbanyak.
Baca juga: Ki Bagus Hadikusumo, Pemimpin yang Hidup secara Kerakyatan
Bagi Ki Bagus, Islam paling sedikit memiliki lima nilai: (1). Mengajarkan perekonomian dan mengatur pertahanan negara, (3). Membangun persatuan atas dasar persaudaraan yang kukuh, (2). Mementingkan pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, (4). Tidak bertentangan bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita, dan (5). Membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala.
Ir. Sukarno yang berpidato keesokan harinya—dalam pidatonya yang legendaris itu—menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo tidak kurang dari sepuluh kali.
Tujuh Usul Dasar Negara
Patut diduga, lantaran kegigihannya menyuarakan Islam sebagai dasar negara, Ki Bagus Hadikusumo ditunjuk menjadi anggota panitia yang terdiri dari delapan anggota BPUPKI—karena itu bisa disebut Panitia Delapan.
Tujuh anggota lainnya ialah Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. A.A. Maramis, R. Otto Iskandardinata, Mas Soetardjo Kartohadikusumo, dan K.H.A. Wahid Hasjim.
Tugas Panitia Delapan ini ialah mengumpulkan usul-usul para anggota BPUPKI alias Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang akan dibahas pada masa sidang bulan Juli 1945.
Mengenai dasar negara, Panitia Delapan mencatat tujuh usul sebagai berikut: Pertana, Kebangsaan dan Ketuhanan. Kedua, Kebangsaan dan Kerakyatan. Ketiga, kebangsaan, Kerakyatan, dan Ketuhanan. Keempat, kebangsaan, Kerakyatan, dan Kekeluargaan. Kelima, kemakmuran hidup bersama, kemajuan kerohanian, kecerdasan pikiran bangsa Indonesia, bertakwa, berpegangan teguh kepada tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, Igama Negara ialah Igama Islam. Keenam, kebangsaan, Kerakyatan, dan Islam. Ketujuh, jiwa Asia Timur Raya.
Baca juga: Empat Macam Kemerdekaan, Sudahkah Dirasakan Bangsa Indonesia?
Ketika tujuh usul itu digodok oleh Panitia Sembilan (Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Mr. Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Haji Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, K.H.A. Kahar Mudzakkir, dan K.H.A. Wahid Hasjim); lahirlah Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukadimah Undang-Undang Dasar.
Dalam Rancangan Mukadimah itu, terdapat lima sila dari dasar negara kita: Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Beban di Pundak Ki Bagus
Sejarah mencatat, sesudah melalui perdebatan keras, hasil kerja Panitia Sembilan akhirnya diterima dengan suara bulat oleh sidang paripurna BPUPKI. Akan tetapi, riwayat ternyata tidak berhenti di situ.
PPKI yang pembentukannya diumumkan oleh pemerintah Jepang pada 14 Agustus 1945, ternyata mengutak-atik lagi hasil kerja BPUPKI yang menurut Bung Karno merupakan kompromi terbaik antara golongan Islam dengan golongan Kebangsaan.
Adalah Hatta yang tanpa cek dan ricek konon menerima informasi mengenai kaum Nasrani di Indonesia Timur yang tidak mau ikut Republik Indonesia jika rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak diubah, langsung membujuk kalangan Islam untuk merevisi kesepakatan BPUPKI.
Baca juga: Legenda Putri Sedudo dan Makna Kemerdekaan
Riwayat mencatat pula, kata putus perubahan kesepakatan itu akhirnya berada di tangan Ki Bagus. Dia menyetujui penghapusan anak kalimat “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, tetapi harus diganti dengan anak kalimat “Yang Maha Esa”.
Bersamaan dengan itu, Ki Bagus Hadikusumo meminta supaya anak kalimat “menurut dasar” yang terletak di antara “Ketuhanan” dengan “Kemanusiaan yang adil dan beradab dihapus, sehingga sila pertama Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bagi Ki Bagus, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid. Begitu juga bagi K.H.A. Wahid Hasjim, bagi Haji Agus Salim, dan bagi kaum Muslimin Indonesia. (#)
Mohammad Nurfatoni, sumber Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa, Lukman Hakiem, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, November 2020