Ikhlas di Tepian Harapan
Tampak di hadapanku tubuh putriku terbujur kaku dengan dipenuhi kabel dan selang. Wajahnya tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara mesin pengukur detak jantung yang semakin melemah.
Cerpen oleh Nurul Wafia, tenaga pendidik di sebuah sekolah dan universitas di Kota Gresik
Tagar.co – Dan karena kemuliaan adalah rahmat bagi yang ikhlas – Mario Teguh
“Maaf, Bu, kami sudah berusaha sebaik mungkin tetapi sepertinya hasilnya tidak seperti yang kita harapkan,” kata Dokter Tubagus, dokter jaga Neonatal Intensive Care Unit (NICU), memecah keheningan di ruangan dingin ini.
“Mm, maksudnya, Dok?” tanyaku terbata.
“Kondisi putri ibu semakin turun, trombositnya terus menurun. Hasil laporan terakhir hanya 8.000 per milimeter darah. Detak jantungnya sangat lemah 40 per menitnya. Kami sudah melakukan tindakan secara maksimal. Hanya Tuhan yang bisa memberi keajaban bagi putri ibu.”
Aku sudah tidak mampu lagi untuk mendengar dan mencerna kalimat sisanya. Telingaku berdenging nyaring. Tubuhku bergetar. Rasa dingin yang sangat mengaliri seluruh tubuhku. Dingin dan ngilu. Hatiku diliputi ketakutan dan trauma yang mendalam. Rasa yang pernah hadir lima tahun silam.
Baca juga: Membunuh si Sembilan Nyama
Ini adalah kali kedua kami harus berada dalam ruangan khusus dokter jaga ruang NICU untuk mendengar kalimat yang sama. Kehilangan buah hati pertama dan kemungkinan akan kehilangan lagi tentu saja bukannlah takdir yang ingin kami jalani. Kuraih tangan suamiku, untuk mengais sisa-sisa kekuatan. Tapi tangan itupun terasa sangat dingin.
“Sabar ya,” bisiknya lemah sambil menatap mataku. Mata itu begitu terluka.
Mata itu menangis tanpa air mata yang telah mengering sejak sepekan lalu. Aku hanya bisa mengangguk pelan tanpa makna. Di hadapanku hanya tergambar sebuah lorong gelap, tak berujung. Tak tahu lagi bagaimana gambaran hidup tanpa kehadiran buah hati lagi. Pasti terasa sepi dan menyakitkan.
“Bapak dan Ibu bisa menunggu sambil terus berdoa. Nanti kami akan menyampaikan setiap detail perkembangannya,” kata dr Tubagus lagi.
Kami beringsut pelan untuk meninggalkan ruang dingin ini, untuk kembali ruang tunggu. Sebuah selasar yang memanjang di bagian sisi bagian luar ruang NICU. Kakiku serasa lemas. Tak mampu menanggung beban duka.
Selasar ini terasa semakin sepi dan hampa. Dinding yang kusam dan lusuh menggambarkan harapanku yang sudah tak bersisa. Kuhempaskan tubuhku di atas tikar tipis yang menemani malam-malam kami yang penuh harap dan cemas.
Kududuk tersimpuh, menenggelamkan kepalaku di antara dua kakimu. Ingin menangis dan berteriak melambungkan tanya pada Sang Pemilik kehendak. Tapi aku sudah tidak mampu, hatiku sudah teramat lelah untuk menerima apa yang akan terjadi.
Baca juga: Pemuja Komunis
Semua terasa kosong dan gelap. Hanya bisa berbisik melantunkan doa, tanpa tahu doa apa yang harus aku lantunkan. Kondisi Karin, yang sudah koma dan mengalami kejang sejak tiga hari yang lalu memberiku pilihan yang sangat sulit.
Teringat jelas perkataan dokter jaga tadi pagi.
“Ibu, berdoa untuk meminta yang terbaik, nggih. Jangan memaksa Tuhan untuk membangunkan adik Karin dari komanya. Gejala sisa dari masa kritis ini luar biasa. Jika dia bisa melewati masa kritis ini dan sembuh, perkembangan selanjutnya akan bisa sangat menyakitkan baginya.
Kemampuan motorik dan kognisinya akan sangat terganggu dan secara fisik dia akan ada masalah di bagian tubuh sebelah kirinya. Jalannya akan timpang dan tangan kirinya tidak akan berfungsi dengan baik.
Sebuah pilihan keadaan yang tidak ingin dialami oleh ibu di seluruh dunia. Bagaimana bisa aku melihat anak gadisku harus menanggung semua ini. Tetapi seorang ibu pun tak akan ingin kehilangan anak semata wayangnya. Hati dan jiwaku masih belum siap untuk kehilangannya. Membayangkan betapa sepi dan kosong di hariku tanpanya.
***
Pekerjaan suamiku sebagai pelaut memaksanya untuk kehilangan banyak waktu bersama keluarga. Hanya sepekan per bulan dia berkumpul bersama kami. Praktis hanya Karin yang menemaniku menghitung hari menunggu kedatangannya.
Berusaha melalui hari-hari dengan penuh tawa agar Karin tidak perlu merasa kehilangan momen bahagia walau tanpa kehadiran seorang ayah.
“Mama Deli, Ma Deli,” teriaknya setiap kali kucium ketiaknya sambil menyibakkan rambutku yang menyentuh pipinya.
Baca juga: Hidung Wakil Rakyat
Dia memang tidak mampu berucap dengan jelas di usia lima tahun. Kejang yang sering dia alami ketika demam tinggi, mengganggu kemampuan berbicaranya, tapi tidak dengan empatinya.
Dia menjadi kesayangan tetangga, teman-teman, dan gurunya. Sebelum berangkat ke sekolah, dia akan berdiri di depan rumah menyapa setiap orang yang lewat. Dia ingin semua orang tahu bahwa dia siap untuk berrangkat ke sekolah.
Dia juga akan mendatangi setiap rumah hanya untuk menyapa dan berpamitan. Begitu juga setelah datang dari sekolah, dia banyak menghabiskan waktu bersama tetangga sembari menungguku pulang dari kantor.
Sebelum tidur, kami biasa bertukar cerita tentang aktivitas hari ini. Dia akan bercerita tentang Rio, teman sekelasnya, yang selalu mengganggunya.
“Ma, Lio hali ini pinjam clayon Kalin, tapi pas Kalin minta, gak dikasih,” katanya sambil cemberut.
“Wah, gak boleh, kalau minjam harus dikembalikan. Besok coba minta lagi ke Rio, kalau dia tidak mengembalikan bilang saja ke ustazah,” sahutku sambil mengusap lengannya yang sangat berisi, kenyal dan empuk dengan bau keringat khasnya yang selalu membuatku ingin terus menciuminya.
“Iya, besok Kalin akan bilang ke ustazah. Kalau temannya mama ada yang nakal gak? Kalau teman mama nakal nanti akan Kalin malahi terus dijewel telinganya,” katanya sambil menatap mataku dengan serius
“Teman mama kan bapak ibu guru, masa ada yang nakal,” sahutku.
“Iya ya, seperti ustazah Kalin, semuanya sayang Kalin,” sahutnya sambil membetulkan selimutnya.
Aku jadi teringat percakapan tadi pagi dengan Ustazah Diah, wali kelasnya.
Baca juga: Biduan
“Bun, setiap kali saya melihat Karin hati saya selalu merasakan hal berbeda. Dia begitu spesial. Cara dia memperlakukan teman-temannya, cara dia bercerita dan cara dia tertawa membuat saya selalu menantikan saat bertemu dengannya. Saya sering bercerita pada ibu saya tentang Karin. Ibu saya hanya berkata biasanya anak yang spesial seperti itu dihadirkan untuk membahagiakan, tapi tidak dalam waktu yang lama,” ucapnya sambil menggenggam tanganku erat.
Deg, kalimat terakhir ustazah membuatku kaget. “Maksud Ustazah bagaimana nggih,” tanyaku penasaran
“Oh … tidak kok Bun, maksud saya biasanya anak-anak seperti itu adalah anak-anak spesial yang dipilih oleh Allah untuk memberi sinar dalam kehidupan kita,” ucapnya terburu-buru sambil bergegas meninggalkanku.
Aku terpaku sembari melihatnya pergi.
Ah, mungkin dia hanya salah ucap, batinku menghibur diri. Dan saat ini ucapan ustazah Diah seakan benar.
Ya Allah, haruskah aku kehilangan kehidupanku untuk kedua kalinya. Haruskah aku kembali menjalani malam-malam panjang penuh air mata dan rasa bersalah. Aku benar-benar bukan ibu yang baik yang bisa menjaga putrinya seperti orang tua lainnya. Aku sering abai, sering lalai dan tidak ada di sampingnya ketika dia membutuhkanku.
Ah, rasa sesal ini semakin menyesakkan dadaku. Membuat napasku semakin berat.
“Ma, kepala Kalin pusing, pelut Kalin sakit,” ucapnya pagi itu, dua pekan yang lalu.
Cepat kusentuh dahinya.
“Karin panas, minum obat ya, nanti sore kita ke rumah sakit karena mama ada tugas ke luar sebentar,” kataku panik sambil mengambilkan obat panas. Harusnya aku tidak meninggalkan Karin untuk memberi materi di kegiatan pelatihan. Harusnya hari itu aku bersamanya.
Baca juga: Perginya sang Muazin
Tepat jam 10.34, teleponku berdering. Kuangkat telepon dengan cepat. Terdengar suara Asih dengan cemas
“Buk, Karin kejang.”
“Ya Allah, cepat cari bantuan, Mbak! Saya akan segera pulang,” kataku cepat.
Langsung kututup telepon dan berlari secepatanya meninggalkan pelatihan.Tak kupedulikan tatapan heran dari para peserta dan panitia penyelenggara. Kupacu kendaraanku secepat mungkin sembari terus memberi perintah kepada Asih untuk mengompres dan meransang penciuman Karin dengan alkohol.
Butuh waktu 25 menit untuk sampai di rumah. Tapi terasa setahun. Lututku terasa lemas hampir tak mampu untuk menginjak pedal rem.
Sesampai di rumah, tampak Asih yang masih menangis dikerumini beberapa tetangga yang berusaha untuk menyadarkan Karin. Kusibak kerumuman dan memeluk Karin sambil terus memanggil namanya.
“Karin, bangun. Ini mama, Nak,” tangisku pecah. Kuguncang-guncang tubuhnya yang mulai sadar.
Matanya mengerjab. Dia mulai menangis.
“Mama, Kalin dingin,” ucapnya dengan lemah.
“Asih, cepat siapkan keperluan Karin! Kita akan ke rumah sakit.”
Baca juga: Bansos Juragan Beras
Kudekap tubuh Karin yang mulai menggigil dengan selimut tebal. Giginya kemeretak. Bibirnya tampak membiru. Kuangkat Karin ke dalam mobil. Kubaringkan di pangkuan Asih. Dalam hitungan menit kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.
Pikiranku sudah tidak menentu. Trauma kehilangan Prita, putri pertamaku, terus berkelejat di mataku. Aku tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Ya Allah, jangan ambil putriku, keluhku sambil terus menghapus air mata yang sudah tidak dapat lagi kutahan.
Karin segera ditangani di ruang IGD. Suhu tubuhnya 40,2 derajat celcius. Perawat memasukkan obat panas melalui duburnya agar suhu tubuhnya segera turun. Waktu terus berlalu tapi kondisi Karin tidak semakin baik. Beberapa kali. Hingga akhirnya dia sudah tidak pernah siuman hingga hari ini.
“Ma, mama tidak ingin menemui Karin kah?” Ucapan lembut suamiku mengembalikanku dari lamunanku.
“Mama tidak tega, Pa,” sahutku ragu.
“Karin butuh Mama, masuk yuk,” ucap suamiku sambil membimbingku menuju ruang NICU.
Kukumpulkan keberanianku untuk melangkah. Kusiapkan hatiku untuk menemuinya dengan keadaan yang tidak lagi sama.
Tampak di hadapanku tubuh putriku terbujur kaku dengan dipenuhi kabel dan selang. Wajahnya tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara mesin pengukur detak jantung yang semakin melemah. Kugenggam tangganya yang lembut. Tangan itu diam dan dingin. Perih sekali ketika menyadari bahwa tangan itu tak lagi mampu membalas genggaman tanganku.
“Karin, bangun sayang, mama kangen. Mama kangen jalan-jalan dan bercerita lagi,” ucapku sambil terus mengelus tangannya. Hanya itu yang bisa kuucapkan. Tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Kulihat air mata menetes dari sudut mata Karin.
“Kau bisa mendengar mama? Karin kangen mama? Ayo Nak, Karin kuat, Karin pasti bisa sembuh,” kataku sambil terus memberikan sentuhan untuk merangsang responnya.
Tiba-tiba tubuh Karin kejang dan bergetar hebat. Aku menjerit keras. Para dokter dan perawat segera berlari ke arah kami.
“Ibu, tunggu di luar, ya,” kata dokter dengan cepat sambil mengambil perlengkapan untuk melakukan tindakan pemberian rangsang kejut.
Tubuhku bergetar hebat menyaksikan tubuh Karin yang kejang di antara wajah khawatir para dokter. Aku berlari keluar, tak mampu melihatnya lagi. Kuayunkan kakiku dengan sangat cepat menuju masjid yang tidak terlalu jauh dari ruang NICU.
Aku sudah tidak mampu melihatnya dalam kesakitan yang sangat. Melihat tubuhnya bergetar dan kejang seperti itu, tidak ada alasanku terus menahannya untuk terus bersama.
Kuluruhkan wajahku di atas sajadah. Aku pasrah. Hanya bisa menyerahkan semua pada Allah tanpa ingin meminta apapun lagi. Aku tak mampu berucap lagi. Tak mampu berharap lagi. Sudah cukup, Ya Allah.
“Ya Allah, aku ikhlas. Ambil putriku dengan lembut. Hilangkan rasa sakitnya. Ambil segera ya Allah. Ambil segera, karena aku tahu dia akan lebih baik bersama-Mu,” rintihku berulang kali.
Kutengadahkan tanganku tinggi tinggi, berharap malaikat segera mengambil doaku uuntuk dihaturkan segera ke sang maha penentu takdir. Tepat saat kumandang azan Zuhur dikumandangkan, tiba-tiba suamiku memasuki masjid dengan berlinang air mata dan memelukku erat.
“Ma, Karin sudah pergi, Karin sudah tidak sakit lagi, Karin sudah berada surga bersama Prita,” isak suamiku. Aku hanya bisa terpaku dalam diam.
Terimakasih ya Allah. Kau kabulkan doaku hanya dalam satu tarikan napas, doaku dalam hati.
Kepejamkan mataku. Kubuka mata batinku. Kulihat taman surga yang indah dengan gemericik air yang lembut. Karin berlarian di antara bunga surga, menghampiri kakanya yang telah menyambutnya di ujung taman itu.
Mereka tampak bersih dan bahagia dalam gaun putihnya. Tina-tiba Prita menoleh ke arahku sambil tersenyum dan berbisik Mama jangan khawatir, ya. Kakak akan jaga Karin.
Aku kembali tersungkur dalam sujudku. Hatiku dipenuhi rasa takjub pada sang Pencipta yang telah memilihku sebagai ibu dari dua bidadari surga-Nya.
Tunggu kami ya, Nak. Ayah dan ibumu akan melayakkan diri untuk menemui kalian di pintu surga. (#)
Penyunting Ichwan Arif