Cantik Itu Luka, Diksi, dan Gado-Gado Genre
Cantik Itu Luka, novel karya Eka Kurniawan, tampil apa adanya. Dengan gaya khas dan diksi yang mumpuni, novel inipun menyabet penghargaan World Reader Award.
Resensi buku oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) Gresik.
Tagar.co – Cantik Itu Luka yang terbit tahun 2002 menjadi novel perdana buat Eka Kurniawan. Karya penulis asal Tasikmalaya ini sempat ditolak beberapa penerbit, hingga akhirnya Penerbit Jendela yang berbasis di Yogyakarta menerbitkan.
Dengan gaya penulisan yang khas, lulusan Jurusan Filsafat di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini memilih cerita yang berakar pada sejarah serta dinamisme sosiokultural dan mentalitas rakyat di era kolonialisme.
Memang, bagi pembaca awam, pertama kali menilik novel ini akan berkomentar absurd, vulgar, dan aneh. Pada bab pertama tentang seorang pelacur tua yang bangkit dari kubur, setelah 21 tahun lalu bercengkerama dengan Cantik, anaknya yang buruk rupa, di teras rumah. Benar-benar absurd, tapi menarik dan bikin penasaran.
Alur cerita dan rentang waktu yang terangkum dalam Cantik Itu Luka sangat mengesankan, terbentang dari era kependudukan Belanda, Jepang, hingga ke masa 1980-an. Meski tampak tak memiliki tokoh sentral, tapi setiap karakter yang ada di dalamnya dapat berkonstelasi pada satu figur, Dewi Ayu, si pelacur tua yang menjadi jangkar cerita.
Baca juga: Novel Totto-chan, Pendidikan Karakter yang Dibangun dalam Cerita
Namun, cerita tak bergulir dari kebangkitan Dewi Ayu yang misterius dari kubur. Dia pun tak selalu menjadi pelacur. Profesinya merupakan “efek samping” dari masa dia dibesarkan, dengan sosok sebagai gadis blasteran Belanda yang cantik. Bersama gadis blasteran dan noni-noni Belanda cantik lainnya, dia ditangkap dan dipenjarakan saat Jepang mengambil alih kekuasaan.
Lantas, bagaimana nasib seorang wanita cantik di tangan prajurit bengis penuh nafsu? Jelas, dia akan dijadikan objek pelampiasan dari nafsu tersebut. Tak hanya oleh penjajah, tapi juga oleh gerilyawan Indonesia.
Malang memang, terutama bagi gadis-gadis lainnya yang tak setangguh Dewi Ayu. Karena, Dewi Ayu tak seperti gadis-gadis lainnya. Dia tak hanya tangguh, tapi juga cerdas, berkepala dingin, dan peka. Ketika yang lain kebingungan atau memilih untuk menjadi naif sewaktu membayangkan apa yang bakal terjadi saat mereka dipindahkan ke sebuah rumah yang dikepalai oleh wanita Indonesia yang anggun bernama Mama Kalong—Dewi Ayu-lah yang langsung ngeh.
“Apakah kau tak merasakan sesuatu yang aneh. Tidakkah kau mencemaskan sesuatu?”
“Kecemasan datang dari ketidaktahuan,” kata Dewi Ayu.
“Kau pikir kau tahu apa yang akan terjadi atas kita?”
“Ya,” jawabnya. “Jadi pelacur.”
Tak bisa dimungkiri, penokohan Dewi Ayu sangatlah kuat, kompleks, dan tanpa menanggalkan unsur kewanitaannya (kala menulis tokoh wanita, penulis pria cenderung idealis, entah terlalu feminin dan seksi atau tangguh bak pria).
Baca juga: Mencari Wajah Asli Bocah Bertopeng
Menjadi pelacur bukanlah pilihannya, tapi dia juga sadar bahwa itu adalah jalan keluar agar bisa bertahan. Hal sama juga dilalui oleh Mama Kalong (tokoh wanita kuat lainnya), sang mucikari anggun, yang awalnya juga melacurkan diri agar bisa bertahan hidup, namun kemudian jeli melihat potensi bisnis prostitusi di masa penjajahan kolonial. Alhasil, ia sukses menjadi wanita terkaya di daerahnya.
Menjadi pelacur bukanlah pilihannya, tapi dia juga sadar bahwa itu adalah jalan keluar agar ia bisa bertahan.
Meski begitu, bukan berarti Dewi Ayu adalah sosok yang sempurna. Sebagai ibu, jelas dia punya banyak kelemahan. Dari rahimnya, lahir empat anak perempuan. Tiga yang pertama, yaitu Alamanda, Dinda, dan Maya Dewi, berparas elok seperti ibunya.
Namun yang terakhir, yang dikandung saat dia sudah tua, terlahir buruk rupa dengan kulit gelap, hidung seperti colokan listrik, telinga seperti gagang panci, dan mulut bak lubang celengan babi. Tapi, justru itulah yang diharapkan Dewi Ayu. Dia ingin anak terakhirnya tak terlahir secantik ketiga kakaknya. Sebab, ia merasa kecantikan adalah kutukan. Atau, seperti yang dikatakan satu tokoh di penghujung cerita, Cantik itu Luka.
Kutukan itu tampaknya menurun ke anak-anak Dewi Ayu. Di pertengahan novel, alur beralih ke ketiga anaknya yang pertama, beserta lika-liku roman rumit yang mereka lalui. Alamanda dinikahi oleh pria yang memerkosanya, Sondancho, sang pemuda simpatisan Jepang.
Baca juga: Novel Guru Aini, Inspirasi dari Wajah Pendidikan Kita
Bersamanya, Alamanda tak menjalani pernikahan bahagia hingga suatu saat ia mengenakan celana dalam zirah. Dinda menjalin cinta dengan Kamerad Kliwon, meski ia tahu Kliwon mencintai kakaknya, Alamanda. Sementara itu, Maya Dewi dijodohkan dengan preman kota, Maman Gendeng, saat berusia 12 tahun. Perjodohan yang lagi-lagi merupakan salah satu taktik sang ibu untuk bertahan hidup.
Begitu banyak cerita dan karakter yang berseliweran dalam Cantik itu Luka. Karakter periferal bahkan ikut tersorot meski hanya selintas. Sebut saja para pria dalam kehidupan ketiga anak Dewi Ayu; Rengganis, anak Dinda dan Kliwon; Krisan, anak Maya Dewi dan Maman Gendeng; Cantik dan ibu asuhnya yang bisu Rosinah; serta Ma Gedik, pria yang dibuat gila setelah kekasihnya dijadikan gundik oleh pria Belanda.
Ketika Ma Gedik tua dan diasingkan di sebuah gubuk, ia mendadak dipaksa menikah dengan Dewi Ayu muda atas kemauan Dewi Ayu sendiri. Membingungkan? Jelas. Bikin penasaran? Pasti.
Cantik Itu Luka yang memiliki elemen genre realisme magis ini memang terasa sangat ambisius dan epik. Ketebalan bukunya pun menjadi bukti. Dari setiap halamannya, pembaca dapat merasakan lorong waktu dan ruang yang dilalui setiap tokoh dengan begitu rinci.
Yang lebih mengesankan, yaitu gado-gado genre yang terjahit dengan cermat—tak hanya roman atau elemen sejarah yang kental, tapi juga sekelumit elemen horor atau mistis sebagai bumbu pemanis.
Istilahnya, semuanya dapat diterima. Tapi sang pengarang, Eka Kurniawan, seperti dalam novel-novel lanjutannya, Manusia Harimau dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, berhasil memadukannya mulus.
Ya, pemilihan kata-katanya memang vulgar, blakblakan, dan tentu menempatkan novel ini khusus bagi orang dewasa. Namun, semua pilihan kata (diksi) berjalan selaras dengan watak dan lingkungan karakter. Sesuai dengan gaya bicara sehari-hari.
Karena pemilihan cerita yang bermuatan lokal, Eka telah menuai apresiasi dari pecinta sastra global. Pada tahun 2016, novel ini menyabet penghargaan World Reader Award. Selamat membaca. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni