Tagar.co

Home » M. Dawam Saleh, Anak Sopir yang Mendirikan Pesantren
K.H. M. Dawam Saleh sosok yang terus mengabdi dengan tulus ikhlas, konsisten dalam ide, ikhtiar dan ijtihad. Alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu memilih 'menanggalkan' ijazah untuk mengabdi di desanya yang sepi dan merintis pondok pesantren. 

M. Dawam Saleh, Anak Sopir yang Mendirikan Pesantren

K.H. M. Dawam Saleh sosok yang terus mengabdi dengan tulus ikhlas, konsisten dalam ide, ikhtiar dan ijtihad. Alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu memilih 'menanggalkan' ijazah untuk mengabdi di desanya yang sepi dan merintis pondok pesantren. 
K.H. M. Dawam Saleh

M. Dawam Saleh sosok yang terus mengabdi dengan tulus ikhlas, konsisten dalam ide, ikhtiar dan ijtihad. Alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu memilih ‘menanggalkan’ ijazah untuk mengabdi di desanya yang sepi dan merintis pondok pesantren. 

Resensi buku oleh Nely Izzatul 

Tagar.co – Itulah sekilas testimoni yang ditulis Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Ponorogo, K.H. Hasan Abdullah Sahal, dalam buku K.H. M. Dawam Saleh Anak Sopir yang Mendirikan Pesantren, karya Ainur Rhain Subakrun. 

Buku yang diterbitkan kali pertama pada Desember 2013 oleh Bahari Press Grup CV Writing Revolution Yogyakarta ini sangat relevan dibaca hingga kini dan sangat menginspirasi. Menceritakan Kiai Dawam, sapaannya, menjalani masa kecil, menempuh pendidikan, membina rumah tangga, hingga mendirikan Pesantren sebagai lahan dakwah.

Dawam lahir pada tanggal 9 November 1953 di kampung Setuli Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. 

Ayahnya bernama Saleh bin H. Abdul Razaq, sedangkan ibunya bernama Putikah binti Haji Ilyas bin Raden Sasi bin Raden Joyotirto bin Panglima Sandi bin Raden Qosim Sunan Drajat bin Raden Rahmad Sunan Ampel. Dari jalur ibu inilah, Kiai Dawam nasabnya bersambung ke Sunan Drajat dan Sunan Ampel.

Muhammad Dawam Saleh kecil menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Negeri Sendangagung kemudian pindah ke Madrasah Ibtidaiah Muhammadiyah (MIM) Sendangagung. Sejak kecil ia terlihat cerdas. Hal ini dibuktikan dengan ia selalu mendapatkan rangking teratas. 

Belum lulus dari MIM Sendangagung—saat itu masih duduk di kelas 5, Dawam melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor pada tahun 1966. Meskipun belum lulus dari kelas 6, namun karena kecerdasannya, Dawam berhasil lulus seleksi masuk Gontor di antara ribuan santri lainnya dari penjuru Indonesia. 

Baca juga: Buku Kehidupan Mengajariku, Quotes Lugas dan Berani Pimpinan Gontor

Di Gontor inilah Dawam ditempa dan mendapatkan pendidikan langsung dari generasi pertama trimurti yakni KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi. Nilai-nilai pendidikan yang diajarkan para Kiai, membuat Dawam terbuka cakrawala pemikirannya, daya kreativitasnya, hingga terbentuk jiwa kepemimpinannya. 

Gontor telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada pribadi Dawam. Sebagai santri didikan trimurti, Dawam mendalami dan meniru perjuangan para pendiri Gontor itu. Jiwa kepondokan Gontor tetap dipegang teguh oleh Dawam di antaranya adalah keikhlasan, menjunjung akhlak mulia, semangat pantang menyerah, kedisiplinan dan kesungguhan dalam dalam berjuang. 

Setamat dari Gontor, Dawam melanjutkan pendidikannya ke Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Menurutnya, dia memilih UGM karena ada guru favoritnya, Habib Chirzin yang lebih dulu kuliah di sana. Selain itu, dia ingin menekuni dunia sastra, menjadi intelektual yang produktif, sehingga memilih Kota Yogyakarta yang dianggapnya sebagai kota peradaban intelektual. 

Di kota Yogyakarta ini Dawam memulai dunia intelektual yang diimpikan selama masih belajar di Gontor. Dawam masuk ke UGM pada tahun 1978 dan tinggal di Pondok Pesantren Pabelan Magelang. Ada beberapa faktor yang membuat Dawam memilih Pondok Pebelan Muntilan Magelang sebagai tempat tinggalnya bukan di Yogyakarta. Padahal untuk ke UGM Dawam harus naik bus pulang pergi sekitar 3 jam. 

Baca jugaIbu Peradaban Itu Bernama Siti Hajar

Di antara faktor yang membuat ia tinggal di Pondok Pabelan adalah: Pertama, Pondok Pabelan saat itu mengalami kemajuan yang cukup pesat, banyak pertemuan para intelektual muda Islam dan para tokoh nasional. Sehingga ia merasa ada nilai lebih jika tinggal di sana. Kedua karena ada tawaran dari Habib Chirzin untuk mengabdikan ilmu di Pabelan. Ketiga, karena adanya kedekatan antara Gontor dengan Pabelan. Keempat adalah faktor ekonomi, yaitu menghemat biaya hidup. 

Pada Tahun 1982, Dawam bertekad untuk mendirikan Pondok Pesantren. Sebenarnya, dengan ijazah doktorandus dari UGM, kedua orang tuanya berharap Dawam bisa menjadi dosen di kota. Namun dengan tekad yang konsisten, Dawam tetap menghendaki mendirikan Pesantren di kampungnya. Ia berkeyakinan, suatu saat orang-orang dari Surabaya, Kalimantan, Jakarta yang akan belajar ke Sendang. Bukan dirinya yang harus pergi ke kota untuk mengajar mereka.

Masa perintisan pesantren antara tahun 1982-1985 adalah masa yang sangat krusial bagi Dawam. Pondok belum terealisasi saat itu, sehingga banyak orang yang melemparkan nada pesimis. Namun Dawam tetap yakin bahwa cita-citanya itu akan menemukan hasil. 

Ia percaya bisa mewujudkan mimpi besarnya yakni menghadirkan Gontor di Sendangagung. Akhirnya tepat pada 13 September 1986 Pondok Pesantren Al Ishlah resmi berdiri diawali dengan gubug tua yang menjadi penanda. Berawal dari 10 santri, kini Kiai Dawam mengasuh lebih dari 2000 santri yang berasal dari penjuru negeri. 

Buku K.H. M. Dawaj Saleh Anak Sopir yang Mendirikan Pesante karya Ainur Rhaien Subakrun

Kehidupan Keluarga

Kiai Dawam menikah dengan Mutmainah, gadis asal Pekalongan. la dikenalkan oleh adiknya yang bernama Aman Nadhir. Tahun 1987 Kiai Dawam menikah dengan Ibu Mutmainnah yang saat itu masih menjadi mahasiswi semester akhir di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebulan setelah menikah, Bu Mut kembali ke Jakarta untuk meneruskan pendidikannya selama enam bulan. Kiai Dawam masih terus mengurus pondok.

Tahun 1988, Ibu Mutmainnah pulang dengan mendapatkan gelar doktoranda. Ini membawa angin segar bagi Pondok Pesantren Al-Ishlah. Sehingga Pondok mulai membuka pendaftaran bagi santriwati seiring dengan kehadiran Bu Nyai di Pesantren. Wanita yang terkenal dengan kelihaian berorganisasi ini menjadi teman Kiai Dawam di kala suka dan duka. Beberapa permasalahan pondok sering didiskusikan mereka berdua di rumah. 

Baca jugaIbu Negara Ini Ternyata Kader Nasyiah

Kiai Dawam berbagi peran dengan Bu Mut dalam mengurus pondok. Kiai Dawam menaungi kepengasuhan pondok secara umum, sedangkan Bu Mut menjalankan peranya sebagai kepengasuhan bidang santri. Rumah tangga Kiai Dawam dan Nyai Mutmainnah dikaruniai tiga anak yaitu Rosydina Robiaqolbi, Azzam Musoffa dan Berril Amal. 

Kiai Dawam adalah salah satu ulama kebanggaan masyarakat Kabupaten Lamongan. Lewat buku ini kita diajak untuk mengenal kehidupan beliau yang penuh keteladanan. Kegigihan mimpinya untuk mendirikan Pondok Pesantren Al-Ishlah Sendangagung adalah inspirasi bagi generasi muda agar senantiasa berjuang memajukan daerah.  

Buku ini terdiri dari 8 bab. Tujuh bab menceritakan perjalanan Kiai Dawam sejak kecil, menempuh pendidikan, berkeluarga, mendirikan pesantren hingga aktivitas dakwahnya. Sementara satu bab berisi tulisan testimoni dari karib kerabat maupun santri-santrinya.

Selamat membaca. Selamat meneguk air keteladanan dari founding father Pondok Pesantren Al Ishlah. (#) 

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *