Yahudi Ultra Ortodoks Tolak Wajib Militer untuk Perang Palestina
Yahudi Ultra Ortodoks berdemontrasi menentang perintah wajib militer. Perintah ini dianggap memusnahkan para kelompok pembawa ajaran murni Yahudi.
Tagar.co – Ribuan orang Yahudi Ultra-Ortodoks turun ke jalan di Yerusalem menggelar doa massal pada hari Ahad (7/7/2024) lalu.
Mereka memprotes wajib militer yang juga diberlakukan kepada pelajar dan mahasiswa yeshiva. Padahal aturan yang berlaku sejak negara Israel berdiri tahun 1948 para mahasiswa yeshiva bebas wajib militer.
Mengenakan kemeja putih di balik jas dan topi hitam, sekelompok pria dan remaja Ultra Ortodoks yang mewakili tiga aliran utama – Lituania, Hassidik, dan Sephardi – bersatu dalam unjuk kekuatan yang juga memprotes pemotongan dana pendidikan seminari.
Unjuk rasa itu berakhir bentrok dengan polisi dan kekerasan meluas. Para mahasiswa ditangkapi. Demonstran melemparkan batu dan menyerang mobil pejabat.
Meriam air beraroma sigung disemprotkan. Polisi berkuda menerjang membubarkan massa. Namun demonstrasi tetap bertahan hingga malam.
Arabnews memberitakan, wajib militer untuk semua warga negara telah diberlakukan oleh Mahkamah Agung termasuk para mahasiswa kalangan Yahudi Ultra-Ortodoks.
Semua warga diperintahkan segera mendaftar. Wajib militer bagi laki-laki Israel selama 32 bulan (2 tahun delapan bulan), dan perempuan selama dua tahun.
Baca Juga Pengepungan Rumah Nabi Menjelang Hijrah
Keputusan ini dampak dari perang Palestina-Israel yang sudah berlangsung delapan bulan sejak 7 Oktober 2023. Pemerintah Israel telah menurunkan militer cadangan dalam perang ini sehingga harus merekrut personal baru lewat wajib militer.
Dalam demonstrasi itu Yahudi Ultra-Ortodoks membawa slogan-slogan seperti ’perang terhadap agama’ dan ’kami tidak akan bergabung dengan militer’. Dan ’tidak satu pun laki-laki yang harus direkrut.”
Yaakov Biton (28), warga kota Bnei Brak kaum ultra-Ortodoks, mengatakan, dia dan rekan-rekannya dari seminari teologi datang ke Yerusalem untuk menunjukkan bahwa mereka tidak takut dengan sanksi pidana oleh pemerintah karena menolak wajib militer.
”Kita bersatu. Pada akhirnya kita akan menang, Taurat akan menang,” kata Biton.
Demonstrasi ini mengakibatkan kemacetan di kota Yerusalem. Juru bicara kepolisian Micky Rosenfeld mengatakan 3.500 polisi dikerahkan untuk menjaga ketertiban.
Koalisi Bisa Bubar
Perang dengan Palestina ini memunculkan sentimen negatif terhadap pemerintah Benyamin Netanyahu. Lebih dari 600 tentara Israel tewas. Puluhan ribu tentara cadangan telah diaktifkan, sehingga menjungkirbalikkan karier, bisnis, dan kehidupan warga Israel.
Koalisi pemerintah terancam bubar karena partai Ultra-Ortodoks adalah anggota kunci koalisi pemerintahan Netanyahu.
Kelompok ini bisa memaksakan pemilu baru jika mereka memutuskan untuk meninggalkan pemerintahan sebagai bentuk protes.
Baca Juga Hijrah Kontemporer di Tahun Baru
Para pemimpin partai belum mengatakan apakah mereka akan meninggalkan pemerintahan. Melakukan hal ini bisa berisiko, karena popularitas koalisi Netanyahu menurun sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang ini.
Orang partai ini mengatakan, memaksa anggota mereka menjadi tentara akan menghancurkan cara hidup mereka yang sudah lama ada.
Koalisi pemerintah Israel berusaha keras menemukan kompromi dalam merekrut orang-orang ultra-Ortodoks dalam wajib militer ketika mengubah aturan pengecualian wajib militer untuk kelompok ini.
Menteri Dalam Negeri Moshe Arbel dari partai Ultra-Ortodoks, Shas, mengatakan, kenyataannya setelah perang sejak 7 Oktober 2023 komunitas Ultra-Ortodoks harus memahami kondisi terbaru bahwa tidak mungkin aturan pengecualian itu dipertahankan.
”Ketika negara berperang selama sejak serangan Hamas, mahasiswa seminari Yahudi atau yeshiva tak bisa menghindari wajib militer.
Saat berdirinya Israel pada tahun 1948, ada sekitar 400 siswa yeshiva. Saat ini jumlahnya mencapai 66.000 pria ultra-Ortodoks yang berusia antara 18 dan 26 tahun.
Masalah ini telah lama memecah belah masyarakat Israel, dan sebagian dari mereka menuntut agar komunitas Ultra-Ortodoks berkontribusi terhadap keamanan negara seperti warga lainnya.
Shas, salah satu dari dua partai ultra-Ortodoks di pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menjauhkan diri dari pernyataan Mendagri Moshe Arbel. Karena partai tersebut berharap dapat menyetujui kompromi mengenai masalah pelik ini dengan faksi lain.
”Perwakilan partai telah diperintahkan untuk tidak mengomentari masalah ini,” kata orang partai Shas. ”Garis partai ditentukan oleh para pemimpin agama.”
Baca Juga Piagam Madinah, Perjanjian Menjadi Satu Umat
Komunitas Ultra-Ortodoks berjumlah hampir 1,3 juta orang. Jumlah ini 14 persen dari populasi Israel. Komunitas ini berkembang pesat dengan tingkat kesuburan melebihi rata-rata nasional.
Beberapa pria Ultra-Ortodoks termasuk Moshe Arbel pernah bertugas di militer, namun sebagian besar anggota komunitas menentang wajib militer.
Mereka berpendapat, melayani di lingkungan campuran gender atau dengan orang-orang yang tidak beragama tidak sesuai dengan nilai-nilai mereka.
Penulis/Penyunting Sugeng Purwanto