Tagar.co

Home » Desakralisasi Jabatan Profesor ala Rektor UII
Rektor UII

Desakralisasi Jabatan Profesor ala Rektor UII

Rektor UII
Fathul Wahid saat muda dengan rambut gondrong (foto IG @fathulwahid)

Rektor UII Fathul Wahid membuat kejutan. Dia meminta koleganya tidak lagi memanggilnya dengan sebutan Prof. Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, atau Pak Fathul. Insyaallah akan lebih menenteramkan dan membahagiakan.

Tagar.co – Pernyataan itu dia sampaikan dalam akun Instagram @fathulwahid yang diunggah, Kamis (18/7/2024). Unggahan disertai foto mudanya yang berambut gondrong saat dia sedang berorasi dengan kemeja lengan panjang warna biru dongker dan dilipat selengan.

Rektor Universitas Islam (UII) Yogyakarta yang bergelar lengkap Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., itu berharap agar para profesor yang setuju, melantangkan tradisi yang lebih kolegial ini. 

“Dengan desakralisasi ini, semoga jabatan profesor tidak lagi dikejar banyak orang, termasuk para pejabat dan politisi, dengan menghalalkan segala cara,” tulisnya pada unggahan yang sampai Sabtu (20/7/2024) pukul 08.08 WIB mendapat 503 komentar dan 7.667 suka.

Baca juga: Izin Tambang bagi Ormas, Maslahat atau Masalah?

Fathul Wahid merupakan Rektor UII periode 2018-2022 dan 2022-2026. Dikutip dari laman resmi UII, Fathul adalah dosen program studi informatika sekaligus pakar di bidang sistem dan teknologi informasi (TI). Bidang penelitian Fathul berfokus pada information and communication technologies for development (ICT4D), e-government, dan enterprise systems.

Dia lulusan program magister dan doktor dari University of Agder, Norwegia. Sebelum menjadi rektor, Fathul pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknologi Industri (2006-2010), Kepala Badan Pengembangan Akademik (2014-2016), dan Kepala Badan Sistem Informasi (2016-2018).

Kritik Ketua MPR

Kejutan Fathul itu seolah menjawab kegaduan akibat ulah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet, yang mengajukan diri menjadi calon guru besar dari Universitas Borobudur. 

Ulah Bamsoet mendapat reaksi keras. Misalnya dari Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul. 

Menurutnya, pengangkatan guru besar harus sesuai dengan kaidah integritas dan mekanisme yang berlaku. Pengangkatan guru besar harus melawati berbagai tahapan mulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga guru besar. Berdasarkan riwayat di pangkalan data pendidikan tinggi Kemendikbud, Bamsoet belum lama menjadi lektor. 

Di sisi lain, bila Bamsoet langsung diangkat menjadi guru besar, akan menjadi polemik. Bamsoet lebih dahulu lulus S2 sebelum S1. Padahal, pendidikan tinggi harus ditempuh secara berjenjang. “Kalau diangkat jadi guru besar bisa jadi polemik,” kata Satria, seperti dikutip Tempo.co, Ahad (23/6/2024).

Formalkan Seruan

Bukan sekadar omongan, mengutip Kompas (20/7/2024), Fathul memformalkan sikap itu dalam kebijakan resmi melalui Surat Edaran Rektor UII bernomor 2748/Rek/10/SP/VII/2024. Surat tertanggal 18 Juli 2024 tersebut ditujukan kepada semua pejabat struktural di lingkungan UII.

Surat itu berbunyi: ”Dalam rangka menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi, bersama ini disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap ‘Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.’ agar dituliskan tanpa gelar menjadi ‘Fathul Wahid’.”

Kepada Kompas, Jumat (19/7/2024), Fathul membenarkan surat edaran dan unggahan Instagram tersebut. Sikap itu, menurut dia, sebagai upaya menjaga semangat kolegialitas di lingkungan kampus.

Baca jugaPembantu Warung Soto Itu Bisa Kuliahkan Anaknya di UGM

”Tidak ada lagi jarak sosial, birokrasi menjadi lebih ditingkatkan. Kita berharap kampus menjadi salah satu tempat yang paling demokratis di muka bumi,” katanya.

Sikap ini, menurut dia, sekaligus untuk menegaskan bahwa jabatan profesor sesungguhnya merupakan tanggung jawab dan amanah publik, bukan sesuatu yang dipandang sebagai status sosial.

”Saat ini, di Indonesia semakin banyak profesor, tetapi tidak mudah mencari intelektual publik yang konsisten melantangkan kebenaran ketika ada penyelewengan,” ucapnya. 

Desakralisasi Profesor

Fathul menyebut ingin mendesakralisasi jabatan profesor. Dia tak memungkiri jika profesor merupakan jabatan akademik tertinggi, tetapi jabatan itu tidaklah sakral sehingga membuat profesor dipandang tak pernah salah, tak bisa didebat, atau dielu-elukan di luar kewajaran.

”Maka, saya berharap (jabatan profesor) tak lagi dikejar-kejar dengan menghalalkan semua cara, baik oleh kalangan kampus maupun oleh kalangan politisi dan pejabat,” ujarnya.

Meski begitu, dia menegaskan, kebijakan ini hanya untuk dirinya sendiri, bukan diberlakukan bagi semua guru besar atau profesor di UII. ”Saya tidak bisa memaksa orang untuk ikut saya. Ini bukan instruksi kepada orang lain karena ini lembaga demokratis dengan pilihan dan konsekuensi masing-masing,” kata Fathul.

Baca jugaDilema Ormas dalam Izin Usaha Pertambangan

Berdasarkan penjelasan Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan perguruan tinggi. Pasal 23 ayat 2 menyatakan, sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Hal itu ditekankan lagi pada UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Pada perundangan itu disebutkan, guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Lebih jauh, UU tersebut mengatur syarat menjadi profesor, yakni harus memiliki kualifikasi akademik doktor. Profesor juga memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. (#)

Penulis Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *