SejarahUtama

Ki Bagus Hadikusumo, Pemimpin yang Hidup secara Kerakyatan

×

Ki Bagus Hadikusumo, Pemimpin yang Hidup secara Kerakyatan

Share this article
Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus Hadikusumo (Sumber foto: penulisjogja.com)
Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus Hadikusumo (Sumber foto: penulisjogja.com)

Ki Bagus Hadikusumo adalah pejuang kemerdekaan. Dia anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Anggota Delapan. Dia berprinsip pemimpin rakyat harus hidup secara kerakyatan.

Tagar.co – Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954) adalah pejabat penting Indonesia. Dia termasuk pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) 116/TK Tahun 2015,  Presiden Joko Widodo menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. 

Jejak perjuangan Ki Bagus antara lain, sebagai anggota Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan atau populer dengan nama Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di BPUPKI, Ki Bagus gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia.

Ki Bagus juga menjadi anggota Panitia Delapan bersama Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Mr. A.A.Maramis, R. Oto Iskandardinata, Mas Soetardjo Kartohadikusumo, dan K.H. A. Wahid Hasjim.

Tugas Panitia Delapan ialah mengumpulkan usul-usul para anggota BPUPKI yang akan dibahas pada masa sidang bulan Juli 1945. 

Baca juga: Ki Bagus Hadikusumo dan Cita-Cita Islam sebagai Dasar Negara

Mengetahui Ki Bagus adalah tokoh penting Indonesia, tak heran jika pemerintah Jepang mengundangnya ke Tokyo untuk menerima Bintang Ratna Suci III bersama Sukarno dan Hatta. Jepang tahu, siapa dan berapa banyak umat yang berdiri di belakang Ki Bagus yang merupakan tokoh Masyumi itu.

Mengutip Muhammadiyah.or.id, di Muhammadiyah Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih dan anggota Komisi MPM Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah (1926), dan Ketua Pengurus Besar (PB) Muham­madiyah (1942-1953).

Pejabat yang Sederhana

Meski menjadi penjabat penting, akan tapi Ki Bagus tetap menjalani hidup sederhana. Dalam majalah Hikmah yang terbit 18 September 1954, Buya Hamka mengungkapkan kesederhanaan Ki Bagus, sebagaimana Lukman Hakiem menceritakan dalam buku Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa.  

Bagi Ki Bagus, menjadi pemimpin rakyat harus hidup secara kerakyatan. Pendirian itu dia pegang teguh sampai akhir hayatnya, 2 September 1954.

Ketika anggota parlemen dari Masyumi yang juga Ketua Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PP GPII) R.H. Benjamin wafat, Masyumi meminta Ki Bagus menggantikannya. 

Namun sebagai pejabat negara, ternyata tak mengubah gaya hidup Ki Bagus. Ketika para koleganya membeli mobil, Ki Bagus tetap naik becak atau trem.

Anti-Protokol

Bukan hanya hidup bersahaja, menurut Buya Hamka, Ki Bagus juga antiprotokol-protokolan. Suatu ketika Presiden Sukarno mengundang pimpinan Muhammadiyah ke istana. Sukarno ingin meminta pendapat mengenai penyelesaian pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.

Seketika melihat Ki Bagus, Sukarno tergopoh-gopoh menyambutnya. Dia memeluk Ki Bagus sambil mengucapkan, “Oh Guruku!”

Tiba giliran bicara, Ki Bagus membuka kopiahnya lalu dia mengangkat kedua kakinya untuk duduk bersila di atas kursi empuk di depan Sukarno. Sambil duduk bersila, Ki Bagus berkata, “Kekuatan Indonesia ini terletak pada semangat tauhidnya umat Islam … Kalau Isam tidak kuat lagi, apalah artinya kekuatan Indonesia.”

Ditembak Gerombolan

Pada tahun 1953, Ki Bagus berangkat ke Jakarta untuk menghadiri sidang parlemen. Seperti basa, dia bepergian menggunakan moda transportasi kereta api.

Ketika Ki Bagus sedang enak tidur di dalam gerbong, kereta api dihadang gerombolan. Sebuah peluru melesat dan menembus kopiah Ki Bagus. Timah panas itu bersemayam di kopiah Ki Bagus dan membuat rambutnya hangus.

Penumpang gempar. Tapi ternyata Ki Bagus tenang-tenang saja. Dia membuka kopiahnya. Dia menghembus-hembuskan peluru itu, menggosok-gosoknya. Lalu pelan-pelan mencabut peluru itu dari kopiahnya. Sambil tersenyum, dia memasukkan peluru itu ke dalam wadah rokok kereteknya. 

“Itulah Ki Bagus,” kenang Buya Hamka. (*)

Mohammad Nurfatoni, dari berbagai sumber.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *