Hukum Nikah Beda Agama Menurut Islam
Bagaimana hukum nikah beda agama dalam Islam: wanita Islam (Muslimah) dinikahi oleh lelaki non-Muslim? Bagaimana pula jika lelaki Islam (Muslim) menikahi wanita dari Ahlulkitab, yaitu dari Yahudi dan Nasarni?
Telaah oleh Mohammad Nurfatoni, Lulusan Pesantren Muhammadiyah Babat, Lamongan, Jawa Timur. Aktif diskusi di Forum Studi Islam Surabaya.
Tagar.co – Prof. M. Qurays Shihab, seorang ulama yang dianggap moderat, sependapat dengan jumhur ulama tentang larangan wanita Muslimah dinikahi lelaki non-Muslim sebagai sesuatu yang jelas telah diatur Al-Qur’an.
Dalam Wawasan Islam Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Shihab mengatakan, “Larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim—termasuk pria Ahlulkitab—diisyaratkan oleh Al-Qur’an.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (AI-Maidah/5:5)
Baca juga: Para Rasul Ternyata Membawa Agama yang Sama, Islam
Isyarat ini, kata Shihab, bisa dipahami dari redaksi Surat AI-Maidah/5:5 tersebut, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlulkitab, dan tidak sedikit pun menyinggung sebaliknya. Sehingga seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.
Dalam pandangan Shihab, larangan perkawinan antarpemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga.
Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antarsuami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Muslim Menikahi Wanita Ahlulkitab?
Jika ulama sepakat—kecuali, tentu, kelompok Islam liberal—bahwa wanita Muslimah haram dinikahi laki-laki non-Muslim, maka ulama berbeda pendapat tentang bolehnya laki-laki Muslim menikahi wanita non-Muslim yang Ahlulkitab.
Yang tidak membenarkan berargumentasi dengan merujuk pada surat Al-Baqarah/2:221, “”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah/2:221)
Ayat di atas sekaligus menggugurkan Surat AI-Maidah/5:5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahlulkitab. Karena dalam pandangan kelompok ulama ini, sebagaimana diungkapkan Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba Allah.
Baca juga: Bukti-Bukti Islamnya Alam Semesta
Pendapat sebagian ulama yang membolehkan perkawinan lelaki Muslim dengan wanita Ahlulkitab juga penuh dengan catatan kaki. Pertama, apakah konsep Ahlulkitab berlaku juga bagi Yahudi dan Nasrani sekarang. Para ulama berselisih tentang hal ini.
Kedua, yang berpendapat bahwa konsep Ahlulkitab masih berlaku sampai kini, masih mengingatkan bahwa Ahlulkitab yang boleh dikawini itu adalah Ahlulkitab yang diungkapkan dalam redaksi Al-Maidah/5:5 sebagai “wal mukshanat minal ladina utul kitab.”
Menurut Shihab, kata al-muhshanat di sini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengangungkan Kitab Suci.
Ketiga, perkawinan itu tetap dengan persyaratan, sebagaimana diungkapkan oleh Mahmud Syaltut, seperti dikutip Shihab: “Pendapat para ulama yang membolehkan (pria Muslim mengawini wanita Ahlulkitab) itu berdasarkan kaidah syar’iah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak …
Baca juga: Hukum Alam dan Kuasa Tuhan
Laki-laki diperbolehkan mengawini non-Muslimah yang Ahlulkitab, agar perkawinan itu memmbawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hakhak yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri.”
Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan di atas tidak terpenuhi—sebagaimana sering terjadi pada masa kini—maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkannya.
Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan laki-laki non-Muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaann yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya.
Perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita Ahlulkitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. (#)