Sura Bulan Hijrah Masyarakat Jawa

0
Sura

Satu upacara di Kraton Yogyakarta. (kratonjogja.id)

Sura
Satu upacara di Kraton Yogyakarta. (kratonjogja.id)

Sura menandai nama bulan awal kalender Jawa sejak zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ini upaya islamisasi masyarakat Jawa.

Opini oleh Prima Mari Kristanto, aktivis dakwah tinggal di Lamongan.

Tagar.co – Orang Jawa merayakan 1 Muharram dengan sebutan Sura (dibaca: Suro) dengan tradisi tersendiri.

Di masa Sultan Agung Hanyakrakusuma kalender Jawa dipadukan dengan Hijriah yang penghitungan qamariah. Namun angka tahun tetap memakai tahun 1555 Saka . Juga masih mencantumkan hari pasaran Jawa seperti Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing.

Pergantian itu terjadi pada 1 Muharram 1043 Hijriah atau 8 Juli 1633 Masehi. 1 Sura 1555 Saka itu jatuh hari Jumat Legi.

Beberapa nama bulan Hijriah juga diganti sesuai tradisi dan pengucapan Jawa. Seperti Muharram menjadi Sura. Berasal dari kata Asy-Syura. Shafar menjadi Sapar.

Rabiul Awwal berganti menjadi Mulud. Berasal dari kata Maulud artinya kelahiran Nabi Muhammad SAW. Lalu Bakdo Mulud. Jumadil Awal. Jumadil Akir. Rejeb.

Bulan Sya’ban berubah menjadi Ruwah.  Ramadan menjadi Poso. Sawal. Dulkangidah. Dzulhijjah berubah nama menjadi Besar.

Tahun Jawa lebih tua dibandingkan tahun Hijriah karena meneruskan penggunaan periode tahun Saka sejak zaman Majapahit.

Baca Juga Baiat Aqabah Perjanjian Rahasia yang Menggerakkan Hijrah

Pemakaian kalender merupakan bagian dari agama dan peradaban. Tahun Saka bagian dari peradaban Hindu-Budha. Masehi bagian dari peradaban Romawi-Nasrani, Hijriah bagian dari peradaban Arab-Islam.

Kalender Saka dan Masehi mengacu pada peredaran matahari, kalender Hijriah mengacu pada peredaran bulan bukan untuk dipertentangkan.

Penggunaan matahari dan bulan sebagai pedoman penanggalan sama-sama sebagai perintah Tuhan di dalam Al-Quran surat Al-An’am : 96.

فَالِقُ الْاِصْبَاحِۚ وَجَعَلَ الَّيْلَ سَكَنًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًاۗ ذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ ۝٩٦

(Dia) yang menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, serta (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.

Umat Islam menggunakan peredaran matahari sebagai penanda waktu salat. Terbitnya fajar sebagai penanda waktu Subuh dan mengawali hari. Kemudian waktu Duha ditandai dengan posisi matahari sepenggalah.

Matahari bergeser sedikit di atas kepala sebagai waktu Zuhur. Waktu Asar ketika matahari condong ke barat. Tenggelamnya matahari disebut Magrib. Munculnya cahaya putih setelah tenggelamnya matahari tanda waktu salat Isya.

Bersama tenggelamnya matahari dan munculnya bulan menandai pergantian hari atau masuk hari baru menurut kalender yang menggunakan peredaran bulan.

Hal demikian sepertinya menjadi sebab perbedaan penentuan hari dan tanggal pada kalender Hijriah, selain faktor geografis yang luas di antara negara-negara yang dihuni umat Islam.

Baca Juga Hidup Nomaden karena Tak Punya Rumah, Kesederhanaan Haji Agus Salim

Tahun baru Islam dan Jawa sebagai penanda lahirnya peradaban baru Islam serta Jawa.

Penanggalan menggunakan siklus peredaran bulan sebagai tradisi bangsa Arab telah ada sebelum masa Islam. Tahun Hijriah menjadi penanda peristiwa sejarah hijrah kaum muslim Makkah ke Kota Yatsrib sebagai awal pembangunan peradaban Islam di dunia.

Hijrah juga menyatukan umat dengan ikatan persaudaraan kaum Muhajirin-Anshar dalam bingkai iman Islam tanpa perbedaan etnis dan status sosial.

Hijrah non fisik dengan memulai penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat.

Hijrah non fisik pula yang ditandai dengan Tahun Baru Jawa pada 1 Sura 1555. Hijrah dari penanggalan berdasarkan peredaran matahari menjadi mengikuti peredaran bulan.

Pembaharuan penanggalan Jawa menjadikan nama-nama bulan beberapa sama dengan nama-nama bulan Hijriah.

Menyamakan awal tahun baru Jawa dengan Hijriah bisa menjadi ajakan bagi masyarakat Jawa untuk hijrah menuju Islam kaffah tanpa melupakan dan meninggalkan sejarah peradaban Jawa.

Sejarah dan tradisi Jawa masa Mataram Hindu-Budha, wangsa Syailendra, Sanjaya, Isyana sebagai pengingat kemegahan peradaban Jawa.

Peradaban Jawa yang selaras dengan Islam dimulai oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja ketiga Mataram Islam.

Akulturasi Jawa-Islam diabadikan dengan penanggalan Jawa yang melanjutkan penanggalan Saka tanpa memulai dari awal atau nol.

Orang Islam Jawa diharapkan mampu menjaga nilai-nilai luhur peradaban leluhur sekaligus menjadikan Islam sebagai agama yang diamalkan sungguh-sungguh.

Penyunting Sugeng Purwanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *