The Architecture of Love: Kisah Penulis Melarikan Diri dari Masa Lalu
Mengalami writer’s block selama dua tahun, Raia berkelana ke New York. Di pelariannya tersebut dia bertemu River yang menyepi karena memiliki kesamaan, yaitu tersesat masa lalu. Kisah menarik The Architecture of Love.
Resensi buku oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 GKB (Spemdalas) Gresik.
Tagar.co – Ika Natassa adalah penulis terkenal Indonesia yang karya-karyanya telah menjadi buku best seller seperti A Verry Yuppy Wedding, Divortiare, Twivortiare, Antologi Rasa, dan Critical Eleven.
Novel The Architecture of Love karyanya pun diangkat dalam layar lebar yang diperankan artis Nicholas Saputra dan Putri Marino dengan arahan sutradara Teddy Soeriaatmadja pada tahun 2024.
Dalam novel ini, diceritakan Raia, seorang penulis muda terkenal yang buku-bukunya menjadi best sellerbahkan banyak dari bukunya yang diangkat ke layar lebar. Sayangnya, penulis muda ini mengalami kenyataan pahit yaitu ada yang hilang dalam dirinya sehingga membuatnya belum bisa menorehkan satu kalimat pun. Dia kehilangan sumber inspirasinya.
Dua tahun mengalami writer’s block–suatu kondisi ketika penulis tidak dapat menuliskan apa pun—membuat Raia memutuskan untuk kabur sejauh-jauhnya dan berakhir menginjakkan kaki di New York.
River, seorang arsitek yang sudah setahun tinggal di New York. Namun kata tinggal sepertinya bukan kata yang tepat untuk mendefinisikan keberadaannya di sini. Liburan, bukan. Mengungsi pun juga bukan. Menyepi apalagi. Namun yang jelas, dia memutuskan utuk menjauhi Jakarta setahun lalu. Setahun sudah River tinggal di New York dan yang dia lakukan hanyalah berkeliling kota sembari menggambar gedung-gedung di sana.
Baca juga: Robohnya Surau Kami: Wajah Indonesia di Antara Kegetiran dan Kekolotan
New York, salah satu destinasi ‘pelarian’ yang dipilih keduanya untuk menjauh dari hal yang telah menyakiti mereka, melarikan diri dari masa lalu. Keduanya bertemu di pertemuan tidak terduga yang terjadi pada pesta tahun baru yang ternyata membawa mereka ke pertemuan kedua yang juga tidak disengaja.
Pertemuan kedua mereka di Wollman Skating Rink menjadi awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya. Sejak pertemuan kedua mereka di Wollman Skating Rink, membuat keduanya sering berkeliling kota New York untuk mencari inspirasi, Raia dengan inspirasi untuk tulisannya dan River inspirasi untuk hasil karya sketch-nya.
Dengan kehadiran River, Raia dapat melihat kota New York dengan cara yang berbeda. River mengajari bahwa setiap bangunan memiliki ceritanya masing-masing yang membuat Raia lebih bersemangat untuk mencari inspirasi.
Kebersamaan mereka menyadarkan keduanya bahwa sebenarnya mereka adalah sosok-sosok yang tersesat akan masa lalu. Intensitas pertemuan keduanya yang terlampau sering pun menumbuhkan perasaan-perasaan baru dalam diri mereka.
Baca juga: Novel Aroma Karsa: Antara Obsesi, Mitos, dan Jati Diri
Namun, perasaan tersebut berbenturan dengan cerita masa lalu yang telah menorehkan luka dalam hati mereka. Dapatkah mereka melupakan masa lalu dan terus berjalan maju untuk mencari kebahagiaan baru? Ataukah mereka terus berputar dalam lingkaran masa lalu mereka?
Buku ini berhasil membuat pembaca merasa sedang ikut berkelana dengan Raia dan River mengelilingi kota New York. Latar cerita yang dideskripsikan dengan mendetail membuat semangat dalam membaca dan terus penasaran dengan kelanjutannya.
Selain itu, pembaca juga memperoleh berbagai pengetahuan mengenai tempat-tempat di New York dengan cara River yang mengenalkan New York dengan ceritanya masing-masing. Ilustrasi yang terdapat dalam buku ini juga semakin membuat pembaca dapat membayangi sketch yang digambarkan oleh sosok River.
Penokohan dalam buku ini juga dibuat dengan realistis dan terasa kuat, di mana pembaca dapat merasakan bagaimana duka yang dialami oleh Raia dan River. Sosok River yang diam dan misterius membuat pembaca menjadi penasaran dan berakhir menyukai karakter River di buku ini. Sosok River juga tak kalah manis yang membuat pembaca tersenyum-senyum membacanya.
Baca juga: Novel Guru Aini, Inspirasi dari Wajah Pendidikan Kita
Konflik dalam The Architecture of Love ini juga cukup sederhana namun tetap dapat terasa bagaimana luka mereka ketika kehilangan sosok yang disayangi. Ketika kedua tokoh sama-sama melarikan diri, kemudian bertemu dan timbul perasaan-perasaan baru, namun keduanya masih terus berkonflik dengan diri sendiri mengenai apa yang mereka pilih, melakah maju atau terus terjebak di masa lalu.
Bahasa yang digunakan juga cukup ringan. Pembawaan dialognya pun juga mengalir dan bikin ketagihanuntuk dibaca. Bahasa yang digunakan pun campuran bahasa Indonesia dan Inggris. Dengan menggunakan dua bahasa ini, ketakutannya ada pembaca kesulitan untuk mengartikan tiap perkataan yang menggunakan bahasa Inggris.
Buku ini menyenangkan untuk dibaca dikarenakan penggambaran latar cerita yang dapat membuat pembaca dapat merasakan gambaran tempat-tempat di New York sana. Beberapa ilustrasi yang hadir juga menambah nilai dari buku ini. Selain itu, konflik cerita yang sederhana membuat buku ini sangat cocok bagi pembaca yang ingin membaca buku santai namun tetap dapat membayangi latar-latar ceritanya. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni