Dorbok!
Di daerah saya tinggal, istilah petrus disebut sebagai dorbok! Istilah ini tersusun dari dua kata yaitu dor dan bok yang merupakan bunyi-bunyian. Dor adalah bunyi suara tembakan, sedangkan bok adalah bunyi benda-benda jatuh.
Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur
Tagar.co – Di masa 1980-an, ayah berdagang obat keliling. Ayah selalu membawa sebuah tas yang tidak seberapa besar yang diisi dua hingga tiga stel pakaian: sarung, handuk, dan obat-obatan yang dijual.
Dia menjajakan dagangan dengan berkeliling di Desa Dadapan dan Watulumpang, Lumajang dan selalu menginap di rumah-rumah warga di sana. Ayah menjalani profesi ini belasan tahun hingga hafal betul setiap kelokan jalan, rumah-rumah penduduk, hingga batas-batas desa. Warga mengenal ayah sebagai orang yang bijak, berpendidikan, dan pemberani.
Bahkan suatu hari beberapa tokoh desa setempat menawari ayah jabatan kepala desa yang tentu saja ayah menolak.
Betapa tidak, ayah sering melakukan perjalanan di malam hari di desa pegunungan tersebut sendirian. Yang ditakutkan ayah bukanlah segala jenis makhluk halus seperti memedi, pocong, atau genderuwo.
Ayah juga tidak takut dengan penjahat seperti rampok ataupun begal. Hanya berbekal sebuah senter dua baterai, yang ayah takutkan adalah binatang buas seperti ular atau harimau.
Baca juga: Lurah Jadug
Masa itu, kondisi keamanan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pemerintah mengeluarkan kebijakan petrus, yaitu penembakan misterius dalam kurun waktu 1983-1985.
Penembakan dilakukan kepada para pelaku tindak kriminal seperti maling, begal, preman, dan sejenisnya tanpa proses peradilan.
Di daerah saya tinggal, istilah petrus disebut sebagai dorbok! Istilah ini tersusun dari dua kata yaitu dor dan bok yang merupakan bunyi-bunyian. Dor adalah bunyi suara tembakan, sedangkan bok adalah bunyi benda-benda jatuh.
Jadi penjahat yang ditembak dengan bunyi dor akan jatuh dengan bunyi bok. Begitulah kira-kira etimologinya.
Sebagai penjaja obat keliling yang sering melakukan perjalanan kaki di malam hari, ayah sangat mengenal dan hafal para penjahat yang sering beroperasi di desa itu. Namun demikian, mereka tidak pernah berbuat jahat kepada ayah, misalnya merampok atau membegal.
Malam itu, ayah hendak pulang karena sudah cukup lama ayah menginap. Pasti dia sudah merindukan keluarganya di rumah: ibu, saya, dan kakak. Pemilik rumah tempat ayah menginap, Pak Matarip, sempat melarang ayah untuk pulang karena perasaannya tidak enak.
“Pak Sifak, saya mohon Bapak menginap semalam lagi untuk keamanan,” kata Pak Matarip mencoba menghalangi kepulangan ayah.
“Saya benar-benar harus pulang Pak. Terima kasih,” jawab ayah sembari melempar senyum.
“Apa bedanya pulang besok pagi dengan sekarang, bukannya sama saja?” ujar Pak Matarip sekali lagi.
“Anak istri saya tidak bisa menunggu saya lebih lama lagi, Pak,” balas ayah bersikeras.
“Baiklah, hati-hati di jalan, Pak,” kata Pak Matarip melepas ayah.
Pak Matarip adalah orang yang sangat baik dan pernah menolong ayah saat kesulitan. Pak Matarip khawatir bukan berarti ayah seorang penjahat atau target operasi dorbok. Dia khawatir ayah menjadi korban salah sasaran peluru para petugas, mengingat ayah melakukan perjalanan di waktu yang rawan.
Baca juga: Solar Sopir
Di jalan setapak yang menurun, ayah berjalan dengan hati-hati. Meskipun pemberani, ayah tetap merasakan bahwa nyalinya dipermainkan oleh suasana malam itu, malam yang hitam dan mengerikan.
Udara dan pepohonan di sekitar ayah seolah berubah menjadi monster yang hendak mencengkeram ayah. Suara serangga mengolok-olok ayah yang mulai berkeringat. Benar saja, di sebuah belokan ayah dikejutkan seberkas sinar yang sangat terang menyorot wajahnya. Pandangan ayah menjadi silau. Seorang dari balik sinar itu berteriak.
“Siapa!!” serunya dengan nada yang mengintimidasi.
“Saya,” kata ayah keras dan tegas sambil mencoba memandang ke arah sekelompok orang itu.
“Oh, Pak Sifak toh,” begitu jawab orang yang ternyata mengenal ayah itu.
“Suhin, Ropik, kaukah itu?” tanya ayah.
“Ya, Pak,” jawab mereka.
Ayah juga mengenal orang-orang itu sebagai maling ternak karena suatu ketika dia memergoki mereka menuntun seekor sapi di pagi buta. Pembawaan mereka tidak bisa disembunyikan dari wajah-wajah sangar mereka.
Dengan senjata tajam yang mereka bawa, tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang kejam dan tega. Sebelum ayah meninggalkan mereka, Suhin berpesan pada agar ayah tidak melakukan perjalanan pada malam hari. Setelah basa-basinya cukup, ayah berpamitan pergi.
Hingga musim dorbok itu ayah mengenal dengan baik setidaknya tiga belas orang maling atau begal. Ini saking lama dan seringnya ayah bepergian di daerah itu pada malam hari. Ayah memiliki feeling yang tidak baik atas keselamatan mereka.
Baca juga: Lubang Kenikmatan dan Kesengsaraan
Hal ini diungkapkan kepada Pak Matarip saat dia datang lagi untuk menginap di rumahnya beberapa waktu kemudian. Malam itu ayah tidak langsung bertemu dengan Pak Matarip padahal hari semakin malam.
Istrinya mengatakan bahwa sejak kemarin Pak Matarip pergi ke rumah saudaranya di kota dan berjanji malam ini datang. Ayahpun menunggu sambil merokok dan minum kopi buatan istri Pak Matarip. Untungnya tidak lama Pak Matarip benar-benar datang. Setelah beberapa saat, mereka melanjutkan mengobrol di beranda rumahnya.
“Saya memiliki perasaan yang tidak enak dengan orang-orang itu,” kata ayah dalam perbincangan. Ayah merujuk orang-orang itu adalah maling-maling yang dikenal juga oleh Pak Matarip.
“Apakah di masa dorbok ini mereka dalam bahaya, Pak Sifak?” tanya Pak Matarip.
“Benar. Saya menduga tiga belas orang akan menjadi korban dorbok jika mereka masih beroperasi,” lanjut ayah yang kemudian menyebutkan nama ketiga belas orang itu. Baik ayah maupun Pak Matarip mengenal betul nama-nama yang disebut.
“Segawat itu ya?”
“Menurut berita memang demikian.”
“Adakah kemungkinan mereka selamat?”
“Ada, jika untuk sementara atau selamanya mereka berhenti beroperasi,” kata ayah mengakhiri percakapan karena tak lama mereka pergi tidur.
***
Pagi yang dingin dan berkabut, ayah, Pak Matarip, dan warga sekitar dikejutkan oleh berita adanya penemuan mayat. Dua sosok mayat yang posisinya berdekatan itu ditemukan di sebuah kebun kopi tak jauh dari permukiman warga.
Ayah dan Pak Matarip bergegas menuju tempat kejadian perkara. Kedua mayat itu mati tertembus oleh timah panas. Dilihat dari darah yang sudah mengering di sekitar luka mereka, rupanya penembakan itu terjadi 3-5 jam yang lalu.
Baca juga: Pintu Berkabut
Ayah dan Pak Matarip berpandangan, hati mereka kacau.
“Ropik, Suhin,” desis Pak Matarip hampir tak terdengar.
Pak Matarip terlihat pucat, mungkin juga ayah. Bagimanapun, mereka saling mengenal dengan baik. Ropik dan Suhin yang menjadi ramalan ayah, menjadi korban dorbok. Hari itupun ayah pulang siang karena merasa tidak tenang.
Ayah tinggal di rumah beberapa pekan. Selama berada di rumah, ayah menerima kabar ada beberapa penjahat tewas didorbok oleh petugas di beberapa lokasi. Ayah semakin galau karena di antara yang menjadi korban dorbok adalah maling-maling yang masuk dalam daftar ramalan ayah.
Setelah beberapa bulan, dorbok belum juga usai. Bahkan dorbok terasa lebih menggila. Ayah kembali menjajakan obat ke Watulumpang dan Dadapan. Setelah tiga hari berkeliling, ayah tiba di rumah Pak Matarip dan malam itu berniat menginap di sana. Ayah disambut gembira oleh sahabatnya ini.
Sebelum tidur, mereka kembali memperbincangkan dorbok dan ramalan ayah yang dinilai akurat oleh Pak Matarip. Selama ini dua belas korban dorbok telah meninggal. Tinggal satu orang yang masih hidup, yaitu Bunar.
Entah nasibnya bakal seperti apa. Sesekali Pak Matarip memuji ayah karena ramalannya itu. Ayahpun tersenyum tetapi juga menyesalkan mengapa mereka masih saja beroperasi padahal situasinya sangat gawat.
Kemudian dengan mimik yang cukup serius, Pak Matarip bertanya kepada ayah, “Pak Sifak, yakinkah bahwa korban dorbok hanya tiga belas saja?”
Agak aneh pertanyaan ini menurut ayah. Namun begitu ayah tetap menjawab, “Ya selama Bunar melanjutkan operasi, kemungkinan itu tetap ada. Memang mengapa, Pak Rip?” kata ayah, balas bertanya.
“Eh, tidak mengapa, Pak,” jawab Pak Matarip agak gugup.
“Bunar mungkin selamat Pak, karena kabarnya dia sudah lama berada di Banyuwangi dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,” lanjutnya.
“Oh ya, syukurlah,” ujar ayah.
Setelah itu ayah berpamitan tidur karena capek. Tak lama setelah merebahkan tubuhnya yang penat, ayah tenggelam dalam dunia mimpinya.
***
Pagi itu, ayah terbangun karena sorot sinar matahari yang menembus celah dinding bambu. Ayah keluar dari bilik, tetapi rumah masih sepi.
“Ah, rupanya mereka masih tidur,” batin ayah mengetahui rumah Pak Matarip masih sepi, tak ada aktivitas apapun di dalam. Kemudian ayah keluar rumah. Di luar, samar-samar ayah mendengar suara gaduh di kejauhan dan tak lama ada warga lewat sambil berkabar.
Baca juga: Ikhlas di Tepian Harapan
“Ada korban dorbok baru, Pak,” seru orang itu.
“Di mana korbannya?” tanya ayah singkat.
“Kebun pisang,” jawab orang itu sambil bergegas pulang.
Tanpa berpikir panjang, ayah langsung menghambur ke kebun pisang itu. Di jalan, dia teringat akan Bunar.
“Mengapa Bunar pulang dan kembali beroperasi?” tanya ayah pada dirinya sendiri sambil mempercepat langkahnya.
Begitu sudah berada di antara mereka dan melihat mayat dalam keadaan tengkurap, ayah bertanya, “Mayat siapakah ini?”
“Tidak tahu,” sahut warga.
“Tolong mayat ini dibalik,” pinta ayah kepada warga.
Dua orang mendekati mayat itu dan membalikkan posisi mayat. Begitu mayat itu telentang, bagai disambar petir ayah berseru, “Matarip!” (#)
Penyunting Ichwan Arif
Ceritanya menguras emosi, bikin sport jantung. Keren. Menghidupkan kembali sejarah kelam yg pernah ada di negeri kita.
Pada tahun 80 an, aku masih SD, pernah diajak bapakku melihat korban Petrus di desa sebelah. Aku masih ingat, korban Petrus itu 2 orang dengan perut gendut yang diberi tanda silang merah, terbujur kaki di sungai kecil (selokan), tanpa baju, hanya mengenakan celana pendek. Ngeri sekali.
Pada masa masa itu, jika bapakku keluar malam, aku selalu cemas dan gelisah. Takut terjadi apa apa dengan beliau, juga takut terjadi apa apa dengan kami yang di rumah tanpa adanya laki laki sebagai pengayom.
Cerita tahun 80an, menjadi bukti betapa kuatnya rezim pada saat itu. Pelanggaran HAM yg terjadi secara massive tanpa ada pengadilan. Negara dikendalikan secara represif. Petrus meliar dan terlindungi oleh penguasa. Bahkan (sepertinya) tidak ada sangsi, jika Petrus itu salah sasaran.
Seperti di cerita tsb, menyisakan berbagai pertanyaan dalam benakku. mengapa kok pak matarip? Apakah pak matarib orang yg jahat atau berbahaya? Apakah intelijen sdh bekerja dgn baik dan benar? ….
Kalau dulu orang yang pemberani dan disegani pasti dipilih jadi kepala desa. 👍 Pak Sifak pedagang yang pemberani dan disegani maling-maling desa. Lelembut pun nggak berani muncul di hadapan.nya.
Patut diteladani 👍