Lubang Kenikmatan dan Kesengsaraan
Selama hidupnya, Sudargo jauh dari agama. Dia pun tidak disukai tetangganya. Ketika meninggal dengan goloknya sendiri, kuburan pun menolak. Dua sosok menyeramkan datang dan menginterogasinya di dalam kubur.
Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur
Tagar.co – Aku mendengar langkah kaki dari kejauhan, makin lama makin dekat. Meski sudah terbiasa, aku tetap gelisah setiap kali mendengarnya. Orang-orang itu membawa cangkul, sekop, dan gancu.
Mereka mulai mengukur dan mencangkuliku, menggali lubang yang dalam. Setiap ayunan cangkul menambah kegelisahanku. Dari percakapan mereka, aku tahu bahwa Sudargo, seorang pekerja serabutan yang dikenal jahat, akan dikubur di sini.
Sudargo jauh dari agama. Jangankan beribadah di musala atau masjid, di rumah pun tidak pernah. Pada dasarnya sehari-hari dia memang tidak mengerjakan salat. Akhlaknya yang buruk membuat para tetangga dan kenalannya tidak menyukainya.
Ketiadaan Sudargo adalah kebahagiaan orang-orang karena mereka dapat hidup dengan tenang. Sudargo meninggal karena berkelahi dengan sesama orang jahat di pasar. Karena sebuah kesalahpahaman di antara mereka, Sudargo berusaha membunuh lawannya dengan golok.
Tetapi sayang, lawannya kali ini bukan orang sembarangan. Orang itu ternyata pemberani dan mahir berkelahi dengan senjata tajam. Alih-alih membacok, Sudargo berhasil dikuasai oleh orang itu.
Dengan gerakan sekejap, golok Sudargo sudah berpindah tangan. Dengan golok tersebut orang itu membacok Sudargo ke arah pangkal lehernya sehingga membuat luka menganga yang terlalu parah untuk terselamatkan. Sudargo meninggal di tempat.
Baca juga: Sopir Solar
Mendengar percakapan itu aku pun bergidik. Pasti sebentar lagi aku akan melihat pemandangan yang sangat mengerikan. Pemandangan itu akan bermula saat jasad Sudargo nanti direbahkan pada diriku yang sudah menjadi liang kubur.
Sebenarnya aku tidak pernah sanggup melihat pemandangan itu, tetapi sudah takdirku harus menjadi saksi penyiksaan di dalam diriku terhadap orang-orang yang semasa hidup melakukan keburukan.
Sebaliknya, beberapa hari lalu aku sempat gembira saat jasad seorang nenek dikuburkan di sini. Begitu orang-orang pergi, aku berubah menjadi ruangan yang luas, terang, dan harum. Wajah nenek itu berubah menjadi muda dan cantik, ditemani amal saleh yang mengajarinya menjawab pertanyaan. Senyum tenangnya menunjukkan kebahagiaan.
Benar saja, tidak lama kemudian datanglah dua sosok tamu yang penampakan fisiknya sangat menyeramkan. Aku yang sering melihat kehadirannya selalu saja merasa keder dan takut bukan main.
Kalau aku manusia, mungkin aku akan pingsan seribu kali. Tidak ada makhluk seseram itu pikirku. Dua makhluk itu besar, yang satu hitam yang lainnya biru, berambut panjang, wajahnya menampakkan murka, bertaring, napasnya bagaikan badai angin, suaranya bagaikan halilintar.
Baca juga: Pintu Berkabut
Dia menanyai perempuan cantik itu. Betapa senangnya aku menyaksikan bahwa perempuan itu dapat menjawab dengan benar dan lancar seluruh pertanyaan dua makhluk menakutkan tadi.
Tak lama kemudian, dua makhluk itu pergi meninggalkan perempuan itu bersama amal salehnya. Sekarang aku melihat dia tertidur di kasurnya dan tinggal di lubang kenikmatan ini dalam waktu yang sangat lama.
Kata orang-orang yang menggaliku saat itu, perempuan cantik tersebut adalah seorang nenek yang bersahaja dan hidup di dunia dengan sangat pas-pasan. Hidup sebatang kara, nenek itu datang ke musala yang tidak jauh dari rumahnya lima kali dalam sehari untuk menunaikan salat berjamaah.
Dia menerima santunan, pemberian, zakat, sedekah dari banyak orang atau lembaga. Tetapi dia juga suka beramal jariyah seperti memasukkan uang ke kotak amal di musala. Dia juga sering memberi uang kepada orang yang datang meminta-minta ke rumahnya, termasuk para pengamen muda yang gagah-gagah.
Kebiasaannya yang lain adalah memberi makan kucing-kucing tetangganya yang selalu datang di pagi maupun sore hari. Seperti sore itu, saat perempuan renta itu hendak makan dengan ikan goreng, ada seekor kucing datang memelas.
Baca juga: Ikhlas di Tepian Harapan
Terlihat, kucing itu seperti kelaparan, mengiba, dan mengeong. Kucing itu memang acap datang ke rumah perempuan itu. Tidak tega melihat kucing itu, perempuan tua itu memberikan ikannya untuk si kucing.
“Lapar sekali kamu ya? Nih, makanlah ikan nenek,” ujar nenek itu sembari meletakkan semua ikannya ke piring plastik lalu menyodorkan ke kucing itu.
“Meong…!” sahut si kucing kegirangan.
Dengan lahap si kucing menyikat habis ikan goreng satu-satunya milik si perempuan itu. Sesekali dia mengeong dan kali ini dengan suara yang lebih keras, pertanda dia sudah kenyang.
Selain itu, berkata-kata baik serta suka membantu tetanganya adalah ciri yang melekat pada perempuan itu. Hanya itu yang sempat aku dengar karena saat itu para penggali kubur keburu selesai dan jasad itu datang lalu dikubur di lubangku.
Berbeda dengan nenek, penggalian kubur Sudargo penuh masalah. Saat baru mencapai kedalaman pinggang, mereka menemukan batu cadas yang keras. Mereka mendatangkan tukang gali dengan alat yang lebih baik dan akhirnya menggunakan mesin untuk menghancurkannya.
Tiba-tiba, air merembes keluar dari dinding, menggenangi lubangku. Mereka berusaha menguras air, tapi genangan tetap bertambah hingga meluber, membuat mereka menyerah dan meminta bantuan. Mereka membutuhkan mesin pompa air.
Baca juga: Membunuh si Sembilan Nyama
Para penggali kubur itu menuduh aku tidak mau menerima jasad Sudargo.
“Lihat, kuburan saja tidak mau menerima Sudargo,” ujar salah seorang dari mereka. Mereka menyebutku kuburan.
“Kalau aku jadi kuburan, orang-orang seperti Sudargo tidak akan saya perbolehkan masuk apa lagi tinggal di dalam selamanya,” sahut yang lain.
“Kalau aku, orang seperti dia akan kugencet dan kutindih pakai batu di dalam,” timpal yang lainnya lagi.
Percakapan mereka terhenti saat mesin pompa air sudah tiba. Tanpa banyak bicara mereka segera menghidupkan mesin itu dan mengulurkan selang penyedot yang besar itu ke lubangku.
Sementara, selang pembuangan mereka arahkan ke tempat yang lebih jauh. Lama-lama air yang menggenangiku berkurang dan hampir mencapai dasar lubang. Tetapi, mereka merasa aneh ketika air itu tidak kunjung surut sampai kering.
Selalu ada yang mengalir dari dasar maupun dindingku. Lama-lama air terjaga kedalamannya sampai setinggi lutut para penggali itu. Meskipun mesin penyedot itu terus bekerja, kedalaman air tidak berkurang. Akhirnya mereka menyerahkan kondisi ini pada keluarga Sudargo.
Keluarga Sudargo meminta saran para sesepuh dan tokoh agama di lingkungannya. Mereka sepakat menguburkan Sudargo dengan keadaan seperti itu. Aku sendiri heran, dari manakah datangnya air itu. Belum pernah selama ini jasad dikuburkan di lubangku ini dalam kondisi tergenang air.
Baca juga: Pemuja Komunis
Ini menambah kecemasanku. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi. Aku benar-benar takut dan aku menyesal mengapa tidak dapat bersembunyi atau menghindar dari pemandangan yang menakutkan itu.
Dari para penggali itu aku mendengar kabar bahwa jasad Sudargo sudah diberangkatkan dari rumah duka. Cuaca yang tadinya cerah kini berubah menjadi mendung tebal dan segera hujan.
Langit gelap menggantung, butiran air mulai menimpaku dan angin bertiup kencang. Para pemikul keranda berjuang melawan hujan deras dan angin kencang. Hampir-hampir mereka menyerah.
Cuaca yang menakutkan itu membuat para pelayat kabur untuk menyelamatkan diri. Akhirnya, hanya Pak Modin, keluarga Sudargo, pemikul keranda, dan penggali kubur yang datang ke tempatku. Mereka memasukkan jasad Sudargo ke lubangku dan buru-buru menutupnya kembali dengan tanah.
Akupun sudah tidak dapat lagi melihat orang-orang di atasku karena lubangku sudah tertutup kembali, hanya aku masih dapat mendengar percakapan mereka. Setelah pengurukan selesai, mereka memasang batu nisan yang telah diberi teks nama SUDARGO dan membuat gundukan tanah di pusara itu.
Sebelum mereka meninggalkan aku dan Sudargo, Pak modin membacakan doa-doa dan memberikan contoh-contoh pertanyaan dan jawaban malaikat yang akan bertanya di dalam kubur.
Setelah itu mereka pulang. Aku semakin gelisah tiada terkira begitu pelayat terakhir sudah meninggalkan tempatku.
Aku menggigil. Ruanganku berubah menjadi kolam air panas yang berbau dan gelap. Sudargo berusaha bangkit, menjerit memilukan. Dua sosok menyeramkan datang dan mulai menginterogasinya.
Sudargo terus menjerit kesakitan tanpa bisa menjawab. Geram, dua sosok itu memukul tubuhnya dengan palu godam. Tubuh Sudargo melesak dan muncul kembali, dipukul lagi, melesak lagi, disiksa selamanya.
Dia akan tinggal di lubang kesengsaraan ini sampai nanti. Aku tak sanggup melihat adegan mengerikan itu, tapi harus terus menyaksikan sampai semua manusia dibangkitkan kembali untuk digiring ke Padang Mahsyar. (#)
Penyunting Ichwan Arif
Catatan: Modin artinya tokoh agama