Adakah Orang yang Benar-Benar Ateis?

0
Adakah orang yang benar-benar ateis alias tidak bertuhan? Tuhan, meminjam Imaduddin’ Abdulrahim (Kuliah Tauhid, 1987), adalah “segala sesuatu yang dipentingkan sehingga kita rela dikuasai atau didominasi.” 

Ilustrasi freepik.com premium

Adakah orang yang benar-benar ateis alias tidak bertuhan? Tuhan, meminjam Imaduddin’ Abdulrahim (Kuliah Tauhid, 1987), adalah “segala sesuatu yang dipentingkan sehingga kita rela dikuasai atau didominasi.” 
Ilustrasi freepik.com premium

Adakah orang yang benar-benar ateis alias tidak bertuhan? Tuhan, meminjam Imaduddin’ Abdulrahim (Kuliah Tauhid, 1987), adalah “segala sesuatu yang dipentingkan sehingga kita rela dikuasai atau didominasi.” 

Telaah oleh Mohammad Nurfatoni, Lulusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Surabaya dan Pesantren Muhammadiyah Babat Lamongan. Aktif diskusi di Forum Studi Islam Surabaya.

Tagar.co –Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita mulai dari konsep materialisme tentang tuhan—yang di antaranya dianut oleh komunisme. 

Menurut teori ini sesuatu yang di luar materi itu tidak ada. Karena Tuhan itu bukan materi dan secara empiris tidak bisa dibuktikan keberadaannya, maka Tuhan itu tidak ada.

Pandangan seperti ini, tentu, tidak bisa pertanggungjawabkan. Beberapa argumentasi ini mencoba mematahkannya. Pertama, tidak semua yang bukan materi tidak ada. Elektron misalnya, secara material tidak dapat dipahami, namun, melalui berbagai efeknya, elektron bisa diketahui secara lebih sempurna dari pada sepotong kayu.

Baca juga: Bukti-Bukti Islamnya Alam Semesta

Kedua, tidak logis jika Tuhan itu harus berupa materi, sebab materi itu sendiri adalah ciptaannya. Jika Tuhan harus berupa materi atau harus bisa dibuktikan secara material-empiris, maka “status” ketuhanannya patut dipertanyakan. Tuhan kok sama dengan ciptaan-Nya?

Ketiga, sebagai wujud ciptaan-Nya, manusia memiliki sejumlah keterbatasan, yang secara kategoris harus berbeda dengan penciptanya. Dalam keterbatasan-keterbatasan itulah manusia ‘terhijab’ untuk bisa melihat “sosok” Tuhan. 

Jadi, Tuhan itu tidak bisa dibuktikan secara empiris bukan karena Tuhan itu tidak ada, melainkan karena manusia memiliki dunia yang berbeda dengan dunia Tuhan. Atau dengan kata lain, keterbatasan-keterbatasan manusialah yang menyebabkan dia tidak mampu menjangkau Tuhan yang serba tak terbatas.

Tuhan dalam Dimensi Manusia

Tentu, kesalahan cara pandang tentang Tuhan tidak saja terjadi seperti yang terlihat dari cara pandang materialisme (orang ateis) seperti di atas. Kesalahan itu juga dapat terjadi pada ajaran atau orang lain. 

Kesalahan itu terutama terjadi jika Tuhan ditempatkan dalam dimensi manusia (atau alam) yang serba terbatas, nisbi, atau relatif. Masuk dalam kategori ini adalah jika kita memiliki gambaran tentang Tuhan, yang kemudian kita anggap sebagai hakikat Tuhan itu sendiri.

Tuhan tidak mungkin bisa dibandingkan dengan apapun. Demikian juga, Tuhan tidak dapat diasosiasikan dengan apapun. Sebab Tuhan adalah Wujud Mutlak yang mengatasi dan jauh berbeda dengan persepsi manusia. 

Baca jugaHukum Alam dan Kuasa Tuhan

Sementara pada dasarnya pembandingan dan pengasosiasian itu selalu didasarkan pada pengalaman keseharian manusia: sesuatu yang pernah dilihat atau didengarnya. 

Padahal sesuatu yang pernah dilihat dan didengar manusia tidak akan pernah keluar dari dimensi manusia—yang serba nisbi itu. Jadi, tidak mungkin Tuhan dibandingkan atau digambarkan dengan perbandingan atau gambaran yang serba terbatas.

Maka, setiap usaha penggambaran Tuhan akan selalu berakhir sia-sia karena pasti mengalami kegagalan dan kesalahan. Jika tetap dipaksakan, maka yang akan diketemukan adalah Tuhan palsu alias berhala.

Tuhan Maya

Pemaksaan “penggambaran” Tuhan—baik dalam bentuk visual atau sekadar khayal—inilah yang melahirkan persepsi tentang Tuhan yang berbeda-beda, lalu melahirkan tuhan-tuhan (palsu); dan kemudian (atau malah didahului) oleh kelahiran agama-agama (palsu). 

Ada ajaran yang memahamkan Tuhan begitu rupa sehingga penyembahan kepadanya berada dalam nalar kemustahilan. Ini bisa kita lihat misalnya, pada konsep mitologi alam. 

Alam, atau bagian alam, yang secara “desain” Tuhan diletakkan setingkat di bawah posisi manusia, justru diangkat oleh manusia pada derajat yang lebih tinggi, sebagai tuhan. Maka muncul Dewa Surya (tuhan matahari), Dewa Agni (tuhan api), Dewa Ganesha, atau Dewa Airlangga. 

Baca juga: Mukjizat Bertentangan dengan Hukum Alam? 

Lucunya, banyak di antaranya yang kemudian divisualisasikan dalam bentuk pantung, dan kemudian disembah-sembah. Inilah yang pada hakikatnya disebut berhala.

Meminjam Nurcholish Madjid (Pintu Pintu Menuju Tuhan; 1996), setiap berhala adalah buatan diri kita sendiri yang menguasai dan membelenggu kebebasan asasi manusia sebagai makhluk tertinggi. 

Maka penyembahan berhala adalah jenis alienasi, yaitu situasi ketika orang tidak lagi dapat menguasai buatan tangannya sendiri, atau ditundukkan oleh perbuatannya sendiri.

Konsep tentang Tuhan yang ‘hanya’ mengikuti imajinasi kita sendiri adalah juga berhala, karena imajinasi atau khayal itu pun adalah buatan kita sendiri, sesuai dengan keinginan kita sendiri. 

Inilah yang dimaksudkan dalam Al-Quran bahwa di antara manusia ada yang mengangkat keinginannya sendiri, pandangan subjektifnya sendiri sebagai Tuhannya. 

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (AI-Furqan 43

Baca jugaTafsir Surat Al-Insyirah: Satu Kesulitan Beragam Jalan Keluar

Di antara sikap keseharian dari orang yang mengangkat keinginannya sebagai Tuhan ialah pemenuhan segala keinginan bendawinya jauh di atas pemenuhan terhadap keinginan Tuhan. 

Atau bahkan sikap-sikap pemutlakan pendapat sendiri dan anggapan bahwa diri sendiri adalah yang paling benar adalah bentuk pengangkatan keinginan sendiri sebagai Tuhan.

Oleh karena itu para nabi dan rasul diutus untuk membebaskan manusia dari segala berhala yang dapat membelenggunya, sembari menetapkan Allah sebagai Tuhan bagi kehidupannya. Yang terumuskan dalam deklarasi: La ilaha illallah

Tuhan Orang Ateis

Kembali pada pertanyaan di atas: benarkah orang komunis tidak bertuhan? Tuhan (Ilah), meminjam Imaduddin’ Abdulrahim (Kuliah Tauhid, 1987), adalah “segala sesuatu yang dipentingkan sehingga kita rela dikuasai atau didominasi.“ 

Dengan ‘rumusan’ seperti itu, maka bisa dipastikan jika tidak ada orang yang tidak bertuhan. Semua orang pasti bertuhan, karena dalam kehidupan seseorang pasti ada sesuatu yang mendominasinya, sehingga yang mendominasinya itu amat dipentingkan atau amat ditakuti, melebihi segala-galanya.

Karena itu menarik mengaitkan dengan konsep syahadat tauhid dalam Islam: La ilaha illaallah. Tidak ada tuhan kecuali Allah. Atau dalam terjemahan lainnya “Tidak ada tuhan (t kecil) kecuali Tuhan (T besar). 

Artinya kalimat itu mengandung pengakuan bahwa selain Tuhan yang sebenarnya (Allah) ada tuhan-tuhan lain (palsu) yang dipertuhankan oleh manusia—termasuk oleh orang komunis. Karena itu tuhan-tuhan (palsu) itu harus ditiadakan (dinafikan) alias tidak dipertuhankan. 

Maka, orang komunis, meskipun tidak percaya pada Tuhan, pada dasarnya dia bertuhan. Lantas, siapa tuhan orang komunis? Itu sangat tergantung pada apa atau siapa yang mendominasi kehidupannya. Bisa jadi tuhannya berupa ajarannya, pemimpinnya, atau dirinya sendiri. 

Baca jugaUlul Albab: Tersungkur di Bawah Telapak Kaki Tuhan

Dalam bahasa Cak Nur–sapaan akrab Nurcholish Madjid–orang-orang komunis itu ternyata tidak berhasil benar-benar menjadi ateis. Kalau ateis diartikan tidak memercayai Tuhan dalam kategori agama-agama formal semacam Yahudi, Kristen, Budhisme, Konfusianisme, dan lain-lain, maka memang benar orang komunis itu ateis. 

Tetapi kalau ateis berarti bebas dari setiap bentuk pemujaan, maka orang komunis adalah orang yang kelompok manusia pemuja yang paling fanatik dan tidak rasional.

Gejala pemujaan menurut Cak Nur ini misalnya bisa dilihat dari pemandangan harian di lapangan Merah Moskow. Deretan panjang orang antre untuk berziarah ke mousoleum Lenin, dengan sikap yang jelas-jelas bersifat ‘devotional’ (pemujaan) seakan meminta berkah kepada sang pemimpin yang jenazahnya terbaring di balik kaca tebal itu.

Memang, pemimpin-pemimpin besar komunis pernah ‘dipertuhankan’ pengikutnya: Stalin di Uni Sovyet (kini, Rusia), Mao Ze Dong (Mao Tse Tung) di RRC, Kim Il Sung di Korea Utara. Mereka memang tidak mengakui pemimpin-pemimpin itu sebagai ‘tuhan-tuhan’, tetapi sikap mereka jelas menunjukkan ‘prosesi’ penuhanan.

Fenomena orang bertuhan yang mengaku tidak bertuhan seperti pengikut komunisme atau ateisme ini dapat kita telaah misalnya lewat penuturan AI-Quran surat AI-Jatsiyah 23, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.” Oleh karena itu di dalam Al-Quran tidak dikenal istilah ateis, sekalipun dalam bahasa Arabnya.

Dengan demikian, dalam pandangan Islam kesalahan penuhanan (tuhan palsu) yang dilakukan oleh orang komunis tidak jauh berbeda dengan kesalahan penuhanan yang dilakukan oleh pengikut ajaran lain. 

Yang mungkin membedakannya hanyalah bahwa orang komunis menyembunyikan konsep ketuhanannya yang salah itu dengan mengatakan bahwa dia tidak bertuhan. Sementara penganut ajaran lain secara terang-terangan memperlihatkan konsep ketuhanan yang palsu itu. 

Jadi, tidak ada orang komunis yang benar-benar ateis. (#)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *