Soekarno atau Sukarno?
Soekarno atau Sukarno. Sebagian besar masyarakat Indonesia menulis nama Bung Karno dengan ejaan lama Soekarno. Bahkan nama resmi bandara dan jalan juga menggunakan Soekarno. Tapi Bung Karno sebenarnya menolak ejaan itu.
Tagar.co – Di Kota Surabaya ada jalan sepanjang 10.925 meter yang dibangun sejak 1996. Namanya: Jalan Dr. Ir. H. Soekarno.
Jalan yang dimulai dari pertigaan Jalan Kenjeran dan berakhir dii Gunung Anyar itu semula bernama MERR (Middle East Ring Road). Pada 17 April 2010 nama jalan tersebut diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta.
Namun nama jalan itu tidak berumur panjang. Mengutip Radarsurabaya.id, melalui Keputusan Wali Kota Surabaya No.188.45/86/436.1.2/2011, Jalan Sukarno-Hatta itu pun diganti menjadi Jalan Dr. Ir. H. Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta.
Baca juga: Ilmu Menghadirkan, Jalan Termudah Menuju Tuhan
Di Jakarta, eh di Tangerang Selatan, Banten, ada bandar udara (bandara) bernama Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Penulisan nama Soekarno menarik untuk dibahas. Mayoritas masyarakat Indonesia menulis nama presiden pertama itu dengan ejaan Soekarno. Padahal, sang pemilik nama menyebut dirinya dengan ejaan Sukarno. Hal itu dia ungkapkan saat diwawancarai wartawan Jerman pada September 1965, seperti ditulis Tempo.co.
Alasan Sukarno
Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia yang juga kerap dipanggil Bung Karno itu protes kala mengetahui namanya ditulis dengan ejaan Soekarno. “Tapi kenapa kamu tulis nama saya dengan ejaan oe?” tanyanya menggunakan bahasa Jerman, seperti terekam dalam sebuah video.
Wartawan itu pun menjawab, bahwa terakhir kali mereka bertemu, Bung Karno menandatangani nama dengan ejaan oe. Sukarno pun menegaskan namanya tak lagi ditulis dengan ejaan lama. Setelah Indonesia merdeka, ejaan namanya ganti Su. “Tapi nama saya ejaannya dengan Su,” katanya kepada wartawan itu. Bahkan dia menekankan kata Su itu dengan raut serius.
“Ini yang benar!” kata Bung Karno sembari mengetuk sampul buku yang kemungkinan bertuliskan namanya dengan ejaan Su. Kemudian Sukarno mengetuk sampul buku lain yang mungkin ejaan namanya bertuliskan Soekarno. “Ini tidak benar!” kata dia.
Baca juga: Hukum Nikah Beda Agama Menurut Islam
Apa alasan Sukarno menggantikan ejaan namanya setelah Indonesia merdeka ini?
Dalam wawancara dengan Cindy Adams, Bung Karno mengungkapkan alasan mengubah ejaan namanya. Pernyataan itu Cindy ungkap dalam buku biografi, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (Gunung Agung, 1966).
Sukarno mengatakan, “Namaku hanya Sukarno saja. Waktu di sekolah, tanda tanganku dieja Soekarno—menurut edaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, aku memerintahkan supaya segala ejaan /oe/ kembali ke /u/. Ejaan dari perkataan Soekarno sekarang menjadi Sukarno.”
Pada penggalan kalimat tersebut jelas bahwa Sukarno menginstruksikan untuk mengganti namanya dari Ejaan van Ophujsen menjadi Ejaan Soewandi.
Alasan Politis
Putra bungsu Bung Karno, Guruh Soekarno Putra, menjelaskan alasan mengapa nama ayahnya kerap ditulis dengan ejaan Soekarno. Padahal ejaan tersebut merupakan ejaan bahasa kolonial Belanda. Guruh mengatakan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, nama besar Sukarno kerap dipolitisasi untuk menggaet dukungan dari para pemuja sang Putra Fajar.
“Supaya masyarakat mengetahui. Soal nama di dunia politik itu bisa diolah-olah atau digoreng-goreng,” kata Guruh, Selasa, 10 November 2015 kepada Tempo.
Baca juga: Para Rasul Ternyata Membawa Agama yang Sama, Islam
Menurut Guruh, kebiasaan presiden kedua Republik Indonesia menulis namanya Soeharto, bukan Suharto, ikut mengubah persepsi masyarakat terhadap penulisan nama Sukarno.
“Nama Bung Karno oleh wartawan kembali ditulis Soekarno. Sebagai warga Indonesia Bung Karno mengamanatkan untuk menganut Sumpah Pemuda butir ketiga, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia,” katanya.
Melansir Liputan6.com apa yang dilakukan Sukarno tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Cyprianus Sugeng Brotoatmojo, ayah W.S. Rendra.
Dikutip dari biografi singkat W.S. Rendra dalam buku kumpulan cerpennya, Pacar Seorang Seniman (Bentang, 2016), Brotoatmojo mengatakan, “Cara menuliskan nama harus menurut ejaan yang berlaku karena asal-usul nama dari alam pikiran, bukan dari pahatan di batu. Jadi, harus dinamis mengikuti ejaan yang berlaku.” Karena itu, ia mengubah namanya yang awalnya Brotoatmodjo menjadi Brotoatmojo.
Selain itu, kalau penulisan nama tokoh lama harus sesuai dengan ejaan aslinya, hal tersebut akan menyulitkan generasi yang hidup pada ejaan yang berbeda dengan ejaan yang digunakan ketika nama itu diberikan, misalnya Soetan Sjahrir dan Tjoet Nja’ Dhien.
Oe dalam Perkembangan Ejaan
Ejaan pertama yang digunakan di Indonesia adalah ejaan Van Ophuijsen atau Ejaan Lama. Ejaan ini mukanya dipergunakan untuk bahasa Melayu dan kemudian dipergunakan untuk Bahasa Indonesia pada zaman kolonialisme Belanda. Dalam ejaan tersebut huruf oe dibaca u. Seperti Soekarno di atas.
Memasuki tahun 1947 di Indonesia berlaku Ejaan Republik (Edjaan Republik atau Edjaan Soewandi). Ejaan ini berlaku sejak tahun 1947-1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, yaitu Ejaan Van Ophuijsen.
Dalam ejaan ini Huruf oe diubah menjadi u, seperti goeroe menjadi guru. Soekarno menjadi Sukarno.
Baca juga: Hukum Alam dan Kuasa Tuhan
Tahun 1972 Ejaan Soewandi digantikan dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Pada ejaan ini dan perubahan ejaan selanjutnya—Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) pada tahun 2015 dan penetapan kembali EYD sebagai ejaan yang digunakan dalam Bahasa Indonesia pada 16 Agustus 2022 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa—huruf u tetap ditulis u.
Jadi Soekarno menjadi Sukarno. Dan seharusnya Soedirman menjadi Sudirman, Soeharto menjadi Suharto, Ki Bagoes Hadikoesoemo menjadi Ki Bagus Hadikusuma, dan Mohammad Noerfatoni menjadi Mohammad Nurfatoni.
Lalu bagaimana jika nama oe sudah terlanjur tertulis pada nama Anda di akta kelahiran? Ah, itu sih hak prerogatif Anda! (#)
Penulis Mohammad Nurfatoni, dari berbagai sumber.