Pesona Penyair D. Zawawi Imron
Kala zaman Orde Baru, D. Zawawi Imran dikenal dengan puisi yang sarat kritikan. Dia lantang meneriakkan kritik di tengah sistem politik represif dan rezim militeristik. “Butuh nyali rangkap,” katanya.
Tagar.co – Lahir di Desa Batang-batang Kabupaten Sumenep, D. Zawawi Imron mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1982.
Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka hari ulang tahun Kemerdekaan RI Ke-50 pada 1995. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.
Penyair berjuluk si Celurit Emas ini merupakan Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). D. Zawawi Imron banyak berceramah agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS Surabaya, Unhas Makasar, IKIP Malang, dan Balai Sidang Senayan Jakarta.
D. Zawawi menghidupkan panggung dengan pantun dan puisi satir yang menyentil para koruptor. Berikut ini salah satunya:
Ketika hujan mengguyur
basah kuyup orang yang jujur
basah kuyup juga orang yang tidak jujur
tetapi yang lebih banyak basah kuyub adalah orang yang jujur
Kenapa? Kenapa?
Karena payung orang yang jujur telah habis dicuri oleh orang yang tidak jujur.
tetapi kalau hujan itu berkah perlambang rahmat
hujan rahmat hanya akan membasahi orang yang jujur saja
orang-orang yang tidak jujur tidak pernah akan basah oleh hujan rahmat
Kenapa? Kenapa?
Karena merekalah yang menolak hujan rahmat dengan payung-payung hasil curiannya itu.
Baca juga: Kekuatan Imaji dalam Puisi Perahu Kertas Sapardi Djoko Damono
Selain itu, dalam karya-karyanya, Zawawi juga menebar pesan tentang pentingnya budi pekerti, adab anak kepada bapak ibu dan kepada guru.
Kala zaman Orde Baru dulu, dia juga dikenal dengan puisi yang syarat kritikan. Dulu untuk lantang meneriakkan kritik di tengah sistem politik yang represif dan rezim militeristik seperti itu, butuh nyali rangkap.
Tidak semua penyair memiliki. Begitu ada penyair tatak meneriakkan sindiran pedas yang memerahkan kuping penguasa, maka yang terjadi adalah katarsis. Penonton bersorak girang, lantaran ganjalan yang menyumbat hati mendapat saluran pelepasannya. Penonton menjadi suporter yang nimbrung unjuk rasa, tanpa takut risiko diciduk aparat.
Rupanya, untuk menjadi tontonan seru dan tegang, pembacaan puisi kritik membutuhkan bumbu intimidatif secukupnya. Dia pernah menyampaikan Indonesia saat ini dipenuhi orang-orang pintar dengan ijazah dan titel mentereng. Tetapi sedikit yang mampu dan merasakan hidup yang mujur.
Bahkan, banyak orang pintar yang kalah mujur dengan orang yang tak pernah mencicipi bangku kuliah.
Karya-Karya
- Semerbak Mayang (1977)
- Madura Akulah Lautmu (1978)
- Celurit Emas (1980)
- Bulan Tertusuk Ilalang (1982; yang mengilhami film Garin Nugroho berjudul sama)
- Raden Sagoro (1984)
- Nenek Moyangku Airmata (1985; mendapat hadiah Yayasan Pada tahun 2012 dia menerima penghargaan The S.E.A. Write Award di Bangkok Thailand, The S.E.A. Write Award adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan Thailand untuk para penulis di kawasan ASEAN. Utama Departemen P & K, 1985)
- Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)
- Lautmu Tak Habis Gelombang (1996)
- Madura Akulah Darahmu (1999)
- Lautmu Tak Habis Gelombang (2000)
- Sate Rohani dari Madura: Kisah-kisah Religius Orang Jelata (2001)
- Soto Sufi dari Madura: Perspektif Spiritualitas Masyarakat Desa (2002)
- Jalan Hati Jalan Samudra (2010)
- Mata Badik Mata Puisi (2012)
Baca juga: Puisi Hujan Bulan Juni, Romantisme ala Sapardi Djoko Damono
Penghargaan
- Pada 2012 dia menerima penghargaan The S.E.A. Write Award di Bangkok Thailand. Award ini adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan Thailand untuk para penulis di kawasan ASEAN.
- Pada 2018 menerima penghargaan sebagai tokoh yang berjasa di bidang kebudayaan dalam acara Kongres Kebudayaan Indonesia, Kemendikbud. Penghargaan ini diserahkan oleh Presiden Joko Widodo. (#)
Jurnalis Ichwan Arif Penyunting Mohammad Nurfatoni