Pemuja Komunis
Suroto menjadi target pembunuhan karena menyimpan poster tokoh-tokoh komunis. Rumahnya pun menjadi sasaran penggeledahan. Ternyata, ada hal tidak terduga ketika menemukan gulungan di kandang ayam.
Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur
Tagar.co – Untuk kesekian kalinya, ayah saya mendatangi Suroto. Sebetulnya, ayah tidak memiliki hubungan apapun dengannya, khususnya dalam konteks keluarga. Satu-satunya alasan ayah mendatangi Suroto adalah karena hubungan kemanusiaan.
Ayah merasa perlu memperingatkan Suroto agar membakar atau memusnahkan poster tokoh-tokoh komunis yang tergantung di dinding gedek1 itu.
Saat itu, negara sedang dalam keadaan genting karena terjadi pemberontakan yang didalangi oleh komunis. Pemerintah berusaha membersihkan orang-orang yang terlibat dalam partai komunis dan organisasi yang terafiliasi dengannya sampai ke tingkat yang paling rendah. Bahkan orang-orang yang disangka menjadi simpatisan komunis juga menjadi target pembersihan yang kata lainnya adalah pembunuhan.
Tanpa melalui proses pengadilan, pembunuhan terjadi di mana-mana. Pembunuhan itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menentang komunis dan mengatasnamakan diri sebagai pembela dasar negara.
Tak ayal, sebagian kelompok ini merupakan bentuk dari sentimen pribadi. Dengan sentimen ini, kelompok-kelompok tersebut dapat dengan mudah membuat fitnah terhadap orang-orang yang tidak disukai. Tidak sedikit orang yang tidak bersalah menjadi korban keganasan kelompok-kelompok itu.
“Suroto, mengapa kamu belum memusnahkan gambar-gambar ini?” tanya ayah.
Lalu, ayah menjelaskan secara panjang lebar tentang situasi politik saat itu yang sedang tidak stabil. Suroto tidak bisa disebut sebagai orang awam sepenuhnya. Sedikit-sedikit, dia mengikuti pemberitaan yang sangat terbatas saat itu, mengingat dia tinggal di daerah pegunungan.
Tetapi entah mengapa, Suroto terlihat enggan untuk membuang gambar-gambar tersebut. Tampaknya dia memiliki rasa cinta yang kuat pada tokoh-tokoh tersebut atau fanatik terhadap ideologinya.
Baca juga: Hidung Wakil Rakyat
Ayah menduga dia adalah seorang pemuja komunis. Suroto mengangguk-angguk seperti memahami apa yang ayah jelaskan. Mimik seriusnya semakin tampak. Rupanya, kali ini dia benar-benar akan mendengarkan nasihat ayah.
“Baik, Pak Sifak, saya akan segera memusnahkan gambar-gambar tersebut.”
Tak lama kemudian, ayah berpamitan pulang setelah menikmati secangkir kopi panas yang disuguhkan oleh istri Suroto. Sore itu cukup cerah, di ruang tamu dan di teras rumah Suroto, anak-anak kecil berkumpul sambil bersenda gurau dan bermain-main.
Mereka, yang kurang lebih berjumlah enam orang (ayah lupa berapa persisnya), adalah anak-anak Suroto. Sambil melangkah keluar rumah, ayah menyempatkan diri untuk mengelus kepala beberapa anak tersebut dan berbasa-basi dengan mereka, seperti menanyakan nama mereka, sudahkah mereka makan, atau apakah mereka sudah pergi sekolah.
Ayah saya tidak menamatkan SMP, tetapi dia memiliki pemikiran yang maju. Buah pikirannya sering dijadikan rujukan oleh orang lain, dia pemberani dan suka membela orang-orang yang tertindas.
Sebagai anak angkat orang Cina, dia pernah belajar di sekolah Cina di daerah tempat tinggalnya. Hasilnya, dia cukup fasih berbahasa Cina. Kemampuan berbahasa Cina ini membuatnya pernah dilamar oleh sebuah partai politik beberapa waktu sebelum pergolakan politik di negeri ini terjadi.
Saat itu, ada partai politik yang berasaskan komunis yang menawari ayah sebagai sekretaris, sebuah jabatan bergengsi. Untungnya, ayah tidak bodoh sehingga dia menolak tawaran tersebut.
Dia tidak mudah tergoda oleh gemerlap kekuasaan dan harta. Padahal, pada saat itu dia hidup dalam kesederhanaan, bahkan mungkin kekurangan, bersama istrinya yang pertama. Ayah lebih memilih untuk bergabung dengan organisasi kemasyarakatan di wilayahnya.
Sebenarnya, ayah merasa tidak nyaman menjadi anggota karena organisasi tersebut turut serta dalam kegiatan pembantaian orang-orang yang tidak berdosa. Orang-orang yang dimaksud adalah orang yang terlibat dalam kegiatan komunis.
Baca juga: Biduan
Jadi, ketika ada tugas pembantaian, ayah tidak pernah terlibat langsung sebagai pelaku. Selalu ada alasan bagi ayah untuk tidak menjadi pelaku. Akhirnya, ayah hanya sebatas menyaksikan kebiadaban mereka.
Bahkan, seringkali dia mangkir dari acara tersebut karena tidak sanggup menyaksikan adegan demi adegan pembunuhan itu. Pernah suatu ketika, setelah pulang dari acara pembantaian, ayah tidak bisa makan selama tiga hari. Adegan kejam tersebut selalu menghantuinya. Ayah benar-benar tersiksa.
Tetapi, dengan keikutsertaan ayah dalam organisasi tersebut, dia menjadi mengetahui semua rencana organisasi, terutama dalam hal penentuan target pembunuhan. Itulah sebabnya ayah mendatangi Suroto.
Organisasi menyatakan bahwa Suroto adalah seorang simpatisan komunis. Bukti bahwa dia adalah simpatisan adalah adanya gambar tokoh-tokoh komunis. Organisasi membuat keputusan dengan begitu mudahnya.
Akhirnya, diputuskan bahwa Suroto adalah target pembantaian. Jika terbukti bahwa dia masih memajang atau memiliki gambar-gambar tersebut, dia akan dibunuh.
Suatu ketika, ayah berbicara dalam forum di organisasi tersebut. Dia menyampaikan pendapat tentang penentuan target pembunuhan. Ayah menjelaskan tentang pentingnya memiliki alasan yang sangat kuat untuk menentukan target.
Dengan demikian, ayah ingin hanya orang-orang yang terbukti tidak setia kepada negara ini yang layak dijadikan target. Orang-orang yang tidak bersalah, orang-orang yang hanya ikut-ikutan dalam kegiatan-kegiatan komunis, tidak perlu dijadikan target.
Ayah juga menekankan agar organisasi mengenyampingkan sentimen pribadi dalam penentuan target. Jika ide ayah ini diterima, maka korban pembunuhan akan berkurang secara signifikan.
Alih-alih menerima ide itu, ayah dicurigai sebagai penyusup. Untungnya, dia berhasil berkelit dari tuduhan itu dan mampu mempertahankan gagasannya secara logis, sehingga tuduhan sebagai penyusup itu menguap begitu saja.
Saat ayah menyatakan bahwa dia tidak tega melihat pembunuhan, salah seorang rekan anggota mengingatkannya untuk tidak melupakan pembunuhan para jenderal.
“Pak Sifak, jika Anda tidak tega, ingatlah kembali bagaimana para jenderal kita dibunuh secara sadis oleh komunis. Ingat itu!” kata rekan anggota itu tegas.
“Pak Sifak sebaiknya tidak terlibat langsung, jika Anda tidak sanggup. Biarkan kami yang akan menyelesaikannya,” tambahnya.
Mendengar itu, ayah merasa lega. Bagaimanapun, organisasi yang diikuti ayah adalah organisasi yang baik. Namun sayangnya, pikiran orang-orang di dalamnya telah tercemar oleh nafsu yang jahat, keinginan untuk membunuh sesama bangsa.
Sejak itu, ayah tidak perlu lagi terlibat langsung jika ada kegiatan membunuh target.
***
Pagi itu, awan mendung tebal menghitam seperti jelaga, memayungi wilayah dengan ancaman hujan yang tak lama lagi akan turun.
Di pegunungan tempat tinggal Suroto, kabut tipis menyelimuti udara, mengganggu pandangan. Namun, cuaca buruk itu tidak menghalangi orang-orang untuk mendatangi target, Suroto.
Terlepas dari kabut dan udara dingin yang menusuk tulang, para penjagal manusia itu tetap bersemangat melangkah di jalan setapak yang sebagian berlumpur dan licin akibat hujan deras semalam. Mereka bertekad tidak akan mundur sebelum Suroto tewas.
Kali ini, ayah saya bergabung dalam rombongan tersebut. Sebagian orang terkejut melihat ayah ikut dalam misi tersebut. Bukankah ayah pernah mengatakan dalam rapat organisasi bahwa dia tidak tega melihat pembunuhan?
Namun, Ayah tidak merasa perlu menjawab kecurigaan rekan-rekannya. Toh, mereka juga tidak bertanya. Ayah bergabung karena ingin memastikan bahwa Suroto aman dan tidak lagi memiliki atau menyimpan gambar-gambar tokoh komunis.
Baca juga: Budi Darma, Sastrawan Pencetus Teknik Kolase dalam Berkarya
Jika Suroto mendengarkan saran ayah dan memusnahkan gambar-gambar tersebut, maka dia akan aman, dan jagal manusia itu akan pulang dengan kecewa.
Rumah Suroto tinggal beberapa puluh meter di depan. Entah mengapa, semakin dekat dengan rumah Suroto, jantung ayah semakin berdegup. Ketegangan semakin terasa.
Dia khawatir terjadi sesuatu pada Suroto. Rumah Suroto sudah sangat dekat. Ayah dan rombongan sudah melihat bangunan rumah itu. Bahkan, mereka sudah mendengar riuh anak-anak yang sedang bermain di sekitar rumah.
Setelah tiba di halaman rumah, seorang anggota rombongan mendekati seorang anak yang sedang berlari, menangkap tangannya, dan menghentikan larinya. Dengan lembut, dia bertanya kepada anak tersebut, yang tak lain adalah anak Suroto.
“Nak, apakah Bapakmu ada di rumah?”
“Ada,” jawab anak itu.
Rekan ayah itu kemudian melepaskan anak itu dan mereka melanjutkan perjalanan ke pintu rumah sambil mengucapkan salam.
“Silakan masuk, Bapak-Bapak,” kata Suroto, menyambut tamu-tamunya dan mengajak mereka duduk.
Saat melangkah masuk, mata ayah saya langsung menyapu pandangan ke seluruh sisi dan sudut ruangan dari ambang pintu. Tidak satupun sudut ruangan luput dari pandangannya.
Dia menarik napas panjang, merasa lega. Baginya, ini adalah saat hidup atau mati bagi Suroto. Jika masih ada gambar-gambar tokoh komunis terpasang, itu akan menjadi kesempatan terakhir bagi Suroto.
Namun, jika tidak, dia akan selamat, bisa hidup lebih lama bersama istri dan anak-anaknya. Paling tidak, jika dia harus meninggal, mungkin dia akan pergi dengan cara yang lebih manusiawi, bukan mati di tangan para penjagal keji itu.
“Suroto! Saya mendengar kamu mengidolakan tokoh-tokoh komunis,” kata salah seorang anggota rombongan, rekan ayah.
Di luar dugaan ayah, ternyata Suroto adalah orang yang tegas, teguh, dan berani. Ayah mengira Suroto bakal ciut nyali dan pucat pasi, namun tidak demikian. Suroto malah beberapa kali melempar senyumnya kepada para pencabut nyawa di depannya.
Tidak mungkin Suroto tidak tahu bahwa mereka adalah jagal yang akan menghabisinya. Dengan tegas dan tenang dia menanggapi perkataan itu.
“Oh tidak, Bapak-Bapak. Tidak sama sekali. Itu tidak benar,” katanya.
“Baiklah, tetapi kamu kan memiliki dan menyimpan gambar tokoh-tokoh komunis itu,” kata rekan ayah lagi, berusaha menyelidik.
“Itu dulu. Sebelum saya mengerti siapa dia. Saya pernah memiliki dan memasang gambar itu di sini. Lagi pula itu hanya sekadar hiasan dinding dan saya mendapatkannya dari teman tanpa sengaja,” jawab Suroto menjelaskan.
“Sejak disuruh Pak Sifak ini untuk memusnahkan, saya membakar semuanya,” tambahnya sambil menunjuk ayah saya.
Ayah bagaikan disambar petir mendengar kata-kata itu, apalagi ketika namanya jelas-jelas disebut. Ayah langsung khawatir dan cemas akan sikap teman-temannya setelah ini. Ayah merasa bahwa mereka akan menuduhnya sebagai pengkhianat organisasi.
Baca juga: Perginya sang Muazin
Setidaknya, ayah telah membocorkan rahasia organisasi. Namun, dia berusaha tetap tenang sambil menunggu apa yang akan terjadi. Ayah sudah sangat siap menjawab jika rekan-rekannya bertanya soal ini.
Rupanya, para penjagal itu hanya bisa melakukan tugas-tugas membunuh, tetapi soal berbicara mereka belum ada apa-apanya dibanding Ayah. Itulah mengapa ayah paling disegani di organisasi itu.
Akhirnya tidak satu pun dari mereka yang berani mempertanyakan perihal pernyataan Suroto kepada ayah.
“Baiklah, kalau begitu kami akan geledah seluruh isi rumah ini,” kata rekan ayah dengan nada tidak sabar.
Dengan senyum tipis seolah menahan gelak tawa Suroto lantas menyilakan tamu-tamunya melakukan pengeledahan.
Bagi ayah, ini adalah detik-detik yang menegangkan. Ayah takut kalau-kalau Suroto tidak memusnahkan gambar-gambar itu melainkan hanya menyembunyikannya di suatu tempat, lantas ditemukan.
Dengan diikuti Suroto, mereka menggeledah seluruh ruangan. Almari mereka periksa. Bantal dan kasur mereka angkat untuk memastikan Suroto tidak menyembunyikannya di bawah kasur itu.
Beberapa orang berjongkok hampir tiarap untuk memastikan di kolong tempat tidak ditemukan gambar itu. Mereka melanjutkan penggeledahan dari ruangan ke ruangan. Sampai di dapur, tempat terakhir yang dicurigai, mereka melanjutkan pencariannya.
Nihil, mereka tidak berhasil menemukan apa yang mereka cari. Ayah semakin lega. Begitu pula Suroto, senyumnya semakin mengembang. Akhirnya dengan perasaan kesal dan kecewa karena tidak menemukan gambar-gambar itu, mereka akan berpamitan pulang sambil menuju ruang tamu.
Tiba-tiba, salah satu anggota rombongan menghampiri seorang bocah 8 tahun, anak Suroto, yang sedang berlari menuju halaman. Anak itu dihentikan dan diajak bicara.
“Nak, kamu ingat Bapakmu pernah memiliki gambar yang dipasang di dinding ini,” tanyanya.
“Ingat,” jawab bocah itu singkat.
“Sekarang ditaruh di mana?” tanyanya lagi.
Kemudian anak itu menjawab dengan polos dan tidak berdosa, “Di kandang ayam.”
“Tolong antarkan saya ke sana ya?” pinta rekan ayah.
Sementara ayah menelan ludah dan terpaku, darahnya berdesir. Anak itu berjalan menuju kandang ayam diikuti rombongan. Sang anak langsung menuju sarang ayam, tempat ayam mengerami telur-telurnya.
Tanpa diperintah, anak itu mengangkat dan menggeser sarang dan telur ayam itu. Seketika itu juga semua mata melihat ada gulungan kertas besar.
Diambilnya gulungan itu dan diserahkannya kepada rekan ayah saya. Tanpa pikir panjang, dibukalah gulungan kertas itu yang ternyata adalah sebuah poster bergambarkan tokoh-tokoh komunis yang sejak tadi dicari-cari. (#)
Lumajang, 1 April 2024
Catatan:
- Gedek: anyaman bambu yang biasa dijadikan dinding rumah
Penyunting Ichwan Arif